Brilio.net - Akhir-akhirnya kerap terdengar tren anak muda yang enggan menikah. Fenomena enggan menikah ini nampaknya berpengaruh besar pada angka statistik pernikahan di Tanah Air. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka pernikahan terus menurun secara signifikan dalam enam tahun terakhir. Terutama dari 2021 hingga 2023, tercatat penurunan drastis sebanyak dua juta pernikahan.

Bila ditelisik, ada beragam alasan masyarakat saat ini enggan menikah. Mulai dari persoalan gaya hidup, ekonomi, hingga prinsip hidup yang berbeda. Merujuk dari laman Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (KPK), diduga kondisi ini didorong oleh ketidakstabilan ekonomi yang membuat banyak anak muda merasa ragu akan masa depan, sehingga mereka memilih untuk fokus membangun karier ketimbang merencanakan pernikahan.

Selain itu, kondisi serupa juga tampak di negara-negara seperti Korea Selatan dan China. Di Korea Selatan, misalnya, hanya sekitar 27,5 persen wanita muda berusia 20-an yang berminat menikah. Artinya, hanya satu dari empat wanita muda yang masih tertarik pada pernikahan. Di China, semakin banyak orang memilih hidup lajang, dan tren ini diperkirakan akan berdampak pada penurunan populasi dalam jangka panjang.

Terlepas dari itu, apa sih alasan masyarakat saat ini ogah menikah? Lebih dalam menilik persoalan ini, yuk simak selengkapnya di bawah ini yang dilansir brilio.net dari berbagai sumber, Minggu (2/11).

1. Tekanan finansial dan biaya hidup tinggi.

Alasan masyarakat ogah menikah © 2024 freepik.com

foto: freepik.com/freepik

Menurut penelitian dari Pew Research Center (2023), sekitar 47% orang dewasa yang belum menikah menyebutkan ketidakstabilan finansial sebagai alasan utama. Biaya pernikahan, cicilan rumah, hingga prospek membesarkan anak dianggap terlalu memberatkan. Di Indonesia, survei BPS menunjukkan bahwa rata-rata biaya pernikahan mencapai 5-10 kali lipat pendapatan tahunan seseorang, belum termasuk biaya hidup setelah menikah.

2. Fokus pada pengembangan karier.

Penelitian dari Journal of Marriage and Family (2022) mengungkapkan bahwa 38% wanita dan 29% pria memilih menunda atau menghindari pernikahan untuk fokus pada karier. Tren ini terutama terlihat di kalangan profesional muda yang mengejar gelar lanjutan maupun posisi senior di perusahaan. Mereka merasa pernikahan dapat menghambat mobilitas karir serta kesempatan pengembangan diri.

3. Trauma dari pengalaman masa lalu.

Bagi sebagian orang, pengalaman yang kurang menyenangkan dari pernikahan orang tua atau kerabat dekat mereka berdampak pada pandangan mereka terhadap pernikahan. Banyak yang tumbuh dalam keluarga yang mengalami konflik ataupun perceraian, sehingga membentuk pandangan skeptis terhadap pernikahan.

Sebuah studi longitudinal oleh University of Michigan (2023), menemukan bahwa 42% responden yang menghindari pernikahan memiliki pengalaman traumatis terkait perceraian orang tua maupun hubungan toxic di masa lalu. Trauma ini menciptakan ketakutan akan kegagalan pernikahan dan ketidakpercayaan terhadap institusi pernikahan.

4. Keinginan untuk mempertahankan independensi.

Survei dari Harvard Kennedy School (2023) menunjukkan bahwa 51% generasi milenial menganggap independensi personal sebagai prioritas utama. Mereka khawatir pernikahan akan membatasi kebebasan dalam mengambil keputusan, mengelola keuangan, hingga menjalani gaya hidup yang diinginkan.

5. Perubahan nilai sosial dan pandangan tentang pernikahan.

Nilai dan pandangan sosial tentang pernikahan juga mengalami perubahan yang signifikan. Banyak orang kini memandang pernikahan sebagai pilihan yang sifatnya opsional bahkan bukan kewajiban hidup.

Menurut studi sosiologis dari University of California (2022), terjadi pergeseran signifikan dalam cara masyarakat memandang pernikahan. Sekitar 63% responden tidak lagi menganggap pernikahan sebagai keharusan sosial. Mereka melihat kebahagiaan bisa dicapai tanpa ikatan pernikahan.

6. Ketidaksiapan emosional dan mental.

Penelitian dari American Psychological Association (2023), mengindikasikan bahwa 44% orang dewasa merasa belum memiliki kematangan emosional untuk menikah. Tak sedikit yang menyadari pentingnya stabilitas mental sebelum memutuskan untuk menikah lalu memilih untuk fokus pada pengembangan diri terlebih dahulu.

7. Beban tanggung jawab dan ekspektasi sosial.

Riset dari Social Psychology Quarterly (2022) mengungkapkan bahwa 49% responden menghindari pernikahan karena merasa terbebani dengan ekspektasi sosial yang menyertainya. Tekanan untuk memiliki anak, mengurus mertua, hingga memenuhi peran gender tradisional dianggap terlalu memberatkan.