Brilio.net - Mungkin bagi seseorang tidaklah mungkin hidup serba ngirit, tetapi karena kesederhanaan yang dibalut rasa syukur, hidup yang begitu susah itu dapat dilalui dengan indah. Sama seperti yang dirasakan Ichsan Baktiar, pemuda 23 tahun dari Gunung Kidul, Yogyakarta.
Sejak kelas 2 SMA, pemuda yang sering dipanggil Icun itu sudah terbiasa untuk tidak meminta uang orangtuanya sepeser-pun. Saat itu, Icun sudah terbiasa sekolah nyambi kerja. Dia membiarkan orangtuanya yang berpenghasilan pas-pasan untuk mengutamakan adik lelaki satu-satunya.
Saat Icun menginjak bangku kelas 3 SMA, kegalauan sempat menghampirinya. Kondisi lingkungan kampung membuatnya sempat berpikiran untuk tak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bekerja dirasa lebih menjanjikan dan bisa lebih segera menghasilkan banyak pundi-pundi, yang jelas dibutuhkan keluarganya.
Namun ternyata takdir berkata lain. Pihak sekolah menawarinya mengikuti seleksi beasiswa masuk UGM. Sontak Icun mencoba mengikuti tawaran sekolah. Pertimbangan singkatnya adalah mungkin ini jalannya dan setelah lulus nanti gelar sarjana akan mengantarkannya meraih kesuksesan.
Tak disangka, Icun diterima di S1 Biologi UGM. Selanjutnya, dia menjalani hari-hari kuliahnya yang keras dengan mengantongi uang saku dari beasiswa sebesar Rp 600 ribu per bulan. Sebagian besar dari uang sangunya itu dia gunakan untuk membeli bensin, karena dia 'nglaju' atau pulang-pergi dari Gunung Kidul ke kampus.
Ketika hampir sebagian besar teman-teman dari kampungnya memilih kos supaya lebih fokus kuliah, Icun memilih untuk nglaju. Jarak yang jauh bukan masalah untuknya daripada harus keluar ongkos lagi untuk makan dan tempat tinggal. Icun selalu mengontrol diri agar tak ikut-ikutan nongkrong di kafe bareng teman-temannya.
Icun sangat ngirit hingga setiap bulannya masih bisa menabung Rp 300 ribu dari uang sakunya. Dia sangat telaten mengumpulkan lembar demi lembar uang kertas berwarna merah itu untuk cadangan hidup. Hal itu dilakukan karena dia menyadari gaji ayahnya sebagai buruh bangunan tidaklah seberapa. Uang tabungan itu bisa dia gunakan sewaktu-waktu saat kerjaan ayahnya lagi sepi.
Tak pernah ada protes atas hidup yang dia alami, yang terlontar dari bibirnya. Senyum selalu mengembang walau rasa letih menghampirinya, saat nglaju rumah-kampus dengan motor butut pinjaman pamannya. Rasa syukur membuatnya tak ambil pusing jika tak membeli sandang baru untuk dia kenakan sehari-hari, bahkan di hari raya.
Juga bukan masalah baginya tak bisa menenteng smartphone seperti anak muda kekinian. Icun terus bertahan menenteng HP usangnya yang dia miliki dari SMP. Baginya bisa kuliah dan ada laptop pinjaman dari pamannya lebih dari cukup.
Icun sempat berhasrat untuk memiliki HP android masa kini. Namun dia pendam hasrat itu. "Ternyata ada untungnya nggak beli HP layar sentuh. Kemarin pas rumah kemalingan, laptop dan beberapa alat elektronik hilang. Saking jadulnya itu HP, maling nggak mau nyuri. Padahal posisinya ada di dekat laptop," katanya sambil menerawang masa lalu, Jumat (8/5).
Kesederhanaan membuatnya mampu bangkit dari keterpurukan. Uang yang dia tabung selama masa kuliah dapat menolongnya untuk menyelesaikan skripsi yang sempat tertunda karena hilangnya laptop. Perlahan tapi pasti, Icun bisa menuntaskan kuliahnya. Wisuda-pun kini sudah di depan mata. Lagi-lagi semuanya murni menggunakan pundi-pundi pribadi.