Brilio.net - Pindah dari startup ke perusahaan corporate ternyata nggak segampang yang dibayangkan. Bagi kamu eks karyawan startup tentu butuh adaptasi ekstra buat menyesuaikan diri dengan ritme kerja yang beda 180 derajat.

Di corporate dengan sistem birokrasi yang lebih kaku dan rigid jadi tantangan tersendiri bagi kamu yang udah terbiasa dengan budaya kerja yang fleksibel di startup. Sedangkan karyawan start-up terbiasa dengan ritme cepat sekaligus aturan kerja yang nggak kaku. Nggak heran kalau eks karyawan start-up alami culture shock kalau pindah ke corporate.

Umumnya di corporate meeting yang lebih banyak, aturan berpakaian formal, hingga alur komunikasi yang lebih panjang tentu jauh berbeda. Selain itu, karyawan juga harus belajar menyesuaikan diri dengan ekspektasi dan standar tinggi yang biasanya ada di perusahaan besar.

Target kerja yang jelas sekaligus kontrol yang lebih ketat jadi hal baru yang harus dihadapi. Semua perubahan ini bikin adaptasi terasa seperti perjalanan panjang yang perlu kesabaran ekstra. Apa saja sih culture shock anak start-up yang pindah ke corporate? Yuk simak ulasannya di bawah ini yang disadur brilio.net dari berbagai sumber, Jumat (1/11).

1. Birokrasi yang berlapis-lapis.

Culture shock anak start-up yang pindah ke corporate  2024 freepik.com

foto: freepik.com/pressfoto

Anak startup kaget dengan sistem approval yang panjang dan bertingkat di corporate. Kebiasaan langsung eksekusi harus diganti dengan proses persetujuan yang melibatkan banyak pihak. Setiap keputusan baru mesti melalui berbagai level manajemen, bikin proses jadi lebih lama lalu kadang frustrating. Di startup, mereka terbiasa langsung diskusi lalu execute bareng founder atau CEO. Sistem hierarchy yang kaku ini jadi culture shock pertama yang harus dihadapi.

2. Dress code yang lebih formal.

Kaus, jeans, hingga sneakers yang jadi daily outfit di startup nggak bisa dibawa ke corporate. Aturan berpakaian yang formal lalu strict bikin bingung di awal-awal. Harus beli baju kerja baru terlebih sepatu pantofel jadi kebutuhan mendadak. Belum lagi aturan soal rambut, aksesori, hingga tato yang lebih ketat dibanding startup yang lebih open minded soal penampilan.

3. Meeting yang lebih terstruktur.

Budaya meeting di corporate beda banget sama di startup yang lebih santai dan to the point. Rapat harus pake appointment maupun booking ruangan dari jauh-jauh hari.

Presentasi mesti pake format template yang udah ditentukan bahkan dikemas formal. Kebiasaan diskusi sambil ngopi atau meeting sambil makan siang jadi berkurang karena corporate lebih strict soal protocol meeting.

4. Working hours yang kaku.

Jam kerja 9 to 5 yang ketat jadi kejutan buat anak startup yang terbiasa dengan jam kerja yang fleksibel. Kebiasaan datang telat atau pulang duluan asal kerjaan beres nggak bisa diterapkan di corporate. Sistem absensi yang ketat plus kultur atasan belum pulang, bawahan nggak boleh pulang duluan jadi adaptasi yang cukup menantang.

5. Project timeline yang lebih panjang.

Timeline project di corporate bisa 2-3 kali lebih lama dibanding di startup karena banyaknya proses review dan approval. Mindset done is better than perfect yang populer di startup harus diganti dengan standar quality control yang lebih rigid.

Nggak cuma itu, planning maupun dokumentasi jadi lebih detail serta memakan waktu yang lama. Oleh sebabnya, nggak bisa langsung terjun eksekusi kayak di startup.

6. Komunikasi yang lebih formal.

Chat santai di WhatsApp harus diganti dengan email formal berisi cc ke berbagai pihak. Bahasa komunikasi juga harus lebih formal, nggak bisa pake 'gue-lo' atau bahasa kasual kayak di startup.

Kultur open door policy atau ngobrol santai bareng atasan kalau ada masalah yang biasa ditemui di startup jarang ada di corporate, semua komunikasi ke atasan harus lewat jalur yang proper.

7. Budget dan resource yang terbatas.

Meski corporate punya dana lebih besar, proses pengajuan budget justru lebih ribet dan lama. Kebiasaan startup yang bisa langsung approve budget untuk ide baru nggak berlaku di corporate.

Setiap pengeluaran harus masuk annual planning lalu melalui berbagai level approval. Tools ataupun software baru nggak bisa langsung di-subscribe kayak di startup.

8. Less flexibility in role.

Job description di corporate lebih strict dan terbatas dibanding startup yang lebih fluid. Nggak bisa sembarangan ngusulin project di luar scope kerja atau bantu tim lain tanpa persetujuan. Aturan maupun tanggung jawab dibatasi sama struktur organisasi yang kaku. Culture 'everyone does everything' di startup harus ditinggalkan.

9. Sistem review performa yang kompleks.

KPI dan performance review di corporate jauh lebih kompleks sekaligus terstruktur dibanding startup. Review tahunan melibatkan banyak pihak maupun dokumentasi yang detail. Kenaikan gaji atau promosi punya aturan tetap, nggak bisa dadakan kayak di startup yang bisa promote karyawan kapan aja based on performance.

10. Work-life balance yang berbeda.

Corporate punya batasan lebih jelas antara jam kerja maupun personal time. Nggak ada ekspektasi buat standby 24/7 atau kerja weekend kayak di startup. Tapi ini juga berarti berkurangnya fleksibilitas buat ngambil cuti dadakan maupun work from anywhere. System paid leave bahkan overtime lebih ketat sehingga harus melalui prosedur yang telah ditentukan.