Brilio.net - Tia Rahmania, anggota terpilih DPR periode 2024-2029 diberhentikan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Posisinya sebagai anggota DPR digantikan oleh Bonnie Triyana, berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 1368 tahun 2024. Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua KPU RI, Mochamad Afifudin, pada 23 September 2024 yang mengesahkan pergantian posisi ini.

Dalam pemilihan legislatif 2024, Tia Rahmania berhasil meraih suara tertinggi di Dapil Banten I Lebak-Pandeglang, dengan perolehan 37.359 suara. Bonnie Triyana yang berada di posisi kedu memperoleh 36.516 suara. Keputusan untuk menggantikan Tia Rahmania diambil setelah PDIP mengeluarkan keputusan untuk memecatnya sebagai kader partai, menyusul dugaan manipulasi suara pada pemilihan tersebut.

Tia Rahmania sebelumnya sempat menjadi sorotan publik setelah mengkritik keras Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron dalam acara Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan yang digelar Lemhanas RI. Namun, PDIP melalui Ketua Bidang Kehormatan Partai, Komaruddin Watubun menegaskan bahwa pemecatan Tia tidak terkait dengan kritik tersebut.

Sebaliknya, alasan pemberhentian terkait dugaan penggelembungan suara pada Pileg 2024. PDIP pun telah menyelesaikan pemeriksaan internal melalui Mahkamah Etik dan Disiplin Partai sebelum memutuskan pemecatan Tia dan rekannya, Rahmad.

Lantas bisakah partai politik melakukan pemecatan terhadap kader terpilihnya? Bagaimana aturan yang berlaku di Indonesia? Supaya lebih memahaminya, berikut ini brilio.net mengulik 6 ketentuan hukum pemberhentian anggota DPR oleh partai, yang disadur dari berbagai sumber, Kamis (26/9).

Ketentuan hukum pemberhentian anggota DPR oleh partai.

Ketentuan hukum pemberhentian anggota DPR oleh partai  2024 brilio.net

foto: Liputan6.com/Faizal Fanani

Pemberhentian anggota DPR oleh partai politik di Indonesia diatur melalui berbagai peraturan perundang-undangan serta mekanisme internal partai. Proses ini melibatkan ketentuan hukum yang jelas agar pemberhentian dilakukan secara sah dan terstruktur. Adapun aturan hukum terkait pemberhentian anggota DPR oleh partai politik, sebagai berikut:

1. Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

UU No 17 Tahun 2014 yang dikenal sebagai UU MD3 menjadi dasar hukum bagi pengaturan status, hak, dan kewajiban anggota DPR. Undang-undang ini juga mencakup ketentuan mengenai pemberhentian anggota DPR. Menurut UU ini, anggota DPR dapat diberhentikan dalam beberapa situasi, seperti:

- Melanggar peraturan partai: Jika seorang anggota DPR terbukti melanggar aturan atau kebijakan partai yang diwakilinya, partai berhak memberhentikan anggotanya dengan mengikuti prosedur yang diatur dalam UU maupun AD/ART partai.

- Melanggar sumpah/janji jabatan: Setiap anggota DPR mengambil sumpah atau janji saat dilantik. Pelanggaran terhadap sumpah ini, seperti terlibat dalam tindakan korupsi, penipuan, atau tindak pidana lainnya, dapat menjadi dasar pemberhentian.

- Melakukan tindak pidana: Jika seorang anggota DPR terlibat dalam tindak pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), partai dapat memberhentikannya dan menggantikannya dengan calon lain melalui mekanisme Pengganti Antar Waktu (PAW).

Dalam konteks ini, partai politik memainkan peran penting karena memiliki hak untuk mencabut dukungan terhadap anggotanya yang duduk di DPR. Jika dukungan tersebut dicabut, anggota tersebut tidak lagi memenuhi syarat untuk tetap menjabat.

2. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Politik.

Setiap partai politik di Indonesia memiliki AD/ART yang berfungsi sebagai pedoman bagi pengelolaan partai sekaligus perilaku anggota partai. AD/ART ini biasanya mencakup aturan yang ketat tentang disiplin dan etika, termasuk mekanisme pemberhentian anggota yang melanggar aturan. AD/ART partai politik mengatur:

- Prosedur disiplin: Jika seorang anggota melanggar peraturan partai, AD/ART memberikan pedoman untuk melakukan investigasi, memberikan sanksi, serta memutuskan pemberhentian.

- Keputusan Mahkamah Partai: Beberapa partai besar memiliki lembaga internal, seperti Mahkamah Partai, yang bertugas menyelesaikan sengketa internal, termasuk masalah disiplin anggota. Mahkamah ini dapat melakukan sidang dan menentukan apakah seorang anggota pantas diberhentikan berdasarkan pelanggaran kode etik atau aturan partai.

Partai politik memiliki kewenangan untuk mengajukan surat pemberhentian kepada KPU, yang kemudian memproses pergantian anggota DPR yang diberhentikan. AD/ART partai menjadi dasar utama dalam pengambilan keputusan ini, sering kali keputusan ini tidak bisa diganggu gugat setelah diputuskan oleh Mahkamah Partai.

3. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

KPU memiliki wewenang dalam proses pemberhentian anggota DPR melalui mekanisme Pengganti Antar Waktu (PAW). Proses PAW diatur dalam Peraturan KPU yang merupakan tindak lanjut dari surat pemberhentian yang diajukan oleh partai politik. Proses PAW dilakukan berdasarkan beberapa kondisi:

- Pemberhentian karena alasan hukum: KPU dapat memproses pemberhentian seorang anggota DPR jika surat pemberhentian dari partai telah diterima dan diverifikasi keabsahannya.

- Pergantian dengan calon peraih suara terbanyak berikutnya: Setelah anggota DPR diberhentikan, KPU akan menggantinya dengan calon dari partai yang sama yang memiliki suara terbanyak kedua di daerah pemilihan yang sama.

Peran KPU dalam proses ini penting karena memastikan bahwa pergantian dilakukan secara sah serta mengikuti ketentuan hukum yang berlaku.

4. UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik juga mengatur tentang hubungan antara anggota DPR dengan partai yang mengusungnya. Dalam UU ini, dijelaskan bahwa partai memiliki wewenang penuh terhadap anggotanya yang duduk di lembaga legislatif.

Oleh karena itu, jika partai merasa seorang anggota telah melanggar aturan atau prinsip partai, mereka berhak memberhentikannya. Pemberhentian ini harus melalui proses internal partai, seperti sidang disiplin atau keputusan Mahkamah Partai.

5. Proses hukum dan tindak lanjut.

Setelah anggota DPR diberhentikan, partai politik wajib menyampaikan surat pemberhentian tersebut kepada KPU. Pemberhentian ini kemudian diverifikasi oleh KPU untuk memastikan bahwa prosedur internal partai dan hukum telah diikuti dengan benar. Dalam kasus pelanggaran hukum, keputusan pemberhentian juga bisa melibatkan lembaga penegak hukum lain, seperti pengadilan, untuk memproses tindakan pidana yang dilakukan anggota tersebut.

Jika terbukti bersalah, anggota DPR yang diberhentikan dapat kehilangan hak politiknya hingga tidak lagi berhak menduduki jabatan publik. Partai kemudian akan mengusulkan calon pengganti melalui proses PAW, sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

6. Sanksi atas pelanggaran.

Anggota DPR yang diberhentikan akibat pelanggaran etika atau hukum tidak hanya kehilangan jabatannya, tetapi juga bisa menghadapi sanksi lebih lanjut. Sanksi ini bisa berupa:

- Penghapusan hak politik: Jika terlibat dalam tindak pidana berat, anggota yang diberhentikan bisa dilarang mencalonkan diri di pemilihan legislatif berikutnya atau menjabat di lembaga publik.

- Pelanggaran disiplin partai: Partai juga bisa memberikan sanksi tambahan, seperti larangan aktif di dalam partai atau pencabutan hak untuk terlibat dalam kegiatan partai.

Pemberhentian anggota DPR oleh partai di Indonesia melibatkan banyak mekanisme yang diatur oleh hukum dan aturan internal partai. Proses ini tidak hanya bertujuan untuk menjaga integritas partai politik, tetapi juga melindungi kepentingan publik dari perilaku yang merugikan. Dengan adanya pengaturan yang ketat, pemberhentian anggota DPR menjadi proses yang harus dilakukan secara transparan serta sesuai dengan hukum yang berlaku.