Brilio.net - Dies Natalis Universitas Indonesia ke-5 pada 9 Februari 1955 menjadi jalan kedekatan Go Tik Swan dengan Presiden Soekarno. Lekukan luwes tarian Gambir Anom Go Tik Swan pada hari itu membuat Presiden Soekarno kepincut. "Tarianmu bagus," kata Bung Karno sambil memberikan bunga kepada Go Tik Swan saat menemuinya di belakang panggung usai pementasan.

Sejak pertemuan itu hubungan Bung Karno dengan Go Tik Swan semakin dekat. lebih dekat lagi ketika Istana Negara tanpa Ibu Negara karena Fatmawati meninggalkan Istana. Keluwesan Go Tik Swan membuatnya dipercaya untuk menerima tamu Istana, merapikan beberapa tempat di Istana hingga menemani Bung Karno makan malam.

Hingga pada suatu malam saat Go Tik Swan yang mempunyai nama Jawa Hardjono sedang bersantap malam dengan Bung Karno dan kepala rumah tangga Istana Negara Soehardjo di ruang makan Istana, ia mendapatkan permintaan yang cukup mengejutkan dari Bung Karno.

Bulan pecah di tubuh Go Tik Swan, asal muasal Batik Indonesia (2)

Infografis: MT Ardynata

"Djo, kamu kan dari keluarga pengusaha batik, mbok coba kamu buat untuk bangsa ini Batik Indonesia. Bukan batik Solo, batik Yogyakarta, batik Pekalongan, batik Cirebon, batik Lasem, dan lain-lainnya, tetapi Batik Indonesia," kata Soekarno seperti dikisahkan Rustopo dalam buku Jawa Sejati, Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro.

Maklum saja jika tiba-tiba Bung Karno melontarkan permintaan sperti itu, kedekatannya dengan Go Tik Swan membuatnya tahu bahwa ternyata Go Tik Swan berasal dari keturunan keluarga pebatik Solo yang terkenal. Kakek dan nenek Go Tik Swan dari jalur ibu adalah seorang pengusaha batik besar di Solo. Jumlah orang yang bekerja di perusahaan batik mereka di tiga tempat tidak kurang dari 1.000 orang. Tak hanya dihormati oleh para pekerja batik, keluarga mereka juga dihormati masyarakat sekitar.

Permintaan Bung Karno itu masih menancap di pikiran Go Tik Swan. Dia tak menyangka bahwa Bung Karno akan melontarkan permintaan demikian. Akan tetapi, sebagai abdi Bung Karno dia harus sesegera mungkin menindaklanjuti permintaan itu.

Go Tik Swan memulai langkahnya mencari batik Indonesia dengan melakukan perjalanan ke sentra-sentra batik dan ziarah ke makam leluhur di daerah yang dikunjungi. Dia memulai dari Jakarta, tempatnya berdiam saat itu, dengan mengunjungi makam keramat di Luar Batang Jakarta. Usai berziarah, ia menyusuri Pantura hingga Cirebon. Sehari penuh ia habiskan waktunya untuk mengunjungi sentra batik yang terkenal di sana milik Haji Madmil.

Usai bertafakur di makan Sunan Gunung Jati pada malam sebelumnya, perjalanan Go Tik Swan dilanjutkan lagi ke timur menuju Demak setelah sebelumnya ia sempatkan untuk singgah di sentra batik Pekalongan. Di Demak, ia kemudian melakukan sholat dan berzikir di Masjid Agung Demak. Malamnya, ia lanjutkan pengembaraannya ke pusara Sunan Kalijaga di Kadilangu Demak. Perjalanan lalu ia teruskan ke Tuban untuk mengunjungi makam Sunan Bonang dan terakhir ke Klaten untuk bertafakur di makam Sunan Bayat yang diyakini sebagai leluhurnya selama berhari-hari.

Go Tik Swan bercerita kepada Rustopo bahwa meski sudah melakukan perjalanan panjang dan bertafakur ke para wali, tetap saja belum mendapatkan ilham bagaimana Batik Indonesia yang diinginkan Bung Karno. Pikirannya menjadi kacau sekembalinya ke Jakarta.

Sedih melihat keadaan Go Tik Swan yang sibuk memikirkan Batik Indonesia, sahabat karibnya Tjan Tjoe Siem mengajak Go Tik Swan melepaskan penat dengan membawanya ke Bali. Tapi meskipun sudah di Bali, tetap saja Go Tik Swan belum bisa melupakan perintah Bung Karno. Ia memikirkan hal tersebut di rumah pelukis legendaris Walter Spies di Campuhan, Ubud, Bali. Hingga pada suatu malam saat Go Tik Swan duduk di bagian depan rumah, ia merasa bulan menuju ke hadapannya. Bulan itu terus mendekat, semakin besar, dan sinarnya semakin terang. Sampai di hadapannya sinar bulan itu pecah dan hilang masuk ke dalam tubuh Go Tik Swan.

Bulan pecah di tubuh Go Tik Swan, asal muasal Batik Indonesia (2)

Proses membatik di kediaman Ndalem Hardjonagaran, kediaman Go Tik Swan

Sesudah peristiwa tak biasa itu, Go Tik Swan merasakan suatu keajaiban. Ia merasa pikiran dan perasaannya menjadi terang benderang. Wujud Batik Indonesia seolah-olah tergambar jelas di benaknya. Apa yang ada dalam benak Go Tik Swan lalu dituangkan ke dalam gambar-gambar desaian di atas kain mori putih panjang sesampainya di Solo. Ia lalu mulai memproduksi kain batik secara kecil-kecilan di Kratonan 101, tempat kakeknya memproduksi batik pada masa sebelum merdeka yang kemudian menjadi tempat tinggal Go Tik Swan hingga akhir hayat. Batik karya Go Tik Swan lalu diterima oleh Bung Karno untuk kemudian diperkenalkan kepada masyarakat luas sebagai Batik Indonesia.

***

Pada Upacara Penganugerahan Tanda Kehormatan Satyalencana Kebudayaan Pemerintah RI pada 13 Oktober 2001, Go Tik Swan yang telah bergelar KPT Hardjonagoro menerangkan jika pada dasarnya Batik Indonesia karyanya adalah hasil perkawinan antara batik gaya klasik kraton utamanya Solo dan Yogyakarta dengan batik pesisir utara Jawa utamanya Pekalongan. Batik kraton yang bergaya introvert dikawinkan dengan batik Pekalongan yang bergaya ekstrovert. Teknik Sogan yang ada pada batik kraton dikawinkan dengan teknik multicolor pada batik pesisir.

Rustopo yang mengangkat Go Tik Swan sebagai subyek disertasinya menerangkan jika perpaduan warna yang dilakukan Go Tik Swan itu dengan mengawinkan warna soga, nila, hitam, dan putih yang identik batik keraton dengan batik pesisiran yang menggunakan hampir semua warna. Tidak hanya keraton dan pesisiran yang dipadukan oleh Go Tik Swan, melainkan juga banyak kombinasi yang masuk. "Ya kadang-kadang masuk burung Phoenix, itu kan nggak ada di batik dulu. Terus bunga Matahari juga dimasukkan di batik Go Tik Swan," ujar guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta kepada brilio.net, Rabu (25/11).

Menariknya, kata Rustopo, dalam pengembangannya Go Tik Swan selalu memegang prinsip nunggak semi. Nunggak semi berasal dari kata tunggak yang berarti tonggak kayu yang masih tegak, sedangkan semi mempunyai arti tumbuh, bersemi, dan bertunas. Oleh Go Tik Swan, konsep nunggak semi diartikan sebagai konsep pengembangan kebudayaan yang menekankan bahwa pengembangan suatu kebudayaan seharusnya tidak menghasilkan pertumbuhan secara liar melainkan didasarkan atas pokok kebudayaan yang lama.

Bulan pecah di tubuh Go Tik Swan, asal muasal Batik Indonesia (2)

Proses membatik yang masih berlangsung di Ndalem Hardjonagaran, kediaman Go Tik Swan

Dalam mencipta batik, nunggak semi dilakukan Go Tik Swan dengan mempertegas dan memperkuat pola-pola rumit, kecil, dan halus, kalau perlu dirombak, tapi tidak meninggalkan tunggak atau keasliannya. Nunggak semi yang dipegang Go Tik Swan itu selalu membuat pembaharuan tapi tidak meninggalkan yang lama," kata Rustopo.

Batik Indonesia ciptaan Go Tik Swan umumnya dituangkan pada kain panjang. Pola-polanya dikembangkan dari pola batik kraton Solo dan Yogyakarta, tetapi pewarnaannya tidak terbatas pada warna coklat soga, biru nila, hitam, dan putih saja. Motif batik Indonesia juga pengembangan motif-motif lama yang tetap mengandung makna simbolik.

Di antara motif batik ciptaannya adalah batik Parang Bima Kurda, Sawunggaling, Kukila Peksa Wani, Radite Puspita, Pisan Bali, dan masih banyak motif lainnya. Sebagai contoh batik Sawunggaling yang dibuat Go Tik Swan menggambarkan pertarungan dua ayam jantan, padahal mulanya Sawunggaling adalah nama tokoh heroik dalam cerita rakyat Jawa Timur yang berjuang membela rakyat jelata memerangi penjajah Belanda.

Batik Sawunggaling karya Go Tik Swan memadukan warna campuran soga dan merah dengan latar hitam. Terdapat banyak sekali karya batik yang diciptakan Go Tik Swan, baik yang bergaya baru atau Batik Indonesia ataupun batik yang bergaya klasik. Di antara batik yang istimewa adalah batik Parang Bima Kurda yang diciptakan khusus untuk Bung Karno, Tumurun Sri Narenda untuk Pakubuwana XII, dan Parang Mega Kusuma untuk Presiden Megawati Soekarnoputri.

***

Sepeninggal Go Tik Swan yang bergelar KPT Hardjonagoro, kemampuan membatiknya diteruskan oleh Supiyah Anggriani. Supiyah bersama sang suami KRA Hardjosoewarno adalah pewaris Go Tik Swan lantaran ia tak memiliki putra. Supiyah merupakan salah satu pekerja yang setia mendampingi Go Tik Swan sejak 1979. Pekerjaan sehari-hari Supiyah waktu itu adalah memasak dan meladeni makan Hardjonagoro dan tamu-tamunya seperti Megawati dan pakubuwana XII. Selain itu Supiyah juga diajari pengetahuan tentang proses pembatikan, mulai dari belajar menggambar, mewarnai batik, hinga menjadi batik jadi.

Bulan pecah di tubuh Go Tik Swan, asal muasal Batik Indonesia (2)

KRA Hardjosoewarno dan Supiyah Anggriani.

Bagi Supiyah, Hardjonagoro adalah sosok tak lelah untuk mendidik. Tak pernah terpikir olehnya bisa mewarisi keahlian membatik sang maestro. "Saya kalau nggak beliau yang nyuruh tidak akan berani meminta diajari membatik. Tapi saat itu tiba-tiba saya diminta untuk belajar membatik. Mungkin karena beliau bingung siapa yang akan meneruskan ilmunya," kata Supiyah dalam perbincangan dengan brilio.net, Selasa (24/11).

Hingga saat ini Supiyah bersama sang suami masih meneruskan cara Hardjonagoro dalam membatik. Semua proses dilakukan sesuai saat Hardjonagoro masih hidup. Tak ada showroom batik yang kini diberi nama Batik Hardjonagoro. Orang yang menginginkan Batik Hardjonagoro cukup datang ke rumah atau menghubungi Supiyah. Kebanyakan mereka mengetahui berkat nama besar Hardjonagoro. Iklan lewat internet ataupun ikut pameran pun tak pernah dilakukan, ia hanya bemodal ilmu getok tular ala Jawa. Tapi meski begitu, aku Supiyah, tak pernah ada stok batik di rumahnya. Pembuatan batik memang sengaja dilakukan saat ada permintaan. Hanya sesekali saja Supiyah menyisipkan batik yang belum pesanan untuk dibuat.

Batik yang dipertahankan Supiyah saat ini pun masih seperti batik-batik buatan Hardjonagoro dulu. Bahkan master motifnya pun masih buatan Hardjonagoro. Tidak pernah terpikir baginya untuk mengkreasikan apalagi membuat motif baru lagi, meskipun ia telah mendapatkan ilmu dari Hardjonagoro.

Untuk melestarikan Batik Hardjonagoro, Supiyah dibantu oleh sekitar 25 orang yang bekerja di rumah peninggalan Hardjonagoro. Selain itu, pembuatan batik juga dibantu oleh anak desa yang memang dalam pembuatannya dilakukan di rumah masing-masing. Untuk membuat satu Batik Hardjonagoro, mulai dari proses awal hingga batik jadi dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan. Maklum saja, segala proses yang ada masih mempertahankan cara tradisional. Terlebih lagi Batik Hardjonagoro memang dikenal mempunyai isian batik yang rapat.

BACA JUGA:

Go Tik Swan, maestro Batik yang lebih Jawa dari orang Jawa (1)

Go Tik Swan dan persahabatan erat dengan Bung Karno (3)

Mimpi Go Tik Swan ke Mekkah dan Madinah yang akhirnya terkabul (4)

Hardjosoewarno, tukang becak pewaris milik Go Tik Swan (5)