Brilio.net - Kemerdekaan adalah sesuatu hal yang sulit untuk diperjuangkan begitu juga ketika kemerdekaan berhasil diraih tentu sulit pula untuk mempertahankannya.
Apalagi ketika kemerdekaan tersebut baru seumur jagung, para pejuang kemerdekaan bahkan hingga mempertaruhkan nyawa mereka.
Begitulah yang diceritakan oleh Parino (86), kakek kelahiran 22 Februari 1929 tersebut adalah veteran perang yang kala itu tergabung dalam Seinendan atau Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), sebuah pasukan bentukan Jepang.
Parino bercerita dirinya mulai bergabung dengan militer pada usia yang masih sangat muda yaitu 16 tahun. Pada tahun 1946 dirinya mengaku pernah nyaris tewas akibat dibombardir mortir oleh pasukan Belanda yang datang memboncengi pasukan sekutu.
"Saya bersama teman-teman dari Solo bergerilya ke Semarang untuk merebut Kota Semarang Timur saat itu. Sesampainya di Rowo Pening, tempat persembunyian kami, saya akrab dan ngobrol dengan seorang warga setempat. Saya tidak menyangka dia adalah mata-mata Belanda," cerita Parino kepada brilio.net Kamis (20/8) di kediamannya Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta
Saat itu kawan Parino tewas terkena mortir, Parino sendiri nyaris terkena mortir yang berdesing melewati kepalanya.
Parino juga menceritakan bahwa dirinya juga mendapatkan mukjizat ketika bersama teman-temannya berpatroli di Sragen, Jawa Tengah, menghadang konvoi Belanda.
Namun ternyata Belanda malah menyerang dengan tembakan-tembakan dan mortir, dan saat itu Parino hampir saja terkena mortir.
"Siang itu ketika tahu Belanda menyerang, saya bersama beberapa teman sembunyi. Ketika itu saya mendengar ada sesuatu yang jatuh di depan saya. Setelah kami cek ternyata itu adalah mortir yang untungnya katupnya tidak mengenai tanah jadi tidak meledak, Alhamdulillah," kenang Parino yang pensiun dari TNI Angakatan Udara di tahun 1978 dengan pangkat Pembantu Letnan Satu (Peltu).
Parino juga mengungkapkan bahwa dirinya sangat kecewa dengan apa yang dilakukan orang Indonesia saat ini yang terkadang sangat tidak menghargai jasa-jasa para pahlawan. Dia begitu prihatin melihat banyaknya konflik antar daerah juga beberapa wilayah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.
"Apa mereka tidak belajar sejarah, para pejuang di masa lalu berjuang sekuat tenaga menyatukan Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia itu kan bukan cuma istilah, harusnya juga bisa dimaknai," pungkas Parino.