Brilio.net - Keramaian seakan tak pernah jeda di pinggiran Kali Gelis, satu sungai utama di Kota Kudus. Di pinggiran sungai sebelah utara Jalan Sunan Kudus itu berderet puluhan kios non permanen yang menjual berbagai barang loakan. Warga mengenalnya dengan nama Pasar Bantaran Kali Gelis. Banyak warga datang ke sana untuk mencari onderdil kendaraan bekas.
Semua tampak biasa saja. Orang-orang datang membeli orderdil, tawar menawar harga, dan transaksi jual-beli, dan bereslah. Namun, ternyata di sana ada saksi sejarah panjang tentang dunia kretek Indonesia. Di dekat kios-kios itu, terdapat toko tekstil Fahrida yang cukup dikenal di Kudus. Nah, di bangunan itulah dulu Nasilah, istri Nitisemito menjual lintingan tembakau dan cengkeh. Nitisemito adalah raja kretek Kudus yang melegenda.
Waktu itu menjelang tahun 1900, toko-toko berderet menjual kopi dan tembakau. Nasilah adalah salah satunya, yakni menjual lintingan tembakau dan cengkeh. Sedang di sepanjang jalan terdapat banyak andong menunggu penumpang. Salah satu kusir andong adalah Nitisemito.Sejarah mencatat, pasangan suami istri ini adalah perintis rokok kretek, yang menggantikan kebiasaan masyarakat nginang (megunyah daun sirih yang banyak dilakukan oleh para kusir andong saat itu).
Namun, Edy Supratno, ahli sejarah Kota Kudus berpendapat lain. Menurut dia, tak benar Nitisemito dan Nasilah adalah penemu racikan rokok. Tradisi merokok sudah ada sejak lama di Eropa hingga akhirnya menyebar sampai di Asia. Di Indonesia sendiri, sebelum ada kretek, sudah ada tradisi melinting tembakau yang sering dilakukan masyarakat sehari-hari.
Tapi, terlepas dia penemu atau tidak, yang pasti Nitisemito adalah pengusaha pribumi pertama di Indonesia yang sukses karena rokok. Ia adalah gambaran sosok pengusaha yang tak pantang menyerah. Sebelum sukses dengan rokok kreteknya, ia sudah berulang kali gagal berbisnis. Sempat merantau ke Malang, hingga akhirnya menetap di Kudus. Rokok kretek miliknya Tjap Bal Tiga begitu melegenda.
Nitisemito mengenakan pakaian adat Solo
Nitisemito kecil bernama Roesdi. Lahir dari pasangan Haji Soelaiman dan Markanah. Haji Soelaiman merupakan seorang Lurah Desa Jagalan yang terletak di kawasan Kudus Kulon. Hingga saat ini belum diketahui secara persis pada tahun berapa sebenarnya Roesdi lahir.
Nusjirwan Soemadji Nitisemito, cucu Nitisemito ketika ditemui brilio.net awal Januari lalu menyebutkan jika kakeknya kemungkinan lahir pada tahun 1863. Hal itu berdasarkan dari cerita ayahnya, Soemadji, anak laki-laki Nitisemito. Ia menyebut Nitisemito meninggal pada Sabtu Kliwon, 7 Maret 1953 pada usia 90 tahun. Dari tahun meninggalnya, dapat ditarik mundur bahwa kelahiran Nitisemito adalah pada tahun 1863.
Tapi data itu berbeda dengan apa yang ditulis oleh Alex Soemadji Nitisemito, kakak Nusjirwan pada bukunya "Raja Kretek Nitisemito" yang terbit pada tahun 1980. Di buku itu disebut bahwa Roesdi alias Nitisemito kecil lahir pada tahun 1874 dan meninggal dalam usia sekitar 79 tahun. Pendapat ini dikuatkan oleh Mark Hanusz dalam bukunya "Kretek; The Culture and Heritage of Indonesia's Clove Cigarettes". Dan pendapat Nusjirwan ini juga sama dengan yang ditulis Amen Budiman dan Ongkokham dalam bukunya "Rokok Kretek; Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara".
Alex menyebut jika Roesdi tumbuh menjadi anak yang pemberani. Keberanian inilah yang membuatnya menolak permintaan ayahnya untuk bersekolah agar bisa melanjutkan kedudukannya. Ia lebih memilih menjadi pedagang dan enggan seperti bapaknya yang menjadi lurah. Keputusan Roesdi tersebut sempat membuat ayahnya kecewa berat. Tapi apa boleh buat, Haji Soelaiman menerima keputusan tersebut.
Usia 17 tahun dijadikan Roesdi sebagai awal untuk menguatkan keinginannya sebagai pedagang. Roesdi yang sama sekali tak bisa baca-tulis memutuskan merantau ke Kota Malang, Jawa Timur. Saat itu memang Kota Malang menjadi salah satu tempat perantauan orang Kudus, terutama mereka yang mempunyai kemampuan menjahit.
Nitisemito memulai karirnya di Malang sebagai buruh jahit. Tapi ia tak lama karena ia segera mendirikan usaha konveksi sendiri. Usahanya terbilang berjalan lancar dan mengungguli usaha konveksi lain di Malang. Meski begitu, saat itu sangat sulit untuk membuat usaha konveksi menjadi usaha besar karena persaingan yang sangat ketat. Alhasil, Roesdi menutuskan kembali ke Kudus dan meninggalkan dunia konveksi.
Kembali ke Kudus, ia mencoba memulai usaha minyak kelapa. Insting bisnisnya mengatakan bahwa banyak orang membutuhkan minyak kelapa untuk menggoreng. Tapi lagi-lagi usahanya gagal. Karena ternyata orang-orang lebih suka membuat minyak kelapa sendiri daripada membeli. Usaha pun gulung tikar.
Tak putus asa, ia lalu mencoba usaha jual beli kerbau. Di Kota Kudus saat itu, perdagangan kerbau memang jauh lebih ramai ketimbang sapi. Konon, penduduk Kudus lebih memilih makan daging kerbau daripada sapi. Ini karena adanya larangan Sunan Kudus agar tidak makan daging sapi untuk menjaga perasaan orang Hindu yang memuliakan sapi.
Maraknya perdagangan kerbau itu menyebabkan dusun yang ditinggali Nitisemito disebut Jagalan, yang berasal dari kata jagal atau pemotongan hewan. Namun, lagi-lagi bisnisnya meredup, lalu tutup.
Salah satu sudut Rumah Kembar peninggalan Nitisemito
Nitisemito memang pripadi yang keras dan tak mudah patah. Ia bangkit dan mencoba peruntungan sebagai pengusaha dokar. Selain memiliki armada yang dikemudikan oleh beberapa kusir, ia juga sengaja mengemudikan sendiri satu dokar. Di pangkalan dokarnya, ia membuka warung yang berjualan batik Solo, kopi dan tembakau.
Dalam buku Raja Kretek M. Nitisemito karangan Erlangga Ibrahim dan Syahrizal Budi Putranto menyebutkan, Roesdi dijodohkan oleh orangtuanya dengan Nasilah, perempuan asal Desa Singocandi. Setelah menikah, Nasilah kemudian diboyong ke rumahnya dan ditugaskan untuk mengurus warung. Roesdi pun mengubah namanya menjadi Nitisemito setelah menikah. Tapi ada pula yang menyebut jika perubahan nama itu terjadi saat Roesdi berumur 17 tahun.
Pasangan Roesdi-Nasilah dikaruniai tiga putri, yakni Hasanah, Nahari dan Nafiah. Namun Hasanah meninggal saat masih kecil. Pernikahan ini membawa berkah bagi keluarga Nitisemito. Muncullah ide untuk lebih mengembangkan perdagangan tembakau yang mereka lakukan menjadi sebuah bisnis yang memiliki nilai tambah. Di kemudian hari, usaha rokok kretek tersebut akhirnya membuat nama Nitisemito menjadi salah satu legenda pengusaha pribumi terbesar di Indonesia.
Dalam perjalanan hidupnya, karena mendambakan anak laki-laki, Nitisemito kemudian menikah lagi dengan Sawirah. Dari pernikahan ini lahirlah anak laki-laki yang dinantikan Nitisemito yang diberi nama Soemadji. Di kemudian hari Nahari Nitisemito menikah dengan Markoem dan memiliki anak tunggal bernama Akhwan. Setelah Markoem meninggal, Nahari menikah lagi dengan Oemar Said. Sedangkan Nafiah menikah dengan M. Karmain yang notabene adalah orang kepercayaan Nitisemito. Mereka tak dikaruniai keturunan sehingga mengangkat seorang putra bernama Djafa'ah dan As'ad, yang tinggal bersama di rumah kembar sebelah barat.
Edy Supratno, sejarawan Kota Kudus menyatakan M. Karmain yang menjadi kepercayaan Notosemito hingga diangkat menjadi menantu itu masih ada hubungan keluarga dengan Haji Jamhari, orang pertama yang mencampurkan tembakau dengan kretek. Jadi bagi Edy, sosok Haji Jamhari memang benar-benar ada.
Sementara itu, Soemadji kemudian menikah dengan Siti Chasinah yang merupakan anak dari pengusaha kretek terbesar kedua di Kudus, H. Muslich. Pernikahan dua pengusaha besar rokok kretek itu dirayakan secara besar-besaran, bahkan sampai tujuh hari tujuh malam. Pasangan tersebut lalu dikaruniai 12 anak, termasuk Alex Soemadji Nitisemito dan Nusjirwan Soemadji Nitisemito yang banyak dikenal.
Selama ini yang diketahui banyak orang, Nitisemito hanya mempunyai dua istri. Tetapi, menurut pernyataan Nusjirwaan ketika ditemui brilio.net, Nitisemito sebenarnya punya empat istri yang sah. Selain Nasilah dan Sawirah yang berasal dari Kudus, Nitisemito juga mempunyai istri di Purwodadi bernama Rebi Tijem dan istri di Salatiga bernama Ngalimah.
Memiliki istri di Salatiga ini oleh Edy Supratno dianggap lumrah karena memang Nitisemito pada masanya mempunyai pesanggrahan atau villa di Salatiga. Bahkan ia seringkali menerima tamu besar di sana daripada di Kudus.
Bungkus-bungkus rokok jadul yang tersimpan di Museum Kretek di Kudus
Semua berawal dari warung pinggir Jalan Sunan Kudus, yakni dengan menjual rokok cerutu. Dari warung dekat kali Gelis itu, rokok kreteknya mendapat sambutan hangat dari para penghisap kretek. Tak butuh lama, usahanya pun berkembang besar. Barulah ia berpikir tentang merek rokok kreteknya.
Awalnya ia memberi nama rokoknya dengan "Kodok Mangan Ulo" yang dalam bahasa Indonesia berarti "Katak Makan Ular". Tentu nama yang aneh itu menimbulkan tertawaan banyak orang. Lalu ia mendapat nama baru "Tjap Soempil" yang kemudian diganti lagi menjadi "Tjap Jeruk".
Terakhir, pada tahun 1905, ia hanya memberikan bulatan tiga pada bungkus rokoknya. Logo ini awalnya tak memiliki nama. para pembeli sendiri yang mengartikannya menjadi Tjap Boelatan Tiga, Tjap Boendar Tiga, Tjap Bola Tiga, dan Tjap bal Tiga. Baru kemudian akhirnya dipatenkan Nitisemito menjadi merek dagangnya, Tjap bal Tiga.
Soal merek "Kodok Mangan Ulo", yang ada dalam buku "Raja Kretek Nitisemito" karya Alex Soemadji Nitisemito yang merupakan cucu Nitisemito, sebenarnya masih kontroversial. Pasalnya Nusjirwan Soemadji Nitisemito, adik dari Alex mengungkapkan hal yang sebaliknya.
Menurut Nusjirwan, tak pernah ada merek tersebut. Merek tersebut hanya merek asal yang disebut pegawai tanpa pernah ada bukti nyata sejarahnya. "Itu karena ada anak buah eyang yang suka guyon, mungkin pas ditanyai Mas Alex mencetuskan kata itu," terangnya kepada brilio.net beberapa waktu lalu.
Merek Tjap bal Tiga sendiri mulai digunakan pada tahun 1906. Tapi sah terdaftar di Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908.
Pada tahun-tahun itulah muncul banyak pengusaha baru di dunia kretek, terutama pengusaha Tionghoa. Akhirnya banyak pengusaha kretek bermunculan di Kudus. Persaingan antara pribumi dan non pribumi pun memanas. Puncaknya adalah kerusuhan yang terjadi pada 1918 di Kudus.
Edy Supratno menceritakan, pada tahun itu persaingan antara pribumi dengan Tionghoa memang tak bisa dihindarkan. Dari sisi manajemen, pengusaha Tionghoa lebih maju dan mempunyai naluri bisnis yang kuat. Mereka berani membayar tenaga ahli lebih tinggi. Bahkan selain diberi bayaran lebih tinggi, seorang ahli juga diberi uang lebih dulu. Tak heran jika pada masa itu banyak pegawai pribumi yang memilih pindah ke pengusaha Tionghoa.
"Terjadilah kecemburuan yang menjadikan cikal bakal konflik. Rumah orang Tionghoa dibakar dan dibunuh. Yang meninggalkan Kudus ke Semarang bahkan sampai 2.000 orang," kata Edy kepada brilio.net beberapa waktu lalu.
Pada kurun waktu itu, setelah Nitisemito dengan merek Tjap Bal Tiga, muncul pengusaha kretek lain di Kudus seperti M. Atmowidjojo dengan merek Goenoeng Kedoe (1910), Tjoa Khang Hay dengan merek Trio (1912), H. Ali Asikin dengan merek Djangkar (1918), HM Ashadi dengan merek Delima (1918), HM Muslich dengan merek Teboe & Tjengkeh (1919), M. Sirin Atmo dengan merek Garbis & Manggis (1922), Koo Djee Siang dengan merek Nojorono (1932), HA Ma'ruf dengan merek Djambu Bol (1937), MC Wartono dengan merekSukun (1949), dan Oei Wie Gwan dengan merek Djarum (1951).
Kini, di antara semua merek kretek di Kudus tersebut yang masih eksis adalah Nojorono, Sukun, dan Djarum. Sedang Tjap Bal Tiga sudah tak ada. (bersambung)
Recommended By Editor
- Kartini sang penentang peredaran opium di kalangan pribumi (3-habis)
- Pengusaha Tionghoa berebut untung dari opium di Lasem (2)
- Jejak-jejak kejayaan Lasem sebagai pusat perdagangan opium (1)
- Go Tik Swan, maestro Batik yang lebih Jawa dari orang Jawa (1)
- Bulan pecah di tubuh Go Tik Swan, asal muasal Batik Indonesia (2)