Brilio.net - Muhammad Shadiq Arifin namanya, seorang pegawai kantoran yang memiliki hobi cukup unik, yaitu sebagai toy photographer. Arif menjelaskan, jika diingat secara kilas balik, awalnya ia hanya senang mengumpulkan koleksi mainan (action figure) untuk dijadikan pajangan di atas meja, bukan langsung menjadi toy photographer. Setelah koleksinya semakin banyak, ia jadi sadar kalau action figure di rumahnya tersebut akan sia-sia jika hanya jadi pajangan belaka.
Akhirnya ia memutuskan membuat konten media sosial soal potret-potret koleksi action figure-nya. Dari sinilah perjalanannya sebagai toy photographer dimulai. Seluruh karya-karya toy photography ia tuangkan lewat akun Instagram @cerita.mainan.
foto: Instagram/@cerita.mainan
Arif mengaku, sebenarnya basis yang ia miliki itu videographer, yang sudah ia pelajari sejak di bangku SMK karena sering mengerjakan tugas sekolah atau komunitas video. Tetapi, menurutnya videography dan photography saling berkesinambungan, sehingga ia tak mendapati kesulitan saat terjun ke dunia toy photography.
"Kalau basic (dasar) photography sebenarnya sudah ada. Awalnya memang videography sih, cuman dari videography itu pasti mau nggak mau harus belajar photography juga, terutama dari segi editing, bikin thumbnail, dan segala macam. Dari situ sih, jadi emang udah ada basic-nya," jelas Arif saat ditemui brilio.net pada Sabtu (17/8) melalui Google Meet.
foto: Instagram/@cerita.mainan
Sambil mengingat-ngingat, Arif mengatakan hobi memotret mainan ini sudah ia mulai sejak sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Namun, hobi ini baru efektif digelutinya tepat saat pandemi pada 2019 silam, karena ia memiliki banyak waktu luang di rumah. Pasalnya, semua orang di dunia tengah menjalankan social distancing (pembatasan sosial) di era pandemi saat itu, tak terkecuali Arif.
Hingga saat ini, walaupun sudah tak menjalankan social distancing seperti saat pandemi, Arif masih aktif membuat karya toy photography. Ia menggarap foto-foto mainan di sela-sela kesibukannya bekerja sebagai pegawai kantoran. Arif berujar, meskipun harus ke kantor lima kali dalam seminggu, hobinya ini sama sekali tidak mengganggu pekerjaan utamanya sebagai karyawan. Baginya, toy photography justru menjadi stress release (pelepas stres), karena ia memiliki produktivitas lain di samping bekerja.
"Ketika pulang kerja, lagi punya ide (konsep potret mainan), yaudah eksekusi. Jadinya kalau di aku sendiri, menjadi lebih produktif itu lebih menyenangkan daripada sekadar sampai rumah (usai kerja), tidur, terus besoknya bangun dan kerja lagi," ungkap Arif.
foto: Instagram/@cerita.mainan
Raih prestasi di kancah internasional.
Setelah dijalani beberapa tahun, hobi Arif ini ternyata membuahkan pengalaman manis, lho. Hasil memotret mainannya tembus hingga kancah internasional. Arif menceritakan, di dunia toy photography, ada beberapa pihak yang menjadi apresiator karya-karya potret mainan, salah satunya Exclu Magazine. Penerbit majalah tersebut berlokasi di Norwich, sebuah kota di Inggris.
Toy photographer di seluruh dunia dapat mengirimkan karya ke Exclu Magazine ini, dan nantinya karya-karya tersebut akan diseleksi untuk dapat masuk atau menjadi featured di dalam majalah. Nah, Arif berkesempatan menjadi salah satu toy photographer terpilih di Exclu Magazine pada 2020 lalu.
"Exclu itu salah satu apresiator yang kalau karya kita masuk ke sana udah wah banget di (kalangan) toy photographer. Top tier-nya (tingkat atas), lah. Walaupun masuk ke sana sebenarnya daftar ya, tapi di-filter (saring) lagi sama mereka," ucap Arif.
foto: dok/Arif
Majalah Exclu mengumpulkan karya dari 100 toy photographer terpilih. Saat itu, Arif memamerkan karya berupa potret action figure salah satu karakter film Marvel, yakni Iron Man. Ia menjelaskan, saat proses seleksi, toy photographer harus mengikuti ketentuan untuk tidak melakukan proses editing karya terlalu banyak.
"Lebih ke praktikal, jadi misalnya pakai diorama, diorama itu harus real (asli). Efek asap, cahaya, dan lain-lain itu nggak boleh lewat edit. (Peraturannya) cuma boleh memperbagus bagian mata atau bagian-bagian dari figure itu sendiri," jelasnya.
foto: dok/Arif
Selain Exclu, Arif juga sempat terpilih berkesempatan memamerkan karyanya di penerbit berbeda, yaitu majalah Toku Underground. Penerbit satu ini punya genre berbeda dengan Exclu, yakni khusus di genre Tokusatsu Jepang seperti Ultraman, Kamen Rider, Super Sentai, Power Ranger, Godzilla, dan masih banyak lagi.
foto: dok/Arif
Toku Underground juga merupakan apresiator toy photographer seluruh dunia. Karya milik Arif berhasil masuk ke majalah Toku Underground ini pada 2021 lalu, berupa potret action figure Kamen Rider.
foto: dok/Arif
Proses kreatif di balik karya toy photographer.
Arif menceritakan, hasil karya toy photography biasanya dimulai dari penentuan ide. Awalnya, ia hanya ingin melakukan re-create (menciptakan kembali) scene-scene dari film Marvel ke dalam sebuah potret action figure. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai menemukan banyak ide lain untuk dituangkan ke dalam karya toy photography, sehingga tak sebatas tentang re-create film Marvel saja.
foto: Instagram/@cerita.mainan
Belakangan ini, Arif juga sudah beberapa kali melakukan proses brainstorming ide yang lebih tertata menggunakan moodboard. Menurut Arif, moodboard sangat berperan untuk menunjang para toy photographer mengumpulkan berbagai referensi pose, angle, lighting, dan lain sebagainya sebelum action figure dieksekusi menjadi foto.
Setelah moodboard jadi, Arif selanjutnya masuk ke proses simulasi untuk mencoba beberapa referensi yang telah ia kumpulkan di dalam moodboard. Usai menemukan pose, angle, lighting, dan semua kebutuhan gambar yang cocok, barulah pengambilan gambar dimulai.
"Kadang sekali ambil foto udah cukup. Tapi bisa juga lebih dari sekali karena pengin nyoba explore lagi barangkali lebih bagus dengan angle lain," timpal Arif.
Semua pengambilan gambar yang dilakukan Arif diketahui memanfaatkan kamera Sony A6000. Tetapi, ia mengaku kadang-kadang dengan memotret menggunakan ponsel saja sudah menghasilkan gambar cukup bagus. Arif menambahkan, pencahayaan juga berperan penting dalam pengambilan gambar. Kadang-kadang ia menggunakan pencahayaan dari alat lighting ataupun sinar matahari langsung sesuai kebutuhan konsep foto yang tengah ia garap.
foto: dok/Arif
Usai pemotretan rampung, hasil gambarnya akan diedit sebelum diunggah ke media sosial maupun dikirimkan ke pihak apresiator. Arif menjelaskan, proses editing dapat dilakukan di komputer menggunakan aplikasi Adobe Photoshop ataupun lewat ponsel dan tablet saja. Ia biasanya mengedit gambar dengan menambahkan efek, melakukan color grading (permainan warna), dan lain sebagainya.
"Sekarang lebih sering (pakai aplikasi) Picsart dan Lightroom, supaya lebih simpel dan bisa mobile lewat HP atau tablet," jelas Arif.
Di samping menggunakan action figure sebagai objek utama pada fotonya, Arif juga memanfaatkan properti lain sebagai pelengkap, seperti background dan barang-barang lainnya, supaya hasil gambarnya seakan lebih hidup dan enak dilihat. Aneka properti tersebut ada yang dibuat sendiri ataupun beli.
"Sebenarnya bisa DIY (membuat sendiri), tapi kadang-kadang alat atau bahannya agak susah dicari di lingkungan sini, jadi pada akhirnya mending beli jadi. Kenapa? Karena dihitung-hitung secara cost (biaya), misalnya beli, memang lebih murah, tapi perlu waktu buat ngerakit sendiri dan lumayan repot, jadi pada akhirnya beli jadi. Cuman nggak sedikit juga yang bikin sendiri, jadi lihat-lihat di YouTube atau tanya teman juga cara bikinnya. (Memilih) bikin sendiri kalau bisa, cuma rata-rata beli atau sekadar pakai background kertas buat jadi latar doang berbentuk rumah, gunung, bukit, dan segala macam, kadang cuma itu,” jelasnya.
foto: dok/Arif
Hambatan yang dialami saat bergelut di bidang toy photography.
Meskipun karyanya beberapa kali diapresiasi oleh kalangan toy photographer seluruh dunia, tapi Arif masih sesekali mengalami insecure atau tidak percaya diri dengan kemampuannya. Terutama di momen awal terjun ke bidang ini, ia merasa masih kurang fasih soal basic photography dan editing. Ditambah lagi, ia melihat banyak toy photographer lain yang sudah punya banyak pengalaman dan jam terbang lebih lama darinya.
Di sisi lain, Arif juga sempat merasa insecure saat melihat toy photographer lain yang mempunyai style atau ciri khas karya secara spesifik, contohnya ada toy photographer yang hanya menggunakan objek dari satu action figure atau style lighting tertentu. Sementara Arif, ia termasuk toy photographer yang mencoba berbagai style, tidak spesifik ke satu hal saja. Makanya ia sempat merasakan krisis identitas di bidang toy photography.
Namun, lama-kelamaan ia sudah tak lagi mempermasalahkan semua penyebab rasa insecure-nya. Ia mengaku, rasa insecure tersebut justru menghambat perkembangannya sebagai toy photographer, bahkan berisiko menyebabkan creative block.
"Ah yaudah kita posting aja apa yang kita senang atau suka, kita nggak cari tenar. Jadi sekarang lebih happy aja menjalaninya, nggak ada pressure (tekanan)," ungkap Arif.
foto: Instagram/@cerita.mainan
Ngomong-ngomong soal creative block, istilah ini dikenal sebagai kondisi seniman yang terhambat dalam proses penciptaan karya, sehingga produktivitasnya menurun. Arif rupanya pernah mengalami hal tersebut, bahkan sampai 3 bulan lamanya. Di situasi creative block, Arif hanya membeli koleksi action figure saja tanpa ada minat membuat karya toy photography.
Namun, ada satu hal yang menurut Arif bisa membantunya menghilangkan creative block, yaitu kehadiran moodboard. Seperti disebutkan sebelumnya, moodboard sangat berperan untuk mengumpulkan referensi sebelum toy photographer menggarap karya. Di sisi lain, ternyata moodboard ini juga membantu meningkatkan semangat dan minat berkarya yang semula hilang entah ke mana, lho.
Aktif membangun relasi di kalangan toy photographer.
Sebagai toy photographer, Arif tercatat sebagai anggota komunitas bernama Jakarta Little Hobby (JLH). Komunitas satu ini secara spesifik jadi tempat para toy photographer di seluruh Indonesia berkumpul. Lewat JLH pula Arif mendapatkan banyak teman untuk saling berkolaborasi menghasilkan karya, baik untuk dikirimkan ke event (acara) tertentu atau bahkan mengadakan event sendiri.
"Event ngadain sendiri atau join di tempat lain. Misalnya lagi ada Digimon Day, jadi kita collab (kolaborasi) nanti posting karya dalam bentuk (unggahan) carousel di Instagram bareng teman-teman toy photographer lain," kata Arif.
foto: Instagram/@cerita.mainan
Kenal banyak orang di bidang toy photography membuat Arif lebih mudah mendapatkan pelanggan saat ingin menjual koleksi action figure yang sudah tak ia gunakan lagi. Pasalnya, ia berdomisili di luar pulau Jawa, sehingga cukup sulit mempromosikan action figure karena kurangnya peminat. Arif juga mengakui, bidang toy photography memang kurang eksis di daerah tempat tinggalnya, Kalimantan, dibanding dengan pulau Jawa, terutama wilayah Jabodetabek.
"Untung-untungan memang. Pernah juga beberapa kali karena merasa itu tadi, figure-nya nggak terpakai, difoto juga nggak, akhirnya memilih untuk dijual. Dan beberapa kali memang bisa terjual, alhamdulillah, tapi nggak yang pas diposting langsung kejual, kayak sekitar beberapa bulan atau tahun. Jualnya di toko online atau kadang langsung menawarkan ke komunitas di WhatsApp atau sosmed," pungkas Arif.
Recommended By Editor
- Usaha EO bangkrut rugi Rp 80 juta, pengusaha muda ini bangkit lewat bisnis fashion skala internasional
- Sempat ditentang karena tak laku, kisah Ridho Al Rahman pionir warmindo sajikan menu khas Kalimantan
- 9 Potret terbaru Salma Achzaabi Paskibraka pembawa baki HUT RI ke-74, wujudkan ambisi jadi siswa AAU
- Bermodal Rp37 ribu dan kreativitas, anak SD ini sukses dirikan UMKM aksesori beromset jutaan rupiah
- Profil Khaled Mashal, calon kuat pemimpin Hamas pengganti Ismail Haniyeh yang wafat
- 11 Potret Maryam March Maharani di keseharian, atlet judo pembawa bendera di Pembukaan Olimpiade 2024
- Dulu diremehkan karena gaptek, kisah pria buktikan bisa kuliah sampai S3 di Australia ini bikin salut