Brilio.net - Toxic positivity di kantor sebenarnya nggak cuma soal selalu we are family, tapi ada banyak bentuk lain yang sering nggak disadari. Tahu nggak sih, kalau lingkungan kerja yang selalu menuntut karyawan buat berpikir positif setiap saat bisa bikin tekanan tersendiri.

Pasalnya terkadang, rasa lelah atau stres yang dialami karyawan malah dianggap kurang bersyukur. Nggak cuma itu, beberapa kantor sering kali mendorong karyawan buat terus tersenyum lalu menjaga sikap positif, padahal nggak semua hal bisa diselesaikan dengan senyuman.

Saat ada masalah, kritik maupun keluhan malah dianggap negatif dan nggak membangun. Padahal, mendengarkan perasaan negatif juga penting buat menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Sayangnya, fenomena toxic positivity ini bisa bikin karyawan jadi segan buat ngomong jujur tentang apa yang mereka rasakan.

Semua dipaksa buat selalu terlihat senang dan bersemangat, walau dalam hati mungkin ada tekanan besar. Ujungnya, kesehatan mental karyawan sering kali jadi korban dari budaya positif yang dipaksakan ini.

Lantas apa saja toxic positivity yang sering terjadi di kantor, brilio.net lansir dari berbagai sumber pada Kamis (31/10).

Toxic  positivity yang sering terjadi di kantor  2024 freepik.com

foto: freepik.com/krakenimages.com

1. Kamu harus bersyukur masih punya pekerjaan.

Kalimat ini sering digunakan untuk meredam keluhan karyawan soal beban kerja berlebih ataupun gaji yang kurang sesuai. Meski bersyukur itu penting, menggunakan alasan ini untuk mengabaikan masalah nyata di tempat kerja justru berubah toxic.

Karyawan jadi merasa bersalah kalau mengungkapkan ketidaknyamanan maupun memperjuangkan haknya. Seakan-akan mereka tidak boleh mengeluh karena masih beruntung punya pekerjaan. Padahal setiap orang berhak mendapat kondisi kerja yang layak.

2. Good vibes only di kantor.

Budaya yang memaksa karyawan untuk selalu terlihat ceria dan positif di kantor sangat tidak sehat. Setiap orang punya masalah yang memengaruhi mood kerja.

Memaksa tersenyum lalu berpura-pura bahagia sepanjang hari malah bikin stres menumpuk. Emosi negatif yang terus dipendam bisa meledak dalam bentuk lebih destruktif atau bahkan menyebabkan masalah kesehatan mental.

3. Kalau kamu kerja ikhlas, pasti happy kok.

Mindset bahwa keikhlasan otomatis membuat semua masalah kerja jadi ringan adalah bentuk toxic positivity. Ikhlas bukan berarti harus menerima sistem kerja yang tidak sehat atau eksploitatif.

Karyawan jadi merasa bersalah kalau tidak bahagia dengan pekerjaannya. Padahal ada banyak faktor eksternal yang memengaruhi kepuasan kerja seperti beban kerja, kompensasi, hingga budaya perusahaan.

4. Di tempat (kerja) lain lebih parah.

Membandingkan kondisi kerja dengan tempat yang "lebih buruk" menjadi cara klasik untuk mendiskreditkan keluhan karyawan. Logika ini membuat masalah yang ada jadi terkesan sepele bahkan tidak perlu diperbaiki.

Padahal setiap masalah di tempat kerja tetap harus dihadapi dan diselesaikan, bukan malah dibandingkan dengan kondisi yang lebih buruk untuk menjustifikasi ketidaknyamanan.

5. Anggap saja latihan mental.

Menjadikan toxic work environment sebagai pembelajaran atau penguatan mental jadi bentuk normalisasi terhadap kondisi kerja yang nggak sehat. Tekanan kerja berlebihan, bullying, bahkan intimidasi bukan sesuatu yang harus dimaklumi sebagai bagian dari proses pembelajaran. Mindset seperti ini justru melanggengkan budaya kerja toxic yang membuat karyawan menerima perlakuan nggak layak sebagai hal yang wajar.

6. Yang penting kamu tetap positive thinking.

Memaksa positive thinking tanpa melihat akar masalah menjadi solusi instant yang tidak menyelesaikan apa-apa. Saat ada konflik tim atau masalah struktural di kantor, karyawan malah didorong untuk berpikir positif alih-alih mencari solusi nyata. Akibatnya, masalah yang sama terus berulang karena tidak pernah benar-benar diselesaikan.

7. Semua tergantung mindset kamu.

Melempar semua tanggung jawab ke mindset individu telah jadi cara untuk mengalihkan tanggung jawab organisasi dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat.

Padahal banyak masalah di kantor yang bukan soal mindset personal, tapi membutuhkan perubahan sistem dan kebijakan. Karyawan jadi merasa bahwa semua ketidaknyamanan menjadi salah mereka karena tidak bisa mengatur mindset dengan baik.

8. Mungkin ini ujian buat kamu naik level.

Mengemas toxic work culture sebagai tantangan untuk pertumbuhan karier ialah bentuk manipulasi. Karyawan jadi merasa harus bertahan dalam kondisi tidak sehat demi membuktikan dirinya naik level. Padahal, pertumbuhan karier seharusnya didukung dengan sistem pengembangan yang terstruktur, bukan lewat bertahan dalam lingkungan kerja yang toxic.

9. Yang lain bisa bertahan, masa kamu nggak?

Membandingkan ketahanan mental antar karyawan merupakan bentuk gaslighting yang sering terjadi di kantor. Setiap orang punya batasan dan cara berbeda dalam menghadapi tekanan. Memaksa seseorang untuk bertahan dengan standar orang lain justru bisa memperburuk kondisi mental. Kalimat ini juga sering digunakan untuk menyudutkan karyawan yang berani speak up soal kondisi kerja yang tidak sehat.

10. Sibuk itu tandanya kamu dipercaya.

Menormalisasi overwork dengan kedok kepercayaan adalah bentuk toxic positivity yang umum di kultur kerja Asia. Beban kerja berlebihan dimaknai sebagai bentuk apresiasi dari atasan. Padahal, pemberian tugas seharusnya sesuai dengan kapasitas dan job description yang disepakati. Mindset ini membuat karyawan merasa bersalah kalau menolak kerjaan tambahan atau minta work-life balance yang lebih baik.

Semua bentuk toxic positivity ini sering kali muncul dengan dalih motivasi maupun pembentukan mental kerja yang kuat. Padahal dampaknya justru kontraproduktif, masalah di tempat kerja nggak pernah benar-benar diselesaikan, karyawan jadi takut mengungkapkan ketidaknyamanan, dan budaya kerja toxic terus dilanggengkan.

Penting bagi perusahaan untuk menciptakan ruang kerja yang aman bagi karyawan untuk mengekspresikan keluhan lalu mencari solusi bersama, alih-alih memaksa selalu terlihat positif.