Brilio.net - Bioskop Grand Kramat dan Mulia Agung Theater, dua bioskop bersejarah Jakarta yang terletak di perempatan Pasar Senen kondisinya makin mengenaskan. Hidup segan, mati tak mau. Dari luar, dua gedung bioskop yang terletak antara Jalan Kramat Bunder dan Jalan Kramat Raya ini mirip gedung berhantu, kusam dan tak terawat. Debu menempel di setiap dinding. Pagar besi di depan gedung pun banyak yang berkarat.
Penelusuran brilio.net, begitu masuk ke dalam bioskop, suasananya tak kalah horor. Hampir di setiap sudut ruangan gedung tua juga terbentang sarang laba-laba. Di depan loket penjualan tiket sepi, hanya ada beberapa orang gelandangan yang tidur di lantai dan pedagang asongan yang beristirahat.
Poster-poster film yang terpampang kebanyakan berisi film-film jadul dan sudah kedaluwarsa. Pengelola bioskop ini tak mampu mendatangkan film yang baru rilis. Tak jarang, untuk menarik penonton, pengelola sengaja memasang poster film erotis dan seronok. Padahal, film yang diputar berbeda dengan poster yang dipasang.
Meski begitu, bioskop ini tetap menjadi pilihan kaum marginal di Jakarta yang mencoba mencari sejumput hiburan di tengah ganasnya kota Jakarta. Tak heran jika kebanyakan penonton terdiri dari berbagai profesi seperti tukang bajaj, sopir mikrolet, kondektur, anak jalanan, pengamen, dan pengemis. Maklum harga tiket sekali pertunjukan cuma Rp 5.000 untuk Grand Kramat dan Rp 6.000 untuk Mulia Agung, murah meriah kan?
Ada tiga teater di gedung ini. Uniknya, penonton bisa keluar masuk ke tiga teater itu tanpa ada biaya tambahan. Inilah ciri khas dari dua bioskop 'kelas tiga' yang tersisa di Jakarta. Jangan heran juga kalau tiba-tiba mengembalikan uang calon penonton. Alasannya, tiket yang terjual tak sebanding dengan biaya listrik yang harus dikeluarkan jika mereka memutar film.
Seorang gelandangan yang selalu tinggal di gedung itu mengaku bahwa umumnya jika ada film diputar pasti penontonnya sepi. Dia meragukan jika ada penonton, apakah benar ingin nonton atau hanya ingin memanfaatkan gedung yang sepi, sehingga bisa berduaan dengan pasangannya, baik lain jenis maupun sejenis. "Ya namanya saja suka sama suka mas," katanya.
Jangan berpikir kamu bakal menemukan kenyamanan di gedung ini. Tak ada penyejuk ruangan, cuma ada kipas angin. Jangan kaget jika kamu sedang nonton tiba-tiba ruangan dipenuhi asap rokok. Sebab, penonton diperbolehkan merokok di dalam bioskop. Kebiasaan yang tidak akan ditemui di bioskop 21 Cineplex atau Blitzplex.
Kamu juga sebaiknya mengangkat kaki saat duduk di kursi berbusa tipis yang pelapisnya rata-rata sudah koyak. Jika tidak, siap-siap saja kakimu dilalui tikus-tikus yang mencari remahan makan dari penonton. Belum lagi aroma bau pesing. Mirisnya, bioskop bersejarah di Jakarta ini sekarang dijadikan tempat mangkal para wanita penjaja cinta dan kaum homo untuk memadu kasih.
Bioskop ini unik dan bisa dibilang aneh, tapi ada hawa kebebasan di sini. Boleh jadi harapan akan kebebasan inilah yang membuat gedung bioskop ini tetap bertahan dan tegak berdiri menantang sejarah. Inilah satu-satunya gedung bioskop tua di Jakarta yang masih bertahan menjaga identitas sejarahnya. Sementara yang lain seperti Rivoli, Roxy, dan Metropole sudah sirna dan beralih rupa. Padahal, kedua bioskop ini di era 1970-1980an pernah menjadi saksi keemasan perfilman Indonesia. Boleh jadi, bioskop ini sedang menunggu ajal dan akan tinggal kenangan.
Recommended By Editor
- Di sini baju bermerek dan kualitas mal hanya dihargai Rp 5.000
- Cerita Devi, lapor e-KTP yang tak kunjung jadi pada Ahok dan direspons
- Mencicipi menu food truck tapi pakai konsep kuliner tradisional, enak!
- Siswa lebih takut raih nilai jelek ketimbang curang, pendidik prihatin
- Siapa sangka, tempat nongkrong anak muda Jakarta ini awalnya kumuh
- Kafe distro dan garden jadi tempat kongkow favorit anak muda Jakarta
- Asyiknya nongkrong 'di atas langit', urban Jakarta akrab dengan ini
- Sekarang hits di kalangan muda Jakarta, dulunya tempat cuci foto