Brilio.net -Beberapa hari ke belakang ini heboh dengan informasi bahwa MP3 akan mati. Beberapa teman di jejaring sosial macam Facebook, Twitter, dan Path saya amati juga langsung gencar membahas hal tersebut.
Awalnya saya biasa-biasa saja. Tapi, beberapa artikel tulisan orang bule di sejumlah media online baru-baru ini tetap saja membuat saya penasaran dan sedikit gemas. Di situs fossbytes misalnya, diturunkan tulisan 'Format audio MP3 telah mati'.
Penulisnya, Adarsh Verma, Fraunhofer Institute for Integrated Circuits, sebuah yayasan asal Jerman yang memiliki hak paten untuk format audio MP3 dan lisensi itu, mengumumkan bahwa mereka mulai meninggalkan lisensi untuk format audio MP3.
"Pada tanggal 23 April 2017, program lisensi MP3 Technicolor untuk hak paten dan perangkat lunak tertentu dari Technicolor dan Fraunhofer IIS telah dihentikan," tulisnya.
Yayasan tersebut kini mulai mendukung penggunaan format audio yang lebih baik seperti AAC atau MPEG-H. Namun untuk sementara langkah ini tidak akan mengakhiri penggunaan MP3 secara instan. Menurut Adarsh Verma langkah itu cuma membantu format audio lainnya agar bisa lebih berkembang.
Fraunhofer Institute menjelaskan bahwa sebagian besar penyedia layanan streaming, TV, atau radio terkenal sekarang sudah tak lagi menggunakan format audio MP3, melainkan memakai codec ISO-MPEG seperti format AAC atau MPEG-H. Selain itu kini orang-orang zaman sekarang dianggap sudah tak lagi mengoleksi MP3, tapi sudah bisa mengakses file audio dengan mudah (misalnya di smartphone) melalui platform musik digital seperti Apple Music dan Spotify.
Tak dipungkiri memang, bahwa MP3 player, iPod, dan semacam gadget pemutar lagu lainnya sudah mulai menurun trennya. Tapi, apakah kamu juga yakin MP3 benar-benar akan mati? Saya sih nggak yakin.
Menurut pengamatan saya, banyak orang yang mencintai MP3, dan biasanya mereka mempunyai MP3 dengan kualitas tinggi. Cara mereka mendapatkannya, jelas melalui compact disc (CD) album orisinil si artis.
Sekadar contoh, banyak teman saya yang 'mengoleksi' MP3 di komputer dan di gadgetnya melalui rilisan fisik CD. Mereka konsiten membeli CD original si artis idolanya, tapi mereka tak lupa mengabadikannya melalui format MP3 agar file aslinya tetap bisa disimpan, meski mereka juga tetap mendengarkan CD-nya melalui beberapa media, seperti di CD player bawaan yang ada di mobil atau menikmatinya melalui CD player yang ada di rumah mereka masing-masing.
Memang sih akan lebih simpel jika dengerin dari Apple Music, Spotify, Joox atau lainnya. Tapi eits, tapi tunggu dulu. Selama masih banyak orang yang mencintai rilisan fisik audio, itu artinya nggak akan bisa bikin format audio MP3 mati. Kecuali nih ya, beberapa software musik mainstream di dekstop seperti iTunes, Windows Media Player akan menyetop tak menyediakan lagi tools untuk membuat (meng-convert) file MP3 dari rilisan fisik.
Coba tengok fenomena beberapa tahun ke belakang hingga hari ini. Para anak muda malah semakin keranjingan mengoleksi rilisan fisik audio. Tak hanya CD aja, tapi juga gencar memburu kaset pita sampai vinyl (piringan hitam) yang sudah dianggap jadul dan sama sekali nggak praktis itu.
Bagi mereka yang 'niat banget' seperti itu (terutama pecinta CD album), rilisan fisik sudah dianggap sebuah 'kenikmatan' dan kepuasan tersendiri. Selain mereka punya rasa apresiasi yang tinggi terhadap karya musik sang senimannya, mereka juga ingin kualitas audio yang lebih menjanjikan ketimbang mendengarkan melalui teknologi streaming.
Bahkan rilisan fisik dianggap menjadi klangenan era 90-an, di mana sang penikmat musik bisa khusyuk mengamati sampul album, melihat foto-foto 'eksklusif' artisnya dan membaca semua catatan penting perihal rekaman/lagu dari album itu. Dan kamu harus ngerti, semua itu nggak akan bisa kamu dapatkan ketika kamu sudah 'menghamba' pada toko musik digital.
Selain itu, apa ya ngaruh juga kalau MP3 bakal mati di Indonesia? Boro-boro mau langganan Apple Music atau Spotify, sekarang aja dengerin musik juga semakin bebas dan gratis kok. Tuh, coba aja klik YouTube dan cari artis/lagu favoritmu, pasti ada semua. Dan pasti banyak kan, temen kamu yang juga hobi dengerin lagu via YouTube seperti itu?
Padahal ya, YouTube aja tahun lalu udah diprotes besar-besaran sama musisi-musisi luar negeri karena dianggap membunuh industri musik secara instan. YouTube sampai saat ini pun masih dengan bebas menyebarkan karya orang lain, dan si artis merasa nggak dapat sepeser pun royalti dari YouTube.
Yang salah siapa dong? Ya kalau menurut saya, yang keliru pertama adalah jelas si pembajaknya. Kedua adalah YouTube-nya sendiri karena belum bisa maksimal mengontrol soal hak cipta itu. Banyak akun yang dengan santainya masih sering meng-upload ulang karya si artis, padahal si artis sebenernya maunya lagunya itu ya dijual. Iya, dijual nggak lewat YouTube dong, tapi lewat rilisan fisik dan mendistribusikannya melalui platform legal seperti Apple Music, Spotify dll.
Imbasnya adalah orang-orang akhirnya bodo amat. Mereka bisa mendengarkan semua lagu favoritnya dengan bebas, nggak usah beli dan bisa langsung mengunduhnya, lalu akhirnya meng-convert-nya jadi MP3. Padahal lagi, saya curiga akun-akun YouTube yang 'membajak' lagu orang lain itu biasanya juga mengunggahnya dengan format awal MP3 juga. Ups!
Nah lho, MP3 masih disukai, meski kadang secara diam-diam. Ya kan?
Jayalah MP3!
_______
*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi, tidak mewakili pandangan brilio.net.