Brilio.net - Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) berhasil mengembangkan produk inovasi alat pengolah limbah bahan berbahaya (B3). Selain praktis dan portabel (mudah dibawa), alat ini diklaim memiliki harga yang lebih murah dari harga alat serupa yang dijual di pasaran.
Bermula dari keresahan terkait mahalnya harga alat pengolah limbah medis, lima mahasiswa UGM terdiri dari Vania Erizza, Gita Prasulistiyono Putra, M. Bisyri Lathif, Ahmad Widardi, dan Pandu Dwijayanto sukses menciptakan MediGold, yaitu alat pengolah limbah medis.
Gita menuturkan selama ini ada banyak klinik kesehatan kecil dan menengah yang mengeluhkan cara pengolahan limbah medis. Pasalnya, harga pengolah limbah yang beredar di pasaran terbilang mahal, yaitu bisa mencapai Rp 5-10 juta.
"Di samping itu, dimensinya juga besar sehingga memakan tempat, imbuhnya saat dihubungi brilio.net, Kamis (18/6).
Oleh sebab itu, mereka kemudian merancang sebuah alat pengolah limbah yang dapat digunakan oleh klinik kesehatan yang praktis dan murah. Dengan ukuran 50x40x50 cm, MediGold terbilang sangat minimalis dan mudah dipindahtempatkan sesuai kebutuhan. Uniknya, alat itu menyerupai sofa sehingga bisa diduduki saat tidak digunakan.
MediGold dirancang dengan dua kegunaan utama, alat sterilisasi dan penghancur jarum suntik. Untuk fungsi sterilisasi, alat dengan kapasitas 6 liter ini mampu membersihkan berbagai jenis peralatan medis, seperti kapas, kasa, dan perban dengan suhu mencapai 300 derajat celcius dan tekanan 1,5 atm. Sedangkan untuk menghancurkan jarum suntik, alat ini bertenagakan 50 volt dan berarus tinggi sebesar 300 ampere.
Dalam pengoperasiannya, alat ini dilengkapi sistem manual dan otomatis. Untuk sistem otomatis, MediGold dapat bekerja sendiri berdasarkan pengaturan timer-nya. Tidak hanya, keunggulan dari alat ini yaitu proses pengolahan limbah tidak menghasilkan polusi berupa asap sehingga lebih ramah lingkungan.
Dengan berbagai keunggulan di atas, MediGold hanya dibanderol dengan harga Rp 2,5 juta. Alat ini diharapkan mampu bersaing dengan produk yang sudah beredar di pasaran yang umumnya didominasi produk luar negeri. "Sejauh ini kami baru preorder (PO), tapi jika respons dari pasar positif, maka kami akan produksi secara massal dengan dukungan dari universitas," pungkas Gita.