Brilio.net - Shinta Ratri menuturkan jika waria bukanlah kutukan. Namun, hal tersebut dinilainya sudah digariskan Tuhan. Maka dari itu tidak ada yang disesali dalam hidupnya.
"Menjadi waria bukan pilihan, tetapi sesuatu yang mau tidak mau harus dijalani dengan ikhlas," kata Shinta beberapa waktu lalu di Kotagede, Yogyakarta.
Shinta mengaku cenderung menyukai permainan anak-anak cewek sejak kecil. Ia tidak pernah menyadari itu, sampai ketika duduk di kelas 5 SD. Ia tersadar dan bertanya, kenapa dirinya menyukai barang-barang feminim itu. Namun pertanyaan itu tidak terjawab seketika.
Memasuki SMP kecenderungan feminimnya semakin kuat. Tidak hanya permainan, ia memilih teman bermain juga anak perempuan. Ini terjadi sampai ia memasuki SMA di tahun 1977. Saat SMA, ia lebih berani menampilkan sosok feminim dirinya di tengah keluarga. Ketika sekolah ia memang berseragam laki-laki, namun ketika di rumah mengenakan rok perempuan. Sementara 7 saudara kandungnya menyadari keanehan ini tetapi mereka mau memahami dan mendukungnya.
Shinta dalam sebuah acara
Sampai akhirnya ia memasuki bangku kuliah di Fakultas Biologi UGM di tahun 1981. Saat kuliah, ia memilih terbuka dan jujur mengakui dirinya adalah perempuan bertubuh laki-laki. Ia setiap hari mengenakan pakain perempuan, bahkan beberapa teman mengakui ia tampil lebih cantik dan eksentrik dibanding perempuan lainnya. Meski begitu tidak jarang teman-temannya juga melakukan kekerasan verbal terhadap dirinya.
"Tidak ada waria yang tidak bermental baja," tuturnya kepada brilio.net, Rabu (9/12).
Kejujuran ekspresi Shinta ini membuat orangtuanya mengadakan pertemuan keluarga dan meminta penjelasan darinya. Shinta mengakui dirinya sudah mantap untuk menjadi sosok perempuan.
"Beruntung sekali aku memiliki ibuku. Ia tidak pernah malu membawaku ke acara-acara kondangan, mengenalkan diriku bahkan membangga-banggakan diriku," ujarnya.
Dari situ ia merasa sangat bangga dan bahagia memiliki keluarga yang penuh pengertian. Dalam hatinya berjanji tidak akan membuat malu keluarga. Ayahnya hanya berpesan supaya Shinta tidak hidup di jalanan, sebab tidak ada bagusnya.
"Jika hendak main bawa temen ke rumah aja, nggak usah ikut-ikutan keluar di jalanan", tutur Shinta menirukan ayahnya.
Shinta dan para koleganya
Setelah lulus di tahun 1989, ia harus menerima kenyataan pahit. Tidak ada perusahaan satu pun yang menerima seorang waria menjadi karyawan. Kepahitan ini dihadapinya dengan cara lain, ia memilih berbisnis kerajinan perak di tempat tinggalnya, Kotagede.
Baginya, kebijaksanaan keluarganya merupakan inspirasi tertingginya. Ia tidak menyangka jika keluarganya yang menganut ajaran agama kuat mau bersikap moderat dan menerima keadaan dirinya. Oleh sebab itu, di usia 53 tahun, ia ingin lebih banyak beribadah dengan mengurus pondok pesantren.