Brilio.net - Dalam lanskap pendidikan saat ini sekolah seolah menjadi komoditas yang diperdagangkan. Mengubah cita-cita mulia menjadi sekadar barang dagangan. Sekolah kini bertransformasi menjadi pasar, impian anak-anak dipatok dengan harga tinggi. Di tengah hiruk-pikuk ini janji pendidikan gratis hanya berputar dalam angan-angan. Sulit dijangkau oleh tangan-tangan yang berharap.

Sekolah swasta, seperti kapal kecil di lautan luas, kini menghadapi gelombang besar akibat penggratisan SPP di sekolah negeri. Dengan banyaknya siswa yang mengalir ke sekolah negeri, yayasan-yayasan swasta terpaksa berjuang untuk bertahan. Biaya yang dikenakan, mulai dari uang masuk hingga SPP menjadi penyokong utama dalam menjaga kelangsungan sekolah. Sekolah swasta tak dapat dipungkiri memang menunjukkan kualitas yang lebih baik. Namun, biaya yang tinggi bisa menjadi penghalang bagi keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah.

Dalam perumpamaan, pendidikan adalah tanaman yang membutuhkan tanah subur untuk tumbuh. Namun, ketika biaya pendidikan kian melambung, banyak orang tua terjebak dalam dilema. Mereka harus memilih antara memberikan pendidikan berkualitas atau menjaga kestabilan ekonomi keluarga.

Pendidikan seharusnya menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih cerah, tapi harus terhalang oleh batu kerikil biaya di luar SPP yang terus melambung. Banyak anak yang seharusnya bisa belajar terpaksa harus berhenti, menciptakan jurang antara yang mampu dan tidak. Tentu saja fenomena ini semakin menguatkan pandangan bahwa pendidikan kini menjadi alat memperkuat ketimpangan sosial, bukan solusi.

Harapan akan pendidikan gratis sering kali tampak seperti ilusi. Siti, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Selomartani, menceritakan perjuangannya.

"Anak saya itu sekolahnya nggak bayar, tapi kan harus beli buku, beli seragam, belum kebutuhan lain kalau semisal dia ada tugas di sekolahnya. Gurunya suruh bawa apa untuk tugas di sekolah. Sementara saya bekerja serabutan sama orang, buat sehari-hari aja kurang. Jadi kalau ada omongan SPP gratis sama pendidikan gratis itu seperti belum merata," keluhnya pada brilio.net.

Siti berharap agar pemerintah lebih memperhatikan pendidikan dan segala fasilitas, supaya anak-anak tidak kehilangan kesempatan hanya karena biaya. Akhirnya, masyarakat banyak yang terpaksa berhutang demi memenuhi biaya pendidikan anak.

"Dulu, pendidikan itu kan menjadi hak dasar ya, semakin ke sini malah semakin kayak barang dagangan. Iya SPP-nya gratis tapi ada aja yang harus ditarik mingguan. Entah iuran bulanan, komite, infaq. Yang nominalnya bisa mencapai jutaan juga," ujarnya kepada brilio.net.

Nanda, mantan siswa yang kini menjadi karyawan pabrik, mengungkapkan pengalamannya.

"Saya memiliki jadi karyawan karena belum ada uang untuk lanjut. Pengen lanjut kuliah habis lulus SMA. Tapi karena saya tidak ingin menjerat orang tua saya dengan biaya kuliah yang mahal, saya milih kerja dan dapat uang," curhatnya pada brilio.net.

Dalam perdebatan publik, wacana tentang pendidikan gratis sering kali menjadi topik hangat. Namun, janji tersebut sering kali bagaikan bayangan, sulit digapai. Di tengah tantangan, muncul harapan dari inisiatif komunitas. Sekolah-sekolah alternatif berupaya memberikan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau, memberikan kesempatan bagi anak-anak yang sebelumnya terputus sekolah.

"Dulu waktu saya sekolah, teman-teman saya aja banyak yang memilih untuk tidak melanjutkan sekolah lantaran harus membantu orang tuanya bekerja," keluh Nanda.

Di ujung perjalanan, pendidikan tetaplah jendela menuju dunia yang lebih cerah. Meskipun terjepit dalam rutinitas dagang, harapan akan pendidikan gratis harus terus diperjuangkan. Pendidikan bukan sekadar barang dagangan, melainkan hak setiap anak untuk tumbuh dan berkembang. Ketika langkah-langkah kecil bersatu, jembatan menuju masa depan akan terbangun.

Program SPP gratis yang dilematis

Pendidikan sebagai hak dasar seharusnya menjadi fokus utama setiap negara. Namun, ketika pendidikan dijadikan dagangan, banyak aspek penting mulai tergeser oleh kepentingan komersial. Dalam konteks ini, pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, melainkan sebagai produk yang diperjualbelikan. Hal ini berpotensi memperlebar kesenjangan sosial, di mana hanya mereka yang mampu secara finansial yang dapat mengakses pendidikan berkualitas.

Konsep SPP gratis seharusnya menjadi salah satu solusi untuk memastikan semua anak mendapatkan akses pendidikan. Namun, dalam praktiknya, banyak lembaga pendidikan mengandalkan biaya pendidikan sebagai sumber utama pendanaan. Ketika SPP gratis hanya menjadi angan-angan, komitmen pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang inklusif patut dipertanyakan. Ketidakadilan muncul ketika anak-anak dari keluarga kurang mampu harus menghadapi kualitas pendidikan yang lebih rendah, sementara mereka yang memiliki sumber daya dapat menikmati fasilitas yang lebih baik.

Teori pendidikan kritis mengajak untuk merenungkan fungsi pendidikan dalam masyarakat. Teori ini menekankan pentingnya pendidikan sebagai alat untuk membebaskan individu dari ketidakadilan dan penindasan. Namun, ketika pendidikan diperlakukan sebagai komoditas, tujuan tersebut terdistorsi. Alih-alih memfasilitasi pemikiran kritis dan analisis sosial, pendidikan justru menjadi alat untuk mempertahankan status quo. Dalam konteks ini, pendidikan yang seharusnya bersifat transformatif malah menjadi mekanisme untuk mempertahankan ketidaksetaraan.

Oleh karena itu, sangat penting untuk mengembalikan fokus pendidikan pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Pendidikan harus dilihat sebagai investasi bagi masa depan bangsa, bukan sekadar barang dagangan. Untuk mewujudkan SPP gratis, diperlukan reformasi sistemik dalam pengelolaan pendidikan serta peningkatan alokasi anggaran dari pemerintah. Dengan langkah-langkah tersebut, visi pendidikan yang merata dan berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat dapat terwujud, sehingga setiap anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi, memiliki peluang untuk meraih masa depan yang lebih baik.