Brilio.net - Kisah Francisca Fanggidaej nenek Reza Rahadian, mengungkap sebuah bab penting namun terlupakan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Meskipun telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam perjuangan pasca kemerdekaan, namanya tampak menghilang dari catatan sejarah resmi.
Pemilik nama asli Francisca Casparina Fanggidae, sejak masa mudanya turut berjuang menentang kolonialisme di Negeri ini. Sayangnya, jejaknya hilang pasca 1965 sebab memiliki kedekatan dengan Soekarno. Apalagi adanya stigma komunis yang melekat padanya sehingga namanya terlupa seiring berjalannya waktu.
Perempuan asal Timor ini lahir dari pasangan Magda Mael dan Gottlieb Fanggidaej. Sosok ayahnya bekerja sebagai kepala Pengawas Burgerlijke Openbare Werken (BOW) atau yang saat ini dikenal Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Nggak heran bila status keluarganya dianggap secara hukum sebagai orang Belanda.
Walau demikian, kehidupannya jauh dari kata mewah. Sejak masa kecil, Francisca kerap mempertanyakan ketimpangan antara keluarganya dan orang-orang sebangsanya. Alhasil, lama-kelamaan kesadaran akan ketidakadilan yang dialami orang-orang kulit hitam membuat Francisca semakin teguh berjuang melawan kolonialisme.
Lantas seperti apa kisah Francisca Fanggidaej yang merupakan nenek Reza Rahadian? Yuk intip kisah lengkapnya di bawah ini, seperti dihimpun brilio.net dari berbagai sumber, Jumat (23/8).
Kehidupan masa kecil Francisca Fanggidaej.
foto: Istimewa
Francisca Fanggidaej dilahirkan di Noël Mina, Timor Barat, sebagai anak keempat dari pasangan Magda Mael dan Gottlieb Fanggidaej. Ibunya Magda Mael berasal dari Timor Timur, sedangkan ayahnya, Gottlieb Fanggidaej merupakan penduduk Pulau Rote yang bekerja di Burgerlijke Openbare Werken (BOW), yang kini dikenal sebagai Dinas Pekerjaan Umum. Dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda, ayah Francisca menjabat sebagai hoofdopzichter (kepala pengawas) yang setara dengan pejabat eselon 3 pada masa sekarang. Sang ayah bertanggung jawab dalam bidang bendungan dan irigasi.
Dengan kedudukan tinggi yang dimiliki ayahnya, nggak heran jika keluarga Francisca termasuk dalam golongan "Belanda Hitam" atau yang dipersamakan dengan masyarakat golongan Belanda atau Eropa. Alhasil, keluarganya dimasukkan ke dalam golongan masyarakat Belanda dan di bawah kewenangan hukum Belanda.
Masa kecil Francisca dihabiskan di Surabaya, Jawa Timur. Ia tinggal di dekat rumah G A Siwabessy yang sering menjadi tempat berkumpulnya para pemuda Maluku. Dari sosok G A Siwabessy dan Sam Malessy, ia banyak mendapatkan pemahaman serta penghayatan akan nilai-nilai kebangsaan.
Sementara itu, masa pendidikan Francisca belajar di Europeesche Lagere School (ELS) lalu kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Di rumah, ia hanya diizinkan berbahasa Belanda. Hal ini menyebabkan ia merasakan dirinya tumbuh sebagai seorang bangsa Belanda. Meski begitu, kegelisahan Francisca memuncak ketika keluarganya mendapati rasisme, di mana sang ayah direndahkan oleh orang Belanda lantaran memiliki kulit hitam.
Alhasil, kesadaran akan antikolonialisme terus berkembang. Bahkan Francisca kerap berdiskusi dengan pemuda-pemuda Maluku pada masa pendudukan Jepang di Surabaya. Semangat perjuangan kemerdekaan mengantarkan ketika revolusi pecah pada 1945.
Kehidupan pasca proklamasi 1945.
foto: iisg.amsterdam
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Francisca turut serta dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) Surabaya. Bahkan ia mengikuti Kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta pada November 1945. Saat kongres berjalan, terjadi pertempuran di Surabaya. Akibatnya kongres diundur kemudian ia berangkat ke medan pertempuran.
Usai Kongres Pemuda Indonesia I, melahirkan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Di Pesindo, Francisca mulai berkiprah berjuang melawan idealisme antikolonialisme. Kemudian, di Mojokerto, Francisca dan kawan-kawannya membentuk Bagian Keputrian Pesindo.
Setelah itu, Francisca pindah ke Madiun. Di sana ia aktif di Radio Gelora Pemoeda Indonesia di bawah Badan Kongres Pemuda Indonesia (BKPRI). Sosoknya bertugas untuk siaran dalam Bahasa Inggris dan Belanda bersama Yetty Zain. Sementara rekannya, Maroeto Darusman bertugas siaran berbahasa Indonesia. Sayangnya, karena siaran-siaran tersebut Radio Gelora Pemoeda Indonesia dianggap pemberontak dan ekstremis oleh pihak Belanda.
Menyebarkan perjuangan Indonesia ke dunia internasional.
foto: iisg.amsterdam
Semangat perjuangannya tak berhenti dari bilik radio. Sejak awal 1946, Francisca ditugaskan untuk melakukan Safari Revolusi Pemuda ke berbagai negara. Perjalanannya pun dimulai dari India hingga ke Cekoslowakia, di mana ia menyebarkan berbagai foto, brosur, hingga poster-poster untuk mengabarkan perjuangan Indonesia.
Tak hanya itu, Francisca Fanggidaej nenek Reza Rahadian ini pun mewakili Indonesia menghadiri Konferensi Kalkuta di India pada 1948. Tetapi sayangnya, namanya tak dicatat dalam konferensi tersebut. Terlebih, di Indonesia sendiri tidak ada narasi sejarah yang menyebutkan peran pentingnya Francisca dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Meski demikian, nama Francisca sempat dituliskan dalam buku peringatan Konferensi Kalkuta, sebagai tokoh perempuan Indonesia yang berpidato untuk menginformasikan kepada dunia Internasional terkait perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Kemudian, pada 1950 Pesindo berubah nama menjadi Pemuda Rakyat. Di sana Francisca Fanggidaej dipilih menjadi salah satu pemimpinnya. Namun sayang, ia mengundurkan diri sebab merasa tidak muda lagi. Meski demikian, ia aktif sebagai wartawan dan bekerja paruh waktu di kantor berita Antara bahkan masih aktif di berbagai organisasi.
Kemudian pada 1957, Francisca terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), di mana ia menjadi wakil wartawan dalam Golongan Karya di DPR-GR.
Selanjutnya, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai penasehat presiden pada 1964. Ia kerap mendampingi Soekarno dalam perjalanan ke luar negeri. Hingga bertemu tokoh-tokoh penting seperti Fidel Castro, bahkan turut serta dalam Konferensi Asia Afrika II di Aljazair yang gagal dilaksanakan sebab kudeta.
Puluhan tahun tak bisa pulang ke Indonesia.
foto: Istimewa
Kala itu, ketika peristiwa Gerakan 30 September 1965 pecah, Francisca tengah berada di Chile mewakili dalam Kongres Organisasi Wartawan Internasional. Kedekatannya dengan Soekarno serta Pemuda Rakyat membuatnya tidak bisa kembali ke Indonesia. Lantas peristiwa tersebut membuat namanya dihapus dari buku-buku sejarah yang dibuat Orde Baru.
Alhasil, Francisca Fanggidaej terpaksa menyembunyikan identitasnya lalu menetap di Tiongkok selama 20 tahun. Ia bahkan tidak bisa menghubungi keluarganya di Indonesia. Agar keluarganya tidak ikut diburu oleh aparat Orde Baru. Kemudian sejak 1985, Francisca pindah ke Belanda.
Usai 38 tahun menjadi eksil di Tiongkok dan Belanda, Francisca Fanggidaej baru bisa kembali ke Indonesia pada 2003. Kemudian, pada 2013 Francisca mengembuskan napas terakhirnya di Zeist, Belanda pada usia 88 tahun.
Recommended By Editor
- 7 Ide menu makan siang ala rumahan, lezat, tidak bikin bosan dan mudah dibuat
- [KUIS] Uji wawasan, seberapa kamu tahu tentang makna upacara bendera di Hari Kemerdekaan Indonesia?
- 9 Resep makanan tradisional Indonesia, enak, sederhana, dan mudah dibuat di rumah
- Bagaimana penerapan Pancasila pada masa Orde Baru, begini kelebihan dan kelemahannya
- 10 Resep masakan Jepang yang enak dan mudah dibuat di rumah
- Ternyata teks proklamasi kemerdekaan RI ada 2 versi, begini fakta sebenarnya
- Wanita asal Solo ini pernah tolak lamaran Sri Sultan Hamengku IX, begini 11 potretnya yang memesona
- Pria WNI ini bagikan penampakan pulau Jawa yang ada di Belanda, 9 potretnya perlihatkan becak Jepara
- Orasi di depan kantor DPR, Reza Rahadian sebut negara ini bukan milik keluarga tertentu