Brilio.net - Waktu pulang sekolah adalah waktu yang sangat ditunggu-tunggu para pelajar. Karena saat itu, para pelajar bisa beristirahat, menikmati masakan orangtuanya, dan bercengkerama dengan keluarga. Tapi hal itu barangkali tak bisa dirasakan Slamet (17), siswa tunanetra SMP 2 Sewon Bantul. Bagaimana tidak, sepulang sekolah Slamet tetap tinggal di sekolah hingga tiba waktunya pagi hari untuk menjalankan rutinitas sekolah lagi.

Tak ada orangtua dan tempat tinggal yang bisa disinggahi Slamet. Hingga akhirnya pihak sekolah memberikan solusi tersebut untuk Slamet. Hari-hari siswa yang senang membaca cerita Ko Ping Ho itu dihabiskan di salah satu SMP yang menerima siswa inklusi itu. Slamet secara khusus diizinkan pihak sekolah untuk tinggal di salah satu ruangan di sekolah hingga waktu yang tidak ditentukan.

Slamet merupakan warga Dusun Tambakan, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang yang kini duduk di kelas VIII SMP 2 Sewon Bantul. Sejak lahir ia sudah tak bisa menggunakan matanya untuk melihat. Kepindahannya dari Magelang ke Yogyakarta terjadi pada saat ia naik ke kelas IV SD. Saat itu ia memutuskan untuk pindah dari SLB Maarif Magelang karena ia menganggap akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik di Yogyakarta.

Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) menjadi tempat berlabuhnya untuk menuntut ilmu. Ia diantar oleh kedua orangtunya saat pindah ke Yogyakarta. Perkiraannya terbukti, bakat Slamet benar-benar terasah di Yogyakarta. Ia berhasil menjuarai kejuaraan tenis meja khusus tunanetra pada Pekan Olahraga Pelajar Cacat Nasional (Popcanas) pada 2013 lalu. Ia juga meraih juara 1 tenis meja Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) di Bandung pada April 2015 lalu. Baru-baru ini pada September 2015, ia juga berhasil meraih juara 1 pada kejuaraaan Nasional Tenis Meja untuk tunanetra di Solo Jawa Tengah.

Lulus dari SD Yaketunis, Slamet memilih untuk melanjutkan sekolah di SMP 2 Sewon. Ia menggunakan uang tabungan hasil menang lomba untuk kos di dekat sekolah dan biaya hidupnya. Tapi nasib malang ternyata menimpa Slamet. Orangtuanya tiba-tiba tak bisa dihubungi. Saat didatangi ke Muntilan, ternyata orangtuanya juga telah meninggalkan rumah kontrakannya itu. Slamet pun kebingungan. Tak ingin larut dalam kesedihan, siswa kelahiran 20 Oktober 1998 ini memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta.

Berjalannya waktu, uang tabungannya pun semakin habis. Terpikir dalam benaknya untuk keluar dari sekolah karena uangnya yang semakin habis. "Saat itu saya langsung coba cerita ke guru yang menangani siswa inklusi tentang niat saya untuk keluar sekolah," cerita Slamet kepada brilio.net di depan ruang kelasnya, Rabu (4/11).

Tapi ternyata pihak sekolah tak mau membiarkan Slamet telantar begitu saja. Setelah dirapatkan, pihak sekolah mengizinkan Slamet untuk tinggal di ruang Pramuka yang tidak terpakai. "Kebetulan ada ruang kosong di sekolah. Kalau di sekolah kan Slamet juga jelas terpantau, tidak seperti saat di luar sekolah karena memang di sini dia tidak ada keluarga," kata Lis Arifah (45), guru SMP 2 Sewon yang juga penanggung jawab siswa inklusi.

Maka jadilah Slamet hidup setiap hari di sekolah. Untuk hidup sehari-hari, Slamet biasa dibantu oleh donatur yang dicarikan pihak sekolah. Para guru pun biasa iuran setiap bulannya untuk membantu biaya hidup Slamet.

Bagi siswa yang bermimpi ingin kuliah di jurusan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini, ia tak mau larut dalam kesedihan karena ditinggal orangtuanya. Apalagi pemberitaan media yang masif setengah tahun lalu juga tak membuat orangtuanya mencarinya.

"Saya sudah tidak banyak berharap. Tapi kalau memang ternyata tiba-tiba orangtua saya menemui saya ya Alhamdulillah. Karena saya tetap harus melanjutkan hidup, jadi saya tidak mau larut dalam kesedihan," aku Slamet.