Brilio.net - Beberapa waktu belakangan, kerap muncul berita kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), baik terjadi di kalangan publik figur maupun masyarakat biasa. Atau mungkin tak jauh dari kehidupan kamu sehari-hari?
KDRT bukan masalah sepele, lho. Tak jarang KDRT bisa berujung pada ancaman keselamatan nyawa seseorang. Nah, kondisi seperti apa sih, yang patut disebut KDRT?
"Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup keluarga, yang dilakukan oleh pelaku kepada korban. Kekerasan bisa meliputi fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi. Ada kok, undang-undang tentang KDRT, yaitu undang-undang nomor 23 tahun 2004," ujar Margaretha, dosen Psikologi Klinis Universitas Airlangga Surabaya, saat dihubungi brilio.net, Selasa (18/8).
Margaretha menekankan bahwa inti dari KDRT adalah adanya pola berulang, bukan hanya peristiwa satu atau dua kali dalam kontekstual tertentu, di mana satu orang menjadi korban dan satunya adalah pelaku. Jadi, untuk memutuskan apakah benar-benar terjadi KDRT harus ada penggalian data lebih dalam, apakah tindakan agresi seseorang berulang dan konsisten atau tidak.
Bicara mengenai alasan orang bisa menjadi pelaku KDRT, perlu dipahami bahwa orang bersangkutan pasti mengalami gangguan psikologis. Pasalnya, orang yang seharusnya mencintai dan mengasihi keluarganya, justru tega menyakiti.
Untuk diketahui, pelaku kekerasan terbagi menjadi tiga tipe, yaitu:
1. Pelaku kekerasan antisosial
Orang yang tampil sebagai orang yang melanggar aturan, melakukan kekerasan, baik di rumah maupun di masyarakat. Dia konsisten melakukan kekerasan atau agresi di mana saja.
2. Pelaku kekerasan disforia/ambang
Orang yang bisa melakukan kekerasan tingkat menengah sampai berat. Dia lebih banyak melakukan tindak kekerasan kepada anggota keluarga, bisa psikis maupun seksual, namun tidak terlalu kentara saat di luar rumah. Kalaupun sudah tersulut amarah, bisa saja dia memukul orang lain di masyarakat, tapi hanya sedikit kemungkinan bila dibandingkan di rumah.
3. Pelaku kekerasan hanya terhadap keluarga
Pelaku inilah yang agak sulit dilihat atau diketahui tanda-tandanya karena hanya terhadap keluarganya. Sementara saat di luar rumah atau masyarakat, orang ini justru dikenal sebagai orang yang baik-baik saja, santun, sopan, pintar, alias jauh dari kesan bisa menjadi pelaku kekerasan.
Lebih spesifik, Margaretha menyatakan penyebab orang bisa melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. "Penelitian, termasuk dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, menunjukkan bahwa pelaku kekerasan adalah orang yang waktu kecil juga merupakan korban kekerasan."
Dia melanjutkan bahwa anak yang menjadi korban langsung atau tidak langsung (dalam hal ini menyaksikan) kekerasan yang terjadi di keluarganya, berisiko tinggi untuk melakukan kekerasan pada masa dewasanya. Namun begitu, tidak semua anak korban kekerasan akan menjadi pelaku ke depannya.
Hanya saja memang, cikal bakal kerusakan psikologis seseorang terjadi ketika awal dia menyaksikan atau mengalami sendiri bahwa kekerasan merupakan cara menyelesaikan masalah dalam relasi keluarga. "Misalnya, anak mendapat nilai buruk kemudian ibunya memarahi dan memperlakukan dia buruk, maka si anak akan menganggap kekerasan adalah hal wajar ketika orang tidak senang terhadap anggota keluarganya," imbuhnya.
Efek dari kekerasan yang didapatkan anak tadi akan menumpulkan kognitif dan perasaan si anak ke depannya. Maksudnya adalah saat orang mendapatkan tindak kekerasan, maka dia akan sedih atau marah. Tapi pada anak yang terus menerus menyaksikan kekerasan adalah hal lazim, emosinya akan tumpul, bahkan bisa saja puas saat melakukan kekerasan. Inilah disebut problem psikologis.
Selain pengalaman menjadi korban kekerasan, penyebab orang menjadi pelaku kekerasan adalah dia tidak mampu menyelesaikan masalah kecuali dengan amarah dan kekerasan. Belum lagi kalau tidak ada dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya, maka orang tersebut akan semakin merasa ditolak dan terisolasi sehingga kekerasan adalah jawabannya.
Terakhir, yang bisa menjadi penyebab orang melakukan KDRT adalah kemungkinan memiliki gangguan kepribadian.