Brilio.net - Banyak warga desa lebih percaya diri saat ia bisa memiliki pekerjaan di luar kota apalagi di luar negeri. Alasannya logis, bekerja di luar kampung halaman lebih menjanjikan rupiah yang lebih besar dan menggiurkan. Keadaan desa masih dianggap tidak mencerminkan akan adanya perbaikan kesejahteraan sehingga banyak anak muda yang memilih mencari peruntungan di daerah atau kota lain.

Dalam acara Sarasehan Pegiat dan Jejaring Isu Desa, Jambore Desa 2015 yang dilaksanakan di Desa Wulungsari, Wonosobo, Selasa, (15/12), berkumpul perangkat desa dari berbagai wilayah di Indonesia untuk membahas isu tersebut. Menggali dengan seksama alasan mendasar latarbelakang apa yang menjadikan pertumbuhan kesejahteraan warga desa berjalan alot. Padahal sudah digelontorkan dana miliyaran rupiah dari pemerintah daerah maupun pusat untuk desa.

Melalui forum tersebut, setidaknya terindikasi bahwa satu alasan mendasar yang mengakibatkan pertumbuhan di desa berjalan lambat adalah masih mendominasinya mental unsur masyarakat yang memang masih koruptif.

Kepala Desa Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta, Wahyudi Anggoro, salah satu pembicara mengatakan bahwa masyarakat tidak boleh berharap memiliki pemimpin yang bersih dari korupsi, apabila masyarakat sendiri juga bersikap koruptif. Wahyudi mencontohkan jika warga desa masih cenderung memilih kepala desa berdasarkan besaran uang yang dibagikan calon kepala desa, maka saat itu pula lah warga berpotensi akan dipimpin oleh pemimpin yang korup.

"Pemilih yang brengsek akan menghasilkan pemimpin yang brengsek pula. Karenanya meski sekilas menguntungkan, jangan pernah terpengaruh money politic atau istilahnya serangan fajar. Pasalnya dampaknya akan lebih besar dari pada manfaatnya," kata Wahyudi kepada brilio.net, Selasa, (15/12).

Alih-alih memikirkan kesejahteraan masyarakat, pemimpin yang mengeluarkan banyak uang ketika pemilihan akan cenderung mencai pengganti modalnya. Ini sebabnya banyak Kepala Desa mengalokasikan dana desa untuk peningkatan pembangunan infrastruktur.

"Karena program infrastruktur ini memang program yang empuk untuk praktik korupsi. Salah satu yang paling sering adanya pembengkakkan alokasi dana untuk belanja bahan baku," lanjut Wahyudi.

Sebagai informasi Wahyudi merupakan Kepala Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul Yogyakarta. Desa tersebut adalah model Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai desa percontohan yang transparan dan bersih dari korupsi.

Peneliti dari Indonesia Budget Center (IBC), Ibeth Koesrini, juga menutrukan bahwa alokasi dana desa, kebanyakan untuk program infrastruktur desa semata. Sedangkan dana untuk pemberdayaan masyarakat, justru terabaikan saat dana desa sudah cair. Padahal seharusnya 40 persen dana harus dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat atau pengembangan ekonomi di wilayah tersebut.

Nah, mulai sekarang jangan mau memilih pemimpin karena money politicnya ya. Mulai dari hal kecil, mulai dari sekarang dan mulai dari sendiri.