Brilio.net - Tjipto Setiono (80) atau yang biasa akrab disapa dengan Mbah Tjip ini mungkin adalah satu-satunya pelukis selebor becak yang masih bertahan hingga saat ini. Pekerjaan yang telah dia tekuni selama lebih dari 50 tahun ini memang mulai sepi order.
Sebagai yang intens berinteraksi dengan becak lebih dari setengah abad, Tjipto paling merasakan perubahan yang melanda kota terkait moda transportasi masyarakat. Sejak akhir 1990-an, pesanan melukis selebor becak turun karena pengguna becak makin sedikit. Pengemudi becak makin sulit mendapat uang sehingga tidak lagi punya uang lebih untuk menghias becaknya.
"Sekarang dalam sebulan paling saya menerima empat pasang slebor becak," tuturnya.
Tak hanya beralihnya orang memilih naik bus ataupun taksi yang membuat Tjipto sepi order. Dari sisi tukang becak pun ada persoalan. Mereka para tukang becak banyak yang melepas selebornya, karena dirasa memberatkan ketika mengayuh becak. "Di samping itu biasanya selebor dijual untuk biaya makan," ujarnya lagi.
Para tukang becak kini tak begitu memperhatikan keindahan. Ini ditunjukkan dengan hanya memberi warna merah atau putih. Bahkan, ada yang dikontrak oleh sebuah hotel dengan sekadar menuliskan nama hotel tersebut di selebor becak. Hal tersebut memang jauh dari keindahan namun yang penting bagi tukang becak adalah pulang dengan membawa uang.
Masa kejayaan becak boleh jadi sudah meredup. Maka tak salah, jika Tjipto mulai mendiversifikasi usaha lain yang tetap berhubungan dengan dunia seni. Saat ini Tjipto membuka order melukis batu nisan di makam Tionghoa. Lelaki dengan tujuh anak tersebut mematok harga mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 2 juta, tergantung besar kecilnya nisan.
Melukis nisan tersebut dikerjakannya selama 3-5 hari, namun Tjipto menjamin bahwa lukisannya akan bertahan hingga lima tahun ke depan. "Order akan banyak kalau sudah mulai masuk waktu Cembengan (ritual ketika orang Tionghoa menghormati leluhurnya), saya bisa dapat pesanan lima nisan sekaligus," ujarnya.
Walau begitu Tjipto tidak begitu saja menutup jasa lukis selebornya. Bagaimanapun juga pekerjaan yang telah dilakoninya sejak tahun 1950 tersebut telah menjadi bagian dari hidupnya. "Kalau ada tukang becak walaupun cuma satu akan tetap saya layani selama saya masih hidup," tutupnya.
Recommended By Editor
- Potret para tukang becak tertidur di tengah kerasnya perjuangan mereka
- Tukang becak di Solo lebih 'terhormat' daripada ojek, ada 7.000 becak
- Wiwin, rancang becak listrik untuk tukang becak lanjut usia, keren!
- Di kampung ini banyak tukang becak yang fasih berbahasa Inggris!
- 4 Orang ini sering disebut-sebut jadi raja jalanan Indonesia