Brilio.net - Belakangan ini, kemunculan sejumlah tokoh dengan panggilan Gus menjadi topik menarik di kalangan netizen. Banyak yang mempertanyakan bagaimana figur-figur tersebut mendapatkan gelar yang identik dengan pemuka agama, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di sisi lain, sebagian orang berpendapat bahwa tokoh dengan sebutan Gus layak dihormati lalu dijunjung tinggi karena umumnya memiliki latar belakang kuat di pondok pesantren. Bila ditelisik, panggilan ‘Gus’ memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar gelar.

Di kalangan masyarakat Islam, khususnya di Indonesia, panggilan ini sering digunakan untuk menyebut anak laki-laki dari tokoh agama atau kiai. Tidak hanya mencerminkan penghormatan, tetapi juga membawa nilai-nilai filosofis yang erat kaitannya dengan tradisi masyarakat Jawa maupun budaya pesantren.

Lantas apa sih makna panggilan 'Gus' yang kerap disematkan kepada pendakwah-pendakwah di Tanah Air ini? Supaya lebih memahaminya, yuk simak ulasan lengkap seputar panggilan Gus, brilio.net lansir dari berbagai sumber, Rabu (4/12)

Mengenal filosofi di balik panggilan 'Gus'.

Filosofi di balik panggilan Gus © 2024 brilio.net

foto: freepik.com/rawpixel.com

- Asal kata panggilan 'Gus'.

Panggilan Gus ternyata telah ada jauh sebelum pesantren berkembang di Indonesia. Dalam masyarakat Jawa, istilah ini awalnya digunakan untuk menyebut anak laki-laki. Istilah Gus sendiri pertama kali muncul di lingkungan keraton.

Melansir dari laman NU Online, pada Baoesastra Djawa yang ditulis Poerwadarminta, kata ‘Gus’ berasal dari kata Bagus. Awal mula panggilan ‘Gus’ ini berasal dari tradisi keraton yang memanggil putra raja yang masih kecil dengan panggilan Raden Bagus yang disingkat Den Bagus.

Kemudian, menurut Millatuz Zakiyah dalam jurnalnya Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis (2018), panggilan ‘Gus’ untuk putra seorang kiai tidak lagi dibatasi oleh usia. Meski sudah dewasa, gelar tersebut tetap melekat pada mereka.

Seiring waktu, penggunaan sapaan ‘Gus’ meluas menjadi simbol ketokohan seseorang di bidang agama. Tidak hanya putra kiai, individu dengan pemahaman agama yang mendalam juga dapat memperoleh panggilan ini, meskipun bukan dari keluarga kiai.

Secara sosiologis, gelar ‘Gus’ bisa diperoleh melalui dua cara. Gelar ini dapat diterima secara alami karena faktor keturunan (ascribed status) atau melalui usaha, perjuangan, dan dedikasi dalam bidang agama (achieved status).

Filosofi di balik panggilan Gus © 2024 brilio.net

foto: freepik.com/rawpixel.com

- Makna filosofi panggilan 'Gus'.

Dalam tradisi pesantren, panggilan ‘Gus’ tidak hanya menandakan status sosial, tetapi juga tanggung jawab moral. Seorang ‘Gus’ diharapkan memiliki kapasitas untuk melanjutkan perjuangan dakwah maupun kepemimpinan spiritual ayahnya. Filosofi ini menanamkan nilai keilmuan hingga pengabdian sejak dini, karena seorang anak kiai biasanya mendapatkan pendidikan agama yang mendalam di lingkungan pesantren.

Panggilan ini bukan hanya soal prestise, tetapi juga amanah besar yang harus diemban dengan integritas. Selain itu, penggunaan panggilan ‘Gus’ juga mencerminkan harmoni antara agama maupun budaya lokal. Tradisi ini menunjukkan bagaimana Islam di Indonesia dapat melebur dengan kearifan lokal tanpa kehilangan esensi spiritualnya.

Filosofi di baliknya mengajarkan bahwa penghormatan tidak hanya diberikan karena garis keturunan, tetapi juga karena harapan terhadap kemampuan seseorang untuk memimpin sekaligus memberikan manfaat bagi umat. Dengan demikian, panggilan ‘Gus’ jadi simbol penghormatan, tanggung jawab, serta harapan akan lahirnya generasi penerus yang berkontribusi bagi masyarakat.