Brilio.net - Wilayah Kotagedhe memang mempunyai peranan besar bagi perkembangan Jogja. Tak hanya karena wilayah tersebut terkenal dengan perajin peraknya, tapi juga karena banyak peninggalan bersejarah yang menunjukkan kehebatan Kerajaan Mataram Islam dulu. Salah satu peninggalan yang masih kokoh hingga saat ini adalah Masjid Agung Mataram Kotagedhe.
Masjid ini terletak satu kompleks dengan pemakaman raja-raja Mataram seperti Ki Ageng Pemanahan dan Pangeran Senopati. Letak masjid tak jauh dari Pasar Legi Kotagedhe yang juga melegenda, hanya sekitar 100 meter sebelah selatan pasar.
Masjid Agung Mataram Kotagedhe merupakan masjid tertua di Jogja. Menurut Warisman (61), pengelola Masjid Agung Mataram Kotagedhe, kawasan Kotagedhe ini dulunya merupakan Hutan Mentoak. Alas tersebut merupakan hadiah dari Jaka Tingkir karena telah berhasil membunuh Arya Penangsang.
Ki Ageng Pemanahan yang notabene merupakan murid Sunan Kalijaga lalu menjadikan area tersebut sebagai pusat persebaran Islam di daerah selatan. Masjid menjadi salah satu Catur Gatra Tunggal yang merupakan konsep penggabungan empat wujud yang berbeda tetapi digabung menjadi satu. Sebelum membangun masjid, Ki Ageng Pemanahan lebih dulu membangun pasar. Namun sebelum Ki Ageng Pemanahan berhasil membangun masjid sebagai pusat penyebaran Islam, ia lebih dulu meninggal.
"Saat itu konon Ki Ageng Pemanahan telah memesan kayu untuk membangun masjid dari Pantai Utara Jawa, tepatnya di Blora," terang Warisman kepada brilio.net, Rabu (20/5).
Cita-cita untuk membangun masjid lantas dilanjutkan oleh putranya, yaitu Panembahan Senopati. Bentuk bangunan pun dibuat dengan nuansa Hindu Budha, hal itu dilakukan sebagai strategi dakwah di tempat yang berada di antara pusat persebaran agama Hindu (Prambanan) dan Budha (Borobudur). Masjid ini pun selesai dibangun pada tahun 1587 M.
Yang menarik, bangunan Masjid Agung Mataram Kotagedhe yang berdiri saat ini merupakan bangunan yang dibuat pada tiga masa. Bangunan utama masjid dibuat pada masa Panembahan Senopati, lalu serambi masjid dibangun pada masa pemerintahan sultan Agung. Kemudian atas usulan pengurus Muhammadiyah setempat, tahun 1926 masjid tersebut ditambah selasar yang terletak lebih rendah dari serambi.
Masjid Agung Mataram Kotagedhe menjadi salah satu masjid yang masih terjaga keasliannya. Menurut Warisman, tak banyak perubahan besar pada bangunan masjid ini. Perubahan yang sangat terlihat hanya pada atap masjid dan juga lantainya yang mengikuti perkembangan zaman.
Saat Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta, masjid ini menjadi salah satu peninggalan yang tak dibagi dua. Meski begitu, kata Warisman, pengelolaan masjid ini dulu dibagi menjadi dua, sebagian oleh Kasultanan Ngayogyakarta, dan sebagian lainnya Kasunanan Surakarta.
"Barangkali karena jarak yang jauh dan letaknya yang berada di wilayah Jogja, pengelolaan masjid ini lalu diserahkan ke Kasultanan Ngayogyakarta," terang Warisman.
Berjalannya waktu, masyarakat setempat meminta agar pengelolaan masjid diserahkan kepada masyarakat sekitar masjid agar bisa menambah kemakmuran masjid. Meski begitu, campur tangan Keraton Yogyakarta tetap ada hingga saat ini karena status masjid ini yang merupakan masjid kagungan ndalem atau masjid milik keraton.