Brilio.net - Data kasus corona di Indonesia kini sudah menyentuh angka 2.273 per Minggu (5/4). Angka tersebut diikuti dengan rincian 164 sembuh dan 198 dinyatakan meninggal. Dari ratusan pasien meninggal tersebut, belasan di antaranya merupakan tenaga medis yang ikut terinfeksi Covid-19 dari pasien yang ditangani.
Hingga hari Minggu (5/4), tercatat ada 18 dokter meninggal dunia usai menjalankan tugasnya sebagai garda terdepan dalam penanganan Covid-19. Fakta tersebut membuat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berduka. Humas IDI, Halim Malik menyampaikan rasa duka mendalam tersebut.
"Sejauh ini kami sangat prihatin dan menyesalkan jika tenaga medis yang menjadi benteng pelayanan ini tumbang satu per satu tanpa ada upaya serius (pemerintah) untuk melindungi mereka," kata Halik seperti dikutip brilio.net dari merdeka.com, Senin (6/4).
Halik berharap, ada langkah konkret dari pemerintah untuk mencegah bertambahnya tenaga medis yang gugur karena infeksi corona. Dia juga meminta perubahan sistem pelayanan kesehatan masyarakat, sehingga dokter dan tenaga medis seperti perawat tidak rentan terpapar virus mematikan tersebut.
"Sehingga bisa diambil langkah antisipatif dan langkah nyata penguatan sistem layanan kesehatan yang ada di Indonesia," paparnya.
Halik membandingkan, penanganan Covid-19 di Korea Selatan dan Indonesia. Pemimpin di Korsel, katanya, langsung mengambil kebijakan ekstrem untuk melindungi para tenaga medisnya.
Begitupun dengan yang terjadi di Prancis, menurut Halik satu dokter meninggal di sana perdana menterinya dituntut. "Sampai mengambil kebijakan ekstrem bagaimana mengantisipasi itu," ungkapnya.
Berikut identitas 18 dokter yang gugur usai terinfeksi corona:
foto: Instagram/@ikatandokterindonesia
1. Prof Dr. dr. Iwan Dwi Prahasto (Guru Besar FK UGM)
2. Prof. Dr. dr. Bambang Sutrisna (Guru Besar FKM UI)
3. dr. Bartholomeus Bayu Satrio (IDI Jakarta Barat)
4. dr. Exsenveny Lalopua, M.Kes (Dinkes Kota Bandung)
5. dr. Hadio Ali K, Sp.S (Perdossi DKI Jakarta, IDI Jakarta Selatan)
6. dr. Djoko Judodjoko, Sp.B (IDI Bogor)
7. dr. Adi Mirsa Putra, Sp.THT-KL (IDI Bekasi)
8. dr. Laurentius Panggabean, Sp.KJ (RSJ dr. Soeharto Herdjan, IDI Jakarta Timur)
9. dr. Ucok Martin Sp. P (Dosen FK USU, IDI Medan)
10. dr. Efrizal Syamsudin, MM (RSUD Prabumulih, Sumatera Selatan, IDI Cabang Prabumulih)
11. dr. Ratih Purwarini, MSi (IDI Jakarta Timur)
12. Laksma (Purn) dr. Jeanne PMR Winaktu, SpBS (IDI Jakarta Pusat)
13. Prof. Dr. dr. Nasrin Kodim, MPH (Guru Besar Epidemiologi FKM UI)
14. Dr. Bernadetta Tuwsnakotta Sp THT (IDI Makassar)
15. Dr. dr. Lukman Shebubakar SpOT (K) (IDI Jakarta Selatan)
16. dr. Ketty Herawati Sultana (IDI Tangerang Selatan)
17. Dr. Heru Sutantyo (IDI Jakarta Selatan)
18. Dr. Wahyu Hidayat, Sp.THT-KL (IDI Kabupaten Bekasi)
Meninggalnya 18 dokter karena corona disebut merupakan tanggung jawab pemerintah. Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Anggota Koalisi Masyarakat Sipil sekaligus penelitian KontraS, Rivanlee Anandar. Menurutnya, pemerintah harus minta maaf terkait banyaknya dokter yang meninggal dunia.
Sebab, kata dia, meninggalnya para tenaga kesehatan dalam penanganan terhadap virus corona merupakan tanggung jawab Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Pertama, saya rasa (pemerintah) harus minta maaf," kata Rivanlee.
Menurut Rivanlee, secara tidak langsung meninggalnya para tenaga kesehatan itu disebabkan kelalaian pemerintah yang tidak memberikan perlengkapan alat perlindungan diri kepada mereka secara merata di seluruh Indonesia.
"Kalau presiden kemarin bilang, sudah menyebar sekian ribu APD ke daerah ini, daerah ini. Sekarang masah ada juga dokter yang disebutkan sama presiden itu kekurangan APD," ungkapnya.
Tak hanya itu, permintaan maaf yang disampaikan oleh pemerintah juga terkait dengan tidak terbuka data mengenai jumlah tenaga medis yang meninggal karena pandemi ini.
"Bagaimana negara menjamin mereka, apakah cukup dengan santun saja? Padahal kan ini soal nyawa gitu," terang dia.
Rivanlee juga melihat, selama ini negara kukuh dengan pendiriannya yang tak mengikuti rekomendasi para ilmuwan dan ahli kesehatan dalam menangani pandemi Covid-19 ini. Hal ini terlihat dari pemerintah yang lebih memilih mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Padahal menurut Rivanlee, para ahli dari awal menyarankan karantina wilayah.
Dia juga mengungkapkan, ada beberapa tenaga kesehatan yang mengeluhkan kekurangan APD di rumah sakitnya justru mendapatkan intimidasi. "Karena saya mendapatkan informasi, beberapa tenaga kesehatan yang mengeluhkan APD-nya kurang itu ditekan oleh atasannya," kata dia.
foto: pixabay
Meninggalnya 18 dokter tersebut juga disebut Rivanlee sebagai pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah. "Negara telah melakukan pelanggaran HAM dengan pengabaian terhadap tenaga kesehatan yang gugur sampai hari ini," tegasnya.
Merespons tidak terbukanya pemerintah soal tenaga medis yang meninggal, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanggulangan Covid-19, Achmad Yurianto mengaku belum mendapatkan data mengenai jumlah tenaga kesehatan yang meninggal karena melakukan penanganan pandemi Covid-19.
"Apakah semuanya meninggal karena menangani? Nanti saya cari dulu kebenarannya, karena saya nggak mungkin berbicara katanya," kata Yuri.
Berbagai faktor yang ditemukan di lapangan selama pandemi corona menjadi penyebab meninggalnya para tenaga medis. Di antaranya keterbatasan APD dan pelayanan kesehatan yang tidak terstruktur.
"Jadi, tenaga medis yang lebih rentan itu yang kontak langsung dengan warga seperti di tingkat bawah, klinik maupun Puskesmas. Mereka masih banyak yang membutuhkan APD, walaupun ada itu sekadar inisiatif dari mereka dan tidak berstandar medis, seperti penggunaan jas hujan," ungkap Wakil Ketua IDI, Adib Khumaidi.
Ditambah lagi, penanganan yang tidak terstruktur juga jadi penyebab para tenaga medis terjangkit corona. Karena masyarakat dengan bebas bisa ke mana saja untuk mengecek, bila mengalami gejala Covid-19.
"Kan belum semua tempat kesehatan tercukupi kebutuhan APD dan alat medis pendukung lainnya. Maka perlu penanganan yang terstruktur mulai dari RS, Puskesmas, hingga klinik," kata Adib.
Oleh sebab itu, Adib meminta pemerintah pusat maupun daerah kembali menginformasikan rekomendasi tempat pelayanan kesehatan, terkait tahapan-tahapan proses penanganan masyarakat yang mengalami gejala Covid-19.
"Informasi ini penting, jadi masyarakat bisa menyesuaikan ke mana harusnya mereka mengecek kondisi apabila muncul gejala corona. Jangan sampai mereka datang ke puskesmas maupun klinik yang saat ini masih kekurangan APD, itu malah membuat intensitas kontak langsung sangat tinggi," ujarnya.