Brilio.net - Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi sorotan setelah seorang dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) diduga melakukan plagiarisme terhadap karya sejarawan ternama, Peter Carey. Dugaan ini muncul pertama kali melalui unggahan di media sosial X yang mengungkap kesamaan antara isi karya Carey dengan sejumlah buku yang ditulis oleh tim dosen UGM. Publikasi ini memicu reaksi luas, mempertanyakan kredibilitas akademik di lingkungan universitas sekaligus menyerukan pentingnya menjaga integritas di bidang pendidikan.
Kasus ini memancing perhatian serius dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, mahasiswa, dan masyarakat. Sebagai salah satu universitas terkemuka di Indonesia, UGM dikenal memiliki standar akademik yang tinggi. Dugaan plagiarisme ini dianggap sebagai ancaman terhadap integritas akademik, karena plagiarisme bukan sekadar pelanggaran kecil, terutama di lingkungan akademik yang mengedepankan keaslian serta kejujuran dalam berkarya.
Tuduhan plagiarisme ini berfokus pada kesamaan antara Bab 6 dalam buku Peter Carey berjudul Kuasa Ramalan dengan dua buku karya dosen UGM, yaitu Madiun: Sejarah Politik dan Transformasi Kepemerintahan dari Abad XIV ke Abad XXI serta Raden Rangga Prawiradirdja III Bupati Madiun 1796-1810: Sebuah Biografi Politik.
Kedua buku tersebut diduga memiliki kemiripan isi maupun struktur dengan karya Peter Carey, khususnya pada bagian yang membahas sejarah politik Madiun. Kejadian ini menjadi pembicaraan hangat di dunia akademik, mendorong berbagai pihak untuk menilai kembali pentingnya menjaga orisinalitas karya di lingkungan pendidikan.
Di tengah kontroversi ini, nama Peter Carey mencuri perhatian sebab dirinya mengabdikan hidupnya untuk menggali berbagai sejarah di Tanah Air. Bagaimana tidak, selain Kuasa Ramalan nampaknya sejarawan Inggris kelahiran Myanmar ini telah menulis berbagai buku tentang sejarah Indonesia, terutama terkait kolonialisme, peperangan, dan budaya Jawa.
Lantas apa saja karya-karya Peter Carey tentang Sejarah Indonesia? Yuk simak selengkapnya di bawah ini yang dilansir brilio.net dari berbagai sumber, Kamis (7/11)
Karya-karya Peter Carey tentang Sejarah Indonesia
1. Kuasa Ramalan
foto: gramedia.com/products
Buku Kuasa Ramalan terdiri dari beberapa jilid. Jilid pertama membahas perihal tatanan lama Jawa, kurang lebih dalam kurun lebih dari dua dasawarsa (18081830) tatanan lama Jawa dihancurkan dan sebuah pemerintah kolonial baru didirikan yakni suatu peristiwa yang mendorong kekuatan identitas kembar, Islam dan kebangsaan Jawa ke dalam suatu perseteruan sengit dengan gelombang imperialisme yang dibawa oleh gubernemen Hindia Belanda.
Dikenal sebagai Perang Jawa (18251830), perseteruan itu berakhir dengan kekalahan sekaligus pengasingan Diponegoro. Pascaperang itulah lahir suatu zaman baru di Nusantara, zaman kolonial, yang berlangsung hingga pendudukan militer Jepang (19421945).
Kemudian pada jilid kedua membahas tentang, Pangeran Diponegoro (17851855), seorang mistikus, muslim yang saleh, serta pemimpin perang suci melawan Belanda antara tahun 1825 dan 1830, merupakan pahlawan nasional tersohor dalam sejarah Indonesia. Meskipun demikian, sejauh ini belum ada biografi yang utuh tentang kehidupan sang Pangeran yang menggunakan sumber Belanda-Jawa untuk melukiskan hidup pribadinya.
Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 adalah buku pertama yang menggunakan babad serta arsip kolonial Belanda maupun Inggris sebagai tulang punggung. Buku ini, disusun dalam kurun sekitar 30 tahun, bertutur tentang riwayat hidup Diponegoro dengan latar pergolakan akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, ketika kekuatan imperialisme baru Eropa melanda Nusantara seperti tsunami Asia.
Penggambaran dalam buku ini dengan runtut dan rinci penulis mengungkap rahasia tokoh sejarah yang penuh teka-teki maupun karisma itu: sosok yang mengakui kelemahannya sebagai penggemar perempuan, tapi juga gagah berani serta blak-blakan menghadapi kekejaman kolonialseorang pelopor kemerdekaan yang penuh paradoks.
2. TakdirRiwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 (Edisi Revisi Baru)
foto: gramedia.com/products
Dalam Perang Jawa (1825-1830), ketokohan Pangeran Diponegoro sangat sentral dan menonjol. Oleh karena itu buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) ini hadir. Karya biografi ini, ditulis sejarawan Prof. Dr. Peter Carey berdasarkan disertasinya.
Lewat bukunya ini Dr. Peter Carey tak hanya berhasil menjabarkan kompleksitas peristiwa, tetapi juga menampilkan Diponegoro sebagai sosok manusia utuh, yang memiliki roh dan kepribadian. Membaca buku ini mampu mengilhami sekaligus menginspirasi para pemimpin masyarakat, pendidik, sarjana dari berbagai bidang, serta para seniman yang ingin menafsirkan peristiwa Perang Jawa bagi karya seninya.
3. Percakapan dengan Diponegoro
foto: gramedia.com/products
Buku menceritakan tentang perjuangan Pangeran Diponegoro, di mana dalam kurun waktu 11 minggu setelah penahanan Diponegoro pada 28 Maret 1830 di Magelang, setiap percakapan dengan sang Pangeran dicatat oleh tiga perwira militer Belanda yang ditugaskan untuk mengawal perjalanannya ke pengasingan di Sulawesi.
Percakapan keempat, yang jauh lebih singkat, ditulis oleh putra bungsu Putra Mahkota Belanda, yang di kemudian hari diangkat menjadi Raja Belanda, Willem II (bertakhta 184049), Pangeran Hendrik (182079)pada saat memegang jabatan letnan satu di Angkatan Laut Belandadi Fort Rotterdam, Makassar, 1837.
Percakapan dengan Diponegoro berisi catatan dari semua perbincangan itu. Ditulis secara terus terang, menawan, dan blak-blakan, untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Indonesia lalu ditempatkan dalam konteks sejarah. Sebagai sumber penting untuk setiap biografi Pangeran Diponegoro, catatan-catatan ini dibuka dengan sebuah esai biografis yang menyelami posisi orang luar di dalam empat perwira yang bercakap-cakap dengan sang Pangeran.
Bisa dibilang, Peter Carey menghadirkan sosok Diponegoro sebagai keterwakilan perjuangan nilai-nilai universal terhadap nilai-nilai penindasan sosial serta dampak dari perlawanan tersebut bagi proses transformasi sosial.
4. Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda
foto: gramedia.com/products
Selanjutnya pada buku ini menceritakan penjajahan di Indonesia yang meninggalkan jejak panjang dan penuh kekerasan. Masa antara kedatangan Marsekal Daendels hingga akhir Perang Jawa, yaitu antara 1808 dan 1830, adalah masa yang penuh dengan darah.
Peralihan kekuasaan yang singkat dari rezim Prancis-Belanda Daendels (1808-11) ke pemerintahan Inggris di bawah Raffles (1811-16) lalu pasca-1816 ketika pemerintahan jajahan Belanda kembali menguasai Nusantara diwarnai dengan pertempuran militer yang kadang sengit serta digerakkan oleh prasangka rasialis.
Buku Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda karya Peter Carey dan Farish A. Noor ini merupakan kumpulan tujuh esai yang memusatkan pembahasannya pada konstruksi kolonial atas ras maupun identitas, sekaligus bagaimana pemerintahan kolonial pada awal abad ke-19 di Jawa bersandar pada teori-teori rasial untuk mengobjektifkan perbedaan ras sebagai batu penjuru yang kokoh dalam mengelola masyarakat jajahan pada abad ke-19.
5. Sisi Lain Diponegoro: Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa
foto: gramedia.com/products
Buku ini didasarkan pada dua tulisan kunci Perang Jawa, Peter Carey yakni pada pertengahan 1970-an tentang Babad Kedung Kebo dan historiografi Jawa, merupakan pengantar inspiratif untuk sejarawan. Buku ini mengajak pembaca untuk mengerti bahwa sejarah Jawa pada awal abad ke-19 sangat beraneka ragam lalu historiografi lokal sangat kaya tulisan Cokronegoro juga memperingatkan pembaca bahwa tidak ada satu versi sejarah yang benar. Babad Kedung Kebo menjadi salah satu yang mengukir dunia Jawa.
6. Orang Cina, Bandar Tol, Candu & Perang Jawa
foto: gramedia.com/products
Tak hanya bahas perihal sejarah kolonial, Peter Carey juga mengulik berbagai fenomena sosial di Indonesia seperti dalam buku Orang Cina, Bandar Tol, Candu & Perang Jawa ini. Buku ini hasil penelitian yang menarik tentang hubungan peranakan Cina dan orang Japada abad ke-19.
Terutama pada masalah posisi orang Cina sebagai Bandar Tol dan Candu serta hubungannya dengan Perang Dipanegara. Sisi lain, mengulik perihal pada sikap anti-Cina yang terjadi dalam masyarakat Jawa. Membaca karya ini memberikan pandangan sekaligus pengalaman sejarah Indonesia yang memiliki beragam budaya maupun suku.
7. Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia: Dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi
foto: komunitasbambu.id
Buku ini membawa pembaca menilik kembali kompleksitas korupsi dengan mengurai budaya korupsi di Indonesia dari zaman Daendles (1808-1811) sampai masa Reformasi. Terlebih, buku ini juga memberi perbandingan sejarah aktivitas korupsi dan cara pencegahannya di negeri-negeri Eropa, terutama Inggris selama abad ke-18 yang panjang (1660-1830).
Korupsi menjadi isu abadi, isu yang selalu menghantui Tanah Air. Bahkan, sejak zaman Diponegoro (1785-1855) Masalah korupsi juga menjadi pemicu utama Perang Jawa (1825-1830) meskipun tak pernah sekalipun dibahas dalam buku-buku sejarah di sekolah. Selama hampir 200 tahun sejak Diponegoro menampar patih di hadapan para kerabat sultan di Keraton Yogya, isu korupsi dan cara menghadapinya tidak banyak mengalami perubahan.
Arus uang yang melimpah oleh kedatangan penyewa tanah dari Eropa setelah Agustus 1816 di Pulau Jawaberbarengan dengan berakhirnya kekuasaan Raffles (1811-1816) dan Hindia Timur dikembalikan kepada Belanda. Alhasil membuka jalan bagi para pejabat pribumi bertindak korup. Cara-cara yang dilakukan Danureja IV di Yogya untuk cepat memperkaya diri adalah contohnya.
Melalui buku ini, sejarawan Peter Carey bersama mantan wartawan Suhardiyoto Haryadi membuktikan betapa seriusnya persoalan korupsi mengancam nasib hidup bangsa dan negara. Sebab korupsi di berbagai negara mengakibatkan hal yang sama. Semuanya sama-sama meruntuhkan sendi-sendi bangsa.
8. Asal Usul Nama Yogyakarta & Malioboro
foto: gramedia.com/products
Etimologi nama-nama tempat selalu menarik untuk dibahas. Asal usulnya menimbulkan banyak spekulasi. Salah satunya yakni nama Yogyakarta dan Malioboro. Apakah nama Malioboro berasal dari nama Duke of Marlborough pertama? Ataukah dari kata mlyabharin dari bahasa Sanskerta yang berarti berhiaskan untaian bunga? Bagaimana dengan nama Yogyakarta sendiri? Apakah berasal dari kata Ngayogyakarta dari bahasa Sanskerta?
Ataukah dari sebuah dusun bernama Yogya atau Ayogya yang ada pada masa pemerintahan Sultan Mangkubumi? Buku ini dibuka dengan artikel yang ditulis oleh Peter Carey yang menjelaskan asumsinya mengenai asal usul nama Yogyakarta dan Malioboro. Kemudian, dilanjutkan dengan artikel tanggapan dari Jacobus (Koos) Noorduyn, lalu ditutup oleh Merle Calvin Ricklefs. Akan ditemukan tiga paparan menarik mengenai spekulasi asal usul nama Yogyakarta dan Malioboro.
Karya-karya Peter Carey ini tidak hanya mendokumentasikan sejarah Indonesia, tetapi juga menjadi sumber penting yang menghormati keaslian budaya maupun nilai-nilai lokal. Meski terdapat dugaan plagiarisme yang melibatkan karya beliau, kontribusi Carey dalam memperkenalkan sejarah Indonesia ke dunia tetap menjadi warisan intelektual yang dihargai banyak pihak.
Recommended By Editor
- 10 Pelajaran penting dari buku The Basic Law of Human Stupidity oleh Carlo M Cipolla
- 10 Pelajaran penting dari buku The Almanack of Naval Ravikant
- Ulasan buku 'The Happiness Trap' oleh Russ Harris, jangan terjebak terus mencari kebahagiaan
- Menemukan peluang dalam ketidakpastian, ulasan buku The Serendipity Mindset
- 10 Pelajaran penting dari buku Quiet oleh Susan Cain, hargai kekuatan para introvert