Brilio.net - Gerakan 30 September PKI atau yang biasa dikenal dengan G30S/PKI yang puncaknya terjadi pada tahun 1965 memang menjadi sejarah kelam tersendiri bagi bangsa Indonesia. Kala itu sangat banyak pahlawan Indonesia yang gugur dalam memperjuangkan keutuhan bangsa Indonesia. Namun masih ada pula veteran yang sampai kini masih sehat.
Salah satunya adalah Marsito (79), seorang tukang becak yang menjadi salah seorang pejuang yang dulu ikut serta dalam menumpas PKI di Yogyakarta. Masih jelas di benaknya bagaimana perjuangan bangsa Indonesia yang harus bertempur melawan sesama bangsa Indonesia.
"Dulu saya itu tentara, tapi ya cuma tentara kroco. Tapi dulu saya aktif di kumpulan pemuda namanya Benteng Melati di kampung Kadipaten. Dulu itu pemuda bergabung bersama untuk bantu tentara lawan Komunis, fondasinya Islam," kata Marsito saat berbincang dengan brilio.net, Jumat (7/8).
Ingatan Marsito sejenak kembali ke 50 tahun yang lalu saat pertempuran PKI meletus. Saat itu usianya sudah 29 tahun, ayahnya seorang kiai yang dulu berjuang bersamanya melawan Komunisme lewat dakwah juga menjadi korban kekejaman PKI pada tahun 1960.
"Meninggalnya bapak dulu yang membuat saya mantap bergabung sama tentara, apalagi saat itu bapak dibunuh oleh tetangga saya yang berpihak ke PKI. Jadi dulu itu, kita kadang tidak tahu mana lawan mana kawan," cerita Marsito.
Marsito juga menceritakan betapa bersyukurnya dia ketika saat itu atas ide mantan presiden Soeharto yang pada waktu itu menjabat sebagai panglima kostrad, PKI berhasil ditumpas hanya dalam satu hari saja. Dalam operasi penumpasan PKI di Yogyakarta, dirinya pun ikut serta mengangkat senjata.
"Target utama yang mau dibunuh PKI itu kan kayak Pak Nas (A.H Nasution), Ahmad Yani, Panjaitan, pokoknya petinggi TNI. Jadi dulu Pak Harto itu bukan target utama PKI, karena Pak Harto kan orangnya pendiam jadi dikira tidak punya pengaruh besar di TNI. Tapi PKI salah perhitungan," lanjut Marsito dengan berapi-api.
Saat menceritakan sejarah tersebut wajahnya nampak berbinar-binar, sama sekali tidak ada rasa lelah nampak di wajahnya padahal dia baru saja mengayuh becak mengantarkan penumpang. Saat ditanya kenapa sekarang menjadi tukang becak padahal dulunya dia seorang pejuang, jawabannya sangatlah rendah hati.
"Saya kan dulu cuma tentara kecil, tidak sebanding sama pahlawan lainnya. Istilahnya saya dulu kan cuma menjalankan kewajiban sebagai warga negara. Saya bisa hidup dari mbecak, bisa nyukupi istri saya, juga sudah seneng," katanya lagi.
Marsito memang nampak bahagia dengan kehidupannya saat ini yang berkecukupan. Selama berbincang tidak pernah sekalipun keluar keluhan dari mulut tuanya. Penghasilannya yang pas-pasan pun selalu disyukurinya.
Marsito hanya pesan satu hal, dia begitu menyayangkan banyaknya daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia. "Padahal dulu pahlawan susah-susah menyatukan Indonesia, mbok ya dihargai dan dijaga negara ini. Bukannya malah mreteli satu persatu," imbuhnya.
Recommended By Editor
- Sukinem, tukang tambal ban wanita yang mampu beli 3 rumah!
- Kisah Mbah Suparman, semangat dagang jeruk meski tak laku-laku
- Sariyah, penjual es campur, sukses kuliahkan dua anaknya, hebat!
- Cerita Mbah Sujak, nenek 110 tahun masih semangat jualan mainan anak
- Sudarmono, anak tukang becak, diterima kuliah di UGM gratis, hebat!
- Dari jasa kursus pidato, Kalend lahirkan kampung Inggris Pare
- Kisah Pak Salim, berjalan ratusan kilometer jualan mainan tradisional
- Perjuangan Amin, antar buku pakai 'sepeda unta' tanpa rem sejauh 15 km