Brilio.net - Siapa saja bisa menjadi pelaku kejahatan kriminal, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Hakekatnya anak-anak tumbuh dan berkembang menjadi generasi penerus bangsa yang berdikari. Namun sayangnya, berbagai hal bisa membuat anak-anak terjerat berbagai kejahatan. Mulai dari kejahatan ringan hingga kejahatan berat yang mengancam nyawa orang lain.

Belum lama ini seperti kasus yang ramai dibincangkan warganet di platform X, di mana 4 bocah di Palembang yang melakukan kejahatan kriminal perkosaan dan pembunuhan terhadap siswi SMP berinisial AA. Adapun para pelaku diantaranya IS (16), yang merupakan gebetan korban, lalu tiga lainnya adalah MZ (13), NS (12) dan AS (12) yang merupakan teman IS.

Naasnya para pelaku yang telah melakukan tindakan keji ini tidak bisa dihukum, terutama MZ, NA, dan AS lataran masih di bawah umur. Sedangkan IS (16) akan menjalani proses penahanan hingga putusan pengadilan. Meski demikian, MZ, NA, maupun AS tetap menjalani proses rehabilitasi.

Tindakan rehabilitasi tersebut tidak terlepas dari Sistem peradilan anak di Indonesia berupaya mengutamakan rehabilitasi dan pendidikan, bukan hukuman yang bersifat retributif. Hal ini bertujuan agar anak-anak tersebut mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri lalu kembali ke jalur yang benar.

Tentu fenomena ini memunculkan berbagai pertanyaan tentang alasan di balik perlakuan hukum yang berbeda terhadap pelaku yang masih tergolong anak-anak. Ada beberapa faktor yang mendasari keputusan untuk tidak menjatuhkan hukuman berat kepada mereka, mulai dari aspek psikologis hingga kebijakan hukum yang melindungi hak anak.

Supaya tidak salah kaprah, yuk simak ulasan lengkap di bawah ini, seperti dihimpun brilio.net dari berbagai sumber, Jumat (6/9).

Alasan anak tidak dihukum penjara meski jadi pelaku kejahatan © 2024 freepik.com

Alasan anak tidak dihukum penjara meski jadi pelaku kejahatan
freepik.com

Anak di bawah umur yang terlibat dalam tindak kejahatan seringkali tidak dijatuhi hukuman pidana seperti orang dewasa. Hal ini bukan berarti tindakan mereka diabaikan, melainkan ada beberapa alasan hukum, sosial, dan psikologis yang melatarbelakanginya.

Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum diatur secara berbeda di banyak negara, termasuk di Indonesia, berdasarkan prinsip bahwa anak-anak masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, sehingga pendekatan yang diambil harus lebih mengutamakan rehabilitasi daripada hukuman. Adapun alasan anak dibawah umur tidak dihukum meski lakukan kejahatan kriminal, diantaranya:

1. Prinsip perlindungan anak dalam sistem hukum

Berdasarkan hukum di banyak negara, termasuk Indonesia melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), menekankan perlindungan hak anak. Undang-undang ini mengakui bahwa anak di bawah umur belum sepenuhnya matang secara fisik maupun mental, sehingga mereka belum dapat dimintai tanggung jawab pidana seperti orang dewasa.

Tujuan utama dalam penanganan kasus anak yang terlibat kejahatan bukanlah hukuman, tetapi rehabilitasi dan reintegrasi anak ke dalam masyarakat. Anak yang terlibat tindak pidana biasanya diberikan pembinaan di lembaga khusus atau melalui mekanisme diversi, yaitu penyelesaian perkara di luar pengadilan, agar dapat memperbaiki perilaku mereka tanpa merusak masa depannya.

2. Perbedaan tahap perkembangan Psikologis

Anak-anak di bawah umur, secara psikologis berada dalam tahap perkembangan yang berbeda dengan orang dewasa. Pada usia tersebut, otak belum sepenuhnya berkembang, terutama dalam hal pengambilan keputusan maupun kontrol diri.

Penelitian dalam bidang neurologi menunjukkan bahwa bagian otak yang bertanggung jawab atas penilaian risiko dan kontrol impuls belum matang sepenuhnya hingga usia 20-an tahun.

Hal ini berarti anak-anak lebih cenderung untuk bertindak impulsif, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. Karena itu, sistem hukum memperlakukan mereka secara berbeda, dengan fokus pada pembinaan ketimbang penghukuman, untuk memberi kesempatan memperbaiki diri.

3. Faktor lingkungan dan pengaruh sosial

Selain faktor perkembangan individu, banyak anak yang terlibat dalam tindak kejahatan karena pengaruh lingkungan atau kondisi sosial-ekonomi yang buruk. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan dengan tingkat kemiskinan tinggi, kurangnya akses pendidikan, ataupun di keluarga yang disfungsional, lebih rentan terlibat dalam tindakan kriminal.

Mereka mungkin tidak memiliki pembimbing atau role model yang baik, sehingga mudah terjerumus dalam pergaulan negatif. Faktor-faktor ini seringkali menjadi pertimbangan hukum, sehingga anak tidak langsung dijatuhi hukuman, tetapi lebih diarahkan pada upaya pembinaan dan bimbingan agar mereka dapat kembali ke jalur yang benar.

4. Prinsip pemulihan dan rehabilitasi

Dalam sistem peradilan anak, pendekatan yang digunakan lebih berfokus pada pemulihan dan rehabilitasi daripada hukuman. Filosofi ini berdasarkan pandangan bahwa anak-anak masih memiliki potensi besar untuk berubah serta berkembang menjadi pribadi yang lebih baik jika diberikan kesempatan maupun bimbingan yang tepat.

Hukuman penjara yang keras justru dapat memperburuk kondisi psikologis dan sosial anak, sehingga memperbesar kemungkinan mereka terlibat dalam kejahatan di masa depan. Oleh karena itu, sistem rehabilitasi seperti bimbingan konseling, pendidikan, hingga program keterampilan dirancang untuk membantu anak-anak memperbaiki perilaku mereka serta mempersiapkan masa depan yang lebih baik, ketimbang menghukum mereka dengan cara yang merusak masa depan.

5. Dampak jangka panjang hukuman

Menghukum anak-anak seperti orang dewasa dapat memiliki dampak negatif jangka panjang. Studi yang dilakukan oleh Campaign for Youth Justice menemukan bahwa anak-anak yang dihukum dalam sistem peradilan dewasa memiliki tingkat residivisme (pengulangan kejahatan) yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang ditangani dalam sistem peradilan anak.

Selain itu, hukuman penjara dapat mengganggu pendidikan, perkembangan sosial, hingga kesehatan mental anak. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam reintegrasi ke masyarakat dan meningkatkan risiko perilaku kriminal di masa depan.

Alternatif sanksi yang diberikan pada anak yang melakukan kejahatan.

Alasan anak tidak dihukum penjara meski jadi pelaku kejahatan © 2024 freepik.com

Alasan anak tidak dihukum penjara meski jadi pelaku kejahatan
freepik.com

Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), memberikan berbagai alternatif sanksi yang lebih bersifat edukatif dan rehabilitatif daripada hukuman murni. Adapun ulasan lengkap mengenai sanksi yang dapat diberikan kepada anak di bawah umur yang melakukan kejahatan kriminal:

1. Diversi

Diversi merupakan mekanisme utama yang digunakan dalam kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Diversi memungkinkan penyelesaian kasus di luar pengadilan melalui mediasi antara pelaku (anak) dan korban, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Tujuannya untuk menghindari anak dari proses peradilan yang bisa memberikan stigma negatif serta merusak masa depan mereka. Dalam diversi, anak bisa diarahkan untuk melakukan berbagai tindakan seperti:

- Permintaan maaf kepada korban
Anak mungkin diminta untuk meminta maaf kepada korban secara formal lalu mendamaikan kedua belah pihak.

- Ganti rugi atau restitusi
Jika terjadi kerugian materiil, anak dan/atau keluarganya mungkin diminta untuk membayar ganti rugi kepada korban.

- Kerja sosial
Anak bisa diminta untuk melakukan kerja sosial dalam jangka waktu tertentu sebagai bentuk tanggung jawab atas tindakannya.

2. Pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)

Jika kasus tidak dapat diselesaikan melalui diversi atau pelanggaran yang dilakukan tergolong serius, anak bisa ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Di sini, anak akan menjalani proses pembinaan di bawah pengawasan negara.

Sanksi ini bertujuan bukan untuk menghukum, tetapi untuk mendidik sekaligus memulihkan anak agar mereka tidak mengulangi tindakan kriminal di masa depan. Di LPKA, anak diberikan akses pendidikan, pelatihan keterampilan, hingga program-program rehabilitasi agar mereka bisa kembali berintegrasi ke masyarakat dengan lebih baik.

3. Pendidikan dan pelatihan

Sebagai alternatif sanksi, anak yang terlibat dalam tindak kriminal bisa diwajibkan mengikuti program pendidikan atau pelatihan keterampilan khusus.

Tujuan dari sanksi ini yakni untuk memberikan anak kesempatan mengembangkan kemampuan yang positif dan produktif, sekaligus membantu mereka menjauhi pergaulan atau aktivitas yang negatif.

Sanksi ini biasanya diiringi dengan pengawasan dari pihak berwenang yang bertugas memastikan bahwa anak benar-benar mengikuti proses pendidikan atau pelatihan yang ditentukan.

4. Pengawasan orang tua atau wali

Dalam beberapa kasus, anak yang terlibat dalam tindak kriminal dapat dikenakan sanksi berupa pengawasan orang tua atau wali.

Pengadilan dapat menetapkan bahwa anak tersebut harus berada di bawah pengawasan ketat keluarganya dalam jangka waktu tertentu, dan mereka diwajibkan untuk melapor kepada otoritas terkait secara berkala.

Tujuan dari sanksi ini untuk mencegah anak kembali melakukan pelanggaran lalu memberikan kesempatan bagi orang tua atau wali untuk memantau serta membimbing anak secara langsung.

5. Konseling Psikologis

Anak yang melakukan tindakan kriminal juga dapat diwajibkan untuk mengikuti sesi konseling atau terapi psikologis, terutama jika tindakannya dipengaruhi oleh masalah emosional, trauma, ataupun gangguan perilaku.

Melalui terapi, anak diharapkan bisa memahami akibat dari perbuatannya, mengelola emosi dengan lebih baik, serta mengatasi masalah mental yang mungkin mempengaruhi perilaku mereka.

6. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali dengan syarat-syarat tertentu

Dalam beberapa kasus ringan, pengadilan bisa memutuskan untuk menyerahkan kembali anak kepada orang tua/walinya, tetapi dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi.

Misalnya, anak harus berperilaku baik, mengikuti program pendidikan atau rehabilitasi, sekaligus melapor secara berkala kepada pihak berwenang.

Sanksi ini seringkali diberikan jika pengadilan menilai bahwa anak masih memiliki lingkungan yang mendukung untuk perbaikan perilaku dan dapat diawasi secara efektif oleh keluarganya.