Brilio.net - Jika anda ingin melihat proses pembuatan rambut palsu (wig) dan bulu mata palsu, maka datanglah ke Purbalingga, Jawa Tengah. Di kabupaten ini, ada sebuah desa yang hampir semua warganya memproduksi rambut dan bulu mata palsu dengan mendirikan puluhan industri rumahan. Desa itu bernama Desa Karangbanjar di Kecamatan Bojongsari, atau dikenal dengan Desa Wig. Anda pasti akan kagum dengan keterampilan dan ketekunan warga mengolah rambut-rambut asli dan sintetis itu menjadi produk yang indah.
Desa Karangbanjar berlokasi tak jauh dari objek wisata Air Bojongsari (Owabong). Sudah sejak tahun 1960 an, warga menghidupkan industri rumahan berbahan dasar rambut tersebut. Bahkan aktivitas warga tersebut ada sebelum pengusaha-pengusaha besar mendirikan Perseroan Terbatas (PT) di bidang sama di Purbalingga. Jumlah perusahaan yang memproduksi wig dan bulu mata palsu kini berjumlah 38 pabrik. Usaha warga pun menjadi "kelas dua" kalah dengan pabrik.
Awal mula Desa Wig adalah ketika satu dua warga menggeluti bisnis ini di rumah tahun 1960 an. Rambut yang mulai dikembangkan bukanlah wig seperti sekarang, melainkan rambut gelung atau sanggul. Ketika usaha itu berhasil, warga lainnya satu persatu mengikuti jejak membangun usaha serupa. Namun dalam perjalanannya, sempat mengalami masa surut. Pada dua dekade berikutnya, yakni tahun 1980 an barulah geliat Desa Wig itu hidup lagi di Karangbanjar.
Memasuki Desa Karangbanjar, sentra produksi wig dan bulu mata
Para pelaku home industri di Karangbanjar mencari bahan dan pangsa pasar sendiri. Persaingan kualitas dan harga tentu saja ada, yang sesekali memengaruhi pelanggan untuk beralih produsen. Namun yang lebih mereka giatkan adalah mendorong produk satu sama lain. Yaitu ketika satu home industri tidak membuat produk yang diminta pelanggan, maka akan dicarikan di home industri yang lain yang membuatnya. Mereka pun saling bantu.
Kuat Setiono, Kepala Urusan Umum Kelurahan Karangbanjar menyebut, dari tahun ke tahun perkembangan industri rumahan berbahan dasar rambut menunjukkan peningkatan. Hanya saja mejelang akhir 2015, terjadi persaingan harga bahan baku yang tidak bisa dikendalikan. Pasalnya, para penyuplai yang berasal dari luar negeri tidak lagi berhubungan dengan para pengepul, namun langsung menuju home industri. Hal ini menyebabkan harga produk baik yang berbahan dasar rambut asli maupun rambut sintetis menjadi tidak ada patokannya.
Akibatnya, pelaku home industri yang tidak memiliki channel kepada penyuplai bahan baku banyak yang gulung tikar. Waktu itu, Karangbanjar lebih banyak menghasilkan produk berbahan dasar rambut asli. Home industri penyedia produk berbahan dasar sintetis diakui Kuat hanya dijalankan berapa orang. Sedangkan produk bulu mata (idep) tidak diproduksi langsung. Home industri mengambil dari para pekerja plasma pabrik.
"Ibaratnya sudah tidak ada bos besarnya. Perkembangannya sulit. Benar-benar ini sudah perdagangan bebas," katanya kepada brilio net yang melakukan liputan khusus di Purbalingga. "Kalau kita identifikasi dulu ada 196 home industri tahun 2014. Sekarang sudah ada 250 home industri," lanjut dia. Di Karangbanjar, ada 1.190 kepala keluarga (KK). Artinya hampir hampir 20-25% warganya membuka home industri. Dalam setiap home industri rata-rata mempekerjakan 3-4 karyawan.
Salah satu wig produksi warga Desa Karangbanjar yang siap dipasarkan
Desa Karangbanjar, yang dikenal dengan Desa Wig itu bagian dari 13 desa di Kecamatan Bojongsari. Desa ini boleh diklaim sebagai cikal bakal industri berbahan dasar rambut di Purbalingga yang juga terkenal dengan industri knalpotnya ini. Sepanjang Jalan Raya Karangbanjar terdapat pemandangan yang tidak jauh berbeda layaknya jalan raya pada umumnya. Bangunan-bangunan di tepi jalan antara lain adalah pertokoan seperti material/bangunan, kelontong, pulsa, serta terdapat sekolah, selain rumah-rumah warga yang tampak biasa. Namun jangan salah, di dalam rumah-rumah yang seolah tampak diam inilah aktivitas produksi rambut dilakukan.
Salah satu yang berdiri saat ini adalah milik Kasan Suwondo (65) yang dikelola bersama putranya Trisu Ahmadi (38). Usahanya itu diberi nama Sunny Hair Collection. Kasan dan Trisu bersama empat orang karyawannya membuat berbagai tipe produk di lantai atas rumahnya. Produknya antara lain adalah wig, hair extension, ekor kuda, hair piece, kemoceng, serta bulu mata. Home industri milik Kasan ini dalam satu pekan bisa memroduksi 3 kali dengan sistem partai.
Pasar tetapnya adalah salon-salon yang berada di Yogyakarta dan Surabaya. Permintaan pelanggan Kasan kebanyakan wig dan aksesoris rambut seperti kemoceng dan ekor kuda. Satu pelanggan Kasan memesan minimal 50 potong untuk satu produk, sedangkan masing-masing pelanggan bisa memesan lebih dari satu produk per pekannya. Sehingga jika dirata-rata mereka memroduksi 200-250 potong per model per pekan. Namun tidak semua jenis produk dibuat setiap pekannya, karena pembuatan selalu sesuai permintaan pelanggan.
Trisu Ahmadi (38),mendirikan usaha bernamaSunny Hair Collection
Trisu mengaku bersyukur hingga saat ini tidak pernah ada produknya yang distok lantaran tidak laku. Semua produknya merupakan pesanan yang artinya barang selalu habis terjual. Di usaha yang dikelolanya, Kasan menawarkan untuk dapat langsung memakai merek pemesan, tidak terpaku harus pakai merk miliknya.
Warga Karangbanjar sudah terbiasa mengolah produk berbahan baku alami maupun sintetis. Semua tergantung permintaan pelanggan. Untuk usaha dagang Sunny Hair Collection ini lebih kerap mendapat permintaan rambut palsu berbahan sintetis. Trisu menyatakan, konsumen salon dari pelanggannya lebih menyukai wig berbahan sintetis karena warnanya yang lebih mengilap dan harganya lebih ekonomis.
Dilihat dari pembuatannnya, rambut palsu berbahan sintetis lebih mudah pengolahannya dibanding dengan bahan rambut asli. Dari sisi biaya pun lebih ekonomis. Dalam satu box bahan rambut sintetis memiliki panjang 200-300 meter tidak terputus, dengan berat 40-60 kg. Bahan baku ini dihargai Rp 1,8 juta hingga Rp2,4 juta, bervariasi tergantung warna dan tekstur bahan. Bahan sintetis ini diperoleh secara impor dari beberapa negara seperti Korea, Amerika, serta Tiongkok melalui distributor. Distributor ini memiliki link ke pabrik penyedia bahan baku di luar negeri, menyuplainya ke pabrik-pabrik rambut di Purbalingga.
Setiap kali mendapat suplai bahan, pabrik menyortirnya sehingga tidak mengambil seluruhnya. Bahan-bahan yang tidak lulus sortir inilah yang digunakan home industri di Karangbanjar. Trisu dan para pelaku home industri lain di Karangbanjar memperolehnya dari pabrik di Purbalingga, juga dari Jawa Barat. Bahan tersebut sudah diwarnai sejak dari pabrik importir. Permintaan wig sepanjang apapun diakui Trisu tidak menemukan masalah untuk yang berbahan sintetis ini. Untuk satu wig dijual Trisu Rp80.000 hingga Rp90.000 untuk yang pendek. Sedangkan wig panjang dihargai kisaran Rp100.000 hingga Rp200.000.
Aktivitas menjahit rambut menjadi keseharian warga
Proses pembuatan wig berbahan dasar rambut sintetis diawali dengan memotong bahan rambut sesuai panjang yang diminta pelanggan, lalu dibentuk keriting jika ada permintaan dengan cara menggulungnya pada rol ataupun kertas tebal yang telah digulung. Proses selanjutnya memasukkannya ke dalam oven selama 2-4 jam, lalu dijahit bolak-balik sebanyak dua kali. Setelahnya dipasang ke cap (bentukan untuk kepala) yang sudah ada ukuran standarnya.
Dalam satu hari per orang bisa membuat sebanyak 15-20 wig. Selain karyawan tetap, Kasan dan Trisu juga mempekerjakan orang-orang yang bekerja di luar home industrinya, yang dikenal dengan sebutan plasma. Mereka bisa mengerjakan di rumah, masing-masing tidak ditarget (semampunya). Hanya dalam keadaan tertentu ketika Kasan harus segera memenuhi target maka dia memberi para plasma target tertentu, baik jumlah maupun waktu.
"Kalau bahan rambut asli kisaran harganya mencapai Rp1,2 juta - Rp1,5 juta per kilogram, tergantung panjang dan kualitasnya. Panjang rambut orang Indonesia maksimal 70-80 cm, itupun tidak banyak. Satu produk wig (dari bahan rambut asli) bisa dihargai Rp300.000 - Rp400.000," terang Trisu.
Bahan baku rambut asli bersumber dari kumpulan pengepul. Para pengepul ini bertingkat-tingkat dari yang kecil, agak besar lagi, dan seterusnya hingga pengepul besar yang punya akses ke pabrik-pabrik industri rambut. Bahan baku rambut asli yang disuplai ke pabrik ini akan melalui proses sortir, mana yang masuk kualitas pabrik akan disesuaikan. Itu juga terjadi di rambut sintetis, bahan rambut yang tidak lolos proses sortir akan disuplai kepada para pelaku home industri di Karangbanjar.
Memang tidak semua pengepul bisa bekerjasama langsung dengan pabrik. Belakangan, diakui Trisu, yang sedang tren adalah rambut asli impor dari India. Rambut ini memiliki diameter lebih besar, panjangnya pun lebih yaitu bisa mencapai 80 cm. "Berbeda dengan rambut asli indonesia yang maksimal 70-80 cm, dan itupun tidak banyak," katanya kepada brilio.net.
Warga sangatterampil mengolah rambut sintetis menjadi wig
Home industri yang berjalan di Karangbanjar lebih banyak memroduksi wig. Untuk memenuhi permintaan bulu mata (idep) dari para konsumen, mereka bekerjasama dengan para pekerja plasma pabrik bulu mata. Idep yang tidak sesuai standar pabrik mereka beli dan diserahkan ke plasma. Hal ini turut membantu serta menghargai jerih payah para pekerja plasma. Sebab, diakui Trisu, proses pembuatan bulu mata lebih panjang ketimbang proses pembuatan wig, ditambah tingkat kesulitannya lebih terutama ketika tahap menempelkan helai per helai rambut pada benang.
"Harganya juga nggak cukup lah. Dibandingkan kita proses sendiri jual sendiri, mending kita beli terus kita jual. Itu (bulu mata) kita dapat dari plasma yang di pabrik. Yang menurut pabrik itu afkir, baru masuk home industri," aku Trisu.
Para pembuat idep dengan sistem plasma (mengerjakannya di rumah) ini dihargai Rp50- Rp150 untuk proses nyantel (netting) per bulu mata. Beda besaran harga tersebut tergantung dari motif yang berarti pula tingkat kesulitan pembuatannya. Ketika dijual kepada konsumen para pemilik salon, Trisu mematok harga per lusin bulu mata Rp18.000. Sampai ke pelanggan salon dihargai Rp20.000 per pasang.
Ketimbang membuat bulu mata yang membutuhkan kejelian serta menyebabkan mata kerap terasa perih karena berjam-jam melihat helai-helai rambut, warga Karangbanjar lebih tergiur dengan pekerjaan memilah uban pada bahan baku rambut asli. "Orang lebih suka yang itu (memilah uban) sekarang, lumayan harganya. Satu kilogram bahan bisa Rp10.000 - Rp15.000. Sehari bisa dapat 1-2 kg (bahan). Uban cuma ada sekitar 1,5 persen dari rambut. Paling, dalam 1 kg cuma ada sekitar 500 helai uban," terang Trisu.
Recommended By Editor
- Konflik keluarga sebabkan industri kretek Nitisemito runtuh (3-habis)
- Nitisemito akrab dengan Bung Karno dan Paku Buwono X (2)
- Nitisemito, Raja Kretek Nusantara yang ternyata tak pernah sekolah (1)
- Jejak-jejak kejayaan Lasem sebagai pusat perdagangan opium (1)
- Pengusaha Tionghoa berebut untung dari opium di Lasem (2)