Semilir angin berhembus pelan ketika Brilio.net mengunjungi sebuah warmindo di cabang Seturan, tepatnya di seberang kampus UPN Yogyakarta. Saat masuk ke dalam warmindo dengan bangunan bernuansa merah hitam, terasa suasana yang berbeda dengan kebanyakan warmindo di sekitar kampus. Pada dindingnya, tampak hiasan juga berbagai foto yang perlihatkan indahnya seni dan budaya Kalimantan Selatan. Mulai dari rumah adat hingga berbagai satwa yang tinggal di sana.
Warung ini juga punya menu andalan berupa Soto Banjar dan nasi kuning yang khas. Saya lalu memesan soto Banjar, dan semangkuk sup buah dengan harga mulai dari Rp 13 ribu. Semua pesanan itu langsung dicatat oleh pelayan yang tampak seragam kenakan kaus merah dengan tulisan ‘Burjo Burneo’. Tak menunggu waktu lama, mereka dengan sigap langsung membuatkan pesanan saya dengan cepat.
Setelah dihidangkan, porsinya lumayan untuk mengisi perut yang seharian kosong. Tak terlalu banyak juga tak terlalu sedikit. Rasa gurih dari kaldu dan bumbu yang menyatu begitu terasa saat menikmati soto Banjar. Ditambah, rasa segar saat mencicipi sup buah dengan beraneka ragam buah-buahan. Cocok di lidah saya karena tak terlalu manis.
Setelah semua menu yang saya pesan tandas, saya langsung diajak menuju kantor yang letaknya di lantai dua. Saya disambut oleh Ridho Al Rahman, pemilik warmindo yang tengah berkutat dengan layar laptopnya. Pria yang pernah menempuh studi S2 manajemen di UII (Universitas Islam Indonesia) ini menyebut sudah membuka lapak warmindo sejak 2013 silam. Setelah sebelumnya, ia membuka usaha jasa tour and travel.
© brilio.net
Malam itu tak ada musisi yang tampil. Namun, iringan lagu yang keluar dari pengeras suara rasanya sudah cukup menambah meriah atmosfer warung yang ramai pembeli itu.
Konsep ala kafe yang dihadirkan oleh warmindo Burneo pun juga diperlihatkan dari dekorasi warung. Berbeda dari warmindo lain, tampak ada tanaman gantung yang dan tulisan 'Burjo Burneo' dengan dihiasi lampu warna-warni di salah satu dindingnya. Tentunya juga dengan ukiran-ukiran khas Kalimantan yang sejalan dengan menu yang disajikan.
"Saya nih bukan bukan orang seni tapi lebih apa yang menciptakan sebuah pembeda sebuah image pasti ya dari depan aja dengan ukiran-ukiran," ujarnya.
Sempat buka tutup warung.
Tapi demikian, Ridho menjelaskan jika warung yang sudah ia rintis selama 11 tahun ini tak langsung ramai begitu saja. Ada momen yang membuatnya hampir menyerah ketika usahanya sepi pengunjung. Bahkan, ia sempat buka tutup lantaran tak bisa bersaing dengan warung burjo yang sudah lebih dulu buka.
Berjalannya waktu, ia mengubah konsep dan nama untuk warung burjo miliknya. Ia pun mengubah nama ‘Burneo’, setelah sebelumnya pada awal-awal buka ia tak terlalu memikirkan masalah nama untuk warung burjonya. Nama tersebut dipilihnya bukan sembarangan, tetapi menunjukkan identitas asalnya.
Recommended By Editor
- Usaha EO bangkrut rugi Rp 80 juta, pengusaha muda ini bangkit lewat bisnis fashion skala internasional
- 9 Potret terbaru Salma Achzaabi Paskibraka pembawa baki HUT RI ke-74, wujudkan ambisi jadi siswa AAU
- Bermodal Rp37 ribu dan kreativitas, anak SD ini sukses dirikan UMKM aksesori beromset jutaan rupiah
- Profil Khaled Mashal, calon kuat pemimpin Hamas pengganti Ismail Haniyeh yang wafat
- 11 Potret Maryam March Maharani di keseharian, atlet judo pembawa bendera di Pembukaan Olimpiade 2024
- Dulu diremehkan karena gaptek, kisah pria buktikan bisa kuliah sampai S3 di Australia ini bikin salut