Brilio.net - Kasus pertengkaran antara Nikita Mirzani dan putrinya, Lolly, menyita perhatian publik. Konflik antara ibu dan anak perempuan kerap kali memanas, bahkan berakhir dengan hubungan yang renggang. Banyak yang menilai bahwa sikap keras seorang ibu bisa menjadi pemicu utama masalah ini. Namun, fenomena ini bukanlah hal yang langka di banyak keluarga.
Hubungan antara ibu dan anak perempuan memang memiliki dinamika yang berbeda, dan tidak jarang konflik terjadi. Pertengkaran antara ibu dan anak perempuan sering kali lebih intens dibandingkan dengan anak laki-laki. Banyak yang bertanya-tanya mengapa hal ini bisa terjadi.
Psikologis anak perempuan dan perannya dalam keluarga sering kali memengaruhi bagaimana mereka berinteraksi dengan ibu. Dari sudut pandang psikologis, dinamika ini sebenarnya dapat dijelaskan dengan baik. Kedekatan emosional antara ibu dan anak perempuan biasanya sangat kuat, tetapi justru kedekatan ini dapat memicu konflik yang lebih sering terjadi.
Pemicu pertengkaran sering kali berasal dari hal-hal kecil yang kemudian dibesar-besarkan karena adanya keterikatan emosi yang kuat. Namun, dengan pemahaman lebih dalam, ada cara yang lebih efektif untuk mengatasi konflik tersebut.
Berikut adalah lima penyebab utama anak perempuan lebih sering bertengkar dengan ibu dari sudut pandang psikologis, serta solusi yang bisa diterapkan dihimpun brilio.net dari berbagai sumber, Selasa (24/9).
1. Pencarian identitas yang kompleks.
foto: pixabay.com/VietFotos
Saat anak perempuan memasuki masa remaja, mereka mulai mencari jati diri dan ingin lebih mandiri. Fase pencarian identitas ini sering kali berbenturan dengan peran ibu yang masih ingin melindungi dan mengawasi anaknya.
Anak perempuan biasanya mulai mempertanyakan otoritas ibu, yang dapat memicu konflik. Menurut teori perkembangan Erik Erikson, masa remaja adalah fase penting dalam pencarian identitas dan peran dalam kehidupan sosial.
Solusi: Berikan ruang untuk anak perempuan dalam menentukan pilihan hidupnya. Biarkan mereka melakukan kesalahan kecil dan belajar dari pengalaman. Ini bisa membangun rasa percaya diri mereka dan mengurangi ketegangan dalam hubungan ibu-anak.
2. Harapan sosial yang lebih tinggi.
Ibu sering kali menempatkan harapan yang lebih tinggi pada anak perempuannya dibandingkan dengan anak laki-laki. Mereka mungkin mengharapkan anak perempuan untuk tampil sempurna, baik dalam pendidikan, penampilan, maupun perilaku.
Harapan yang tinggi ini dapat membuat anak merasa tertekan dan tidak cukup baik, yang kemudian memicu pertengkaran. Teori peran gender juga mengungkap bahwa anak perempuan sering kali diharapkan untuk lebih “ideal” di mata masyarakat.
Solusi: Cobalah untuk mengurangi ekspektasi yang terlalu tinggi. Alih-alih fokus pada hasil akhir, hargai usaha yang telah dilakukan anak perempuan. Dengan pendekatan yang lebih fleksibel, hubungan antara ibu dan anak perempuan akan menjadi lebih positif dan terbuka.
3. Kedekatan emosional yang intens.
foto: pixabay.com/edsavi30
Ibu dan anak perempuan sering kali memiliki hubungan yang sangat dekat, terutama dalam hal emosional. Kedekatan ini bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, mereka bisa saling mendukung dan berbagi, namun di sisi lain, intensitas emosional yang tinggi dapat membuat mereka lebih sering berselisih. Pertengkaran ini bisa terjadi karena mereka merasa sangat terikat satu sama lain sehingga segala hal, sekecil apa pun, bisa memicu perdebatan.
Solusi: Penting bagi ibu dan anak perempuan untuk belajar menyeimbangkan hubungan mereka. Komunikasi yang terbuka dan tidak terburu-buru dalam merespons perasaan bisa membantu mengurangi intensitas konflik. Dengan saling memahami emosi satu sama lain, pertengkaran bisa diminimalisir.
4. Kontrol dan otoritas yang dipertanyakan.
Ibu sering kali merasa bahwa mereka memiliki otoritas penuh atas keputusan anak-anaknya, termasuk anak perempuan. Namun, anak perempuan yang sedang tumbuh dewasa sering kali mulai mempertanyakan kontrol ini. Perasaan ingin merdeka dan lepas dari otoritas ibu membuat anak perempuan lebih sering bertengkar, terutama dalam hal yang berhubungan dengan keputusan pribadi.
Solusi: Cobalah untuk lebih fleksibel dalam memberikan kebebasan kepada anak perempuan. Libatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan hargai pendapat mereka. Dengan cara ini, mereka merasa lebih dihargai dan pertengkaran terkait otoritas bisa berkurang.
5. Pengaruh hormonal.
foto: freepik.com/stockking
Pada masa remaja, anak perempuan mengalami perubahan hormon yang signifikan, yang dapat memengaruhi suasana hati mereka. Fluktuasi hormon ini sering kali membuat mereka lebih mudah tersinggung dan sensitif, sehingga konflik dengan ibu bisa terjadi lebih sering. American Psychological Association (APA) menjelaskan bahwa remaja perempuan lebih rentan terhadap perubahan mood yang drastis dibandingkan anak laki-laki.
Solusi: Sadarilah bahwa perubahan hormon ini adalah bagian dari proses pertumbuhan. Jangan langsung merespons reaksi emosional anak perempuan dengan kemarahan atau frustrasi. Cobalah untuk lebih sabar dan mengerti bahwa perubahan suasana hati ini sementara dan bisa dikelola dengan komunikasi yang baik.