Brilio.net - Satu dari tiga remaja Indonesia dalam rentang usia 10-17 tahun memiliki gangguan kesehatan mental. Begitulah hasil survei dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada 2022 lalu. Sementara, data WHO tahun 2019 mengungkapkan bahwa penyebab kematian terbanyak nomor empat pada usia 15-29 tahun adalah kasus bunuh diri.
Fenomena rentan gangguan mental pada usia remaja ini tentu membutuhkan perhatian khusus. Terlebih, remaja dalam rentang ini merupakan usia mengenyam pendidikan. Pelajar sendiri memang rentan mengalami depresi. Terutama bagi mereka yang tengah mengenyam pendidikan tinggi. Angka bunuh diri di kalangan mahasiswa pun tak bisa dibilang sedikit.
Kondisi ini pun menimbulkan pertanyaan besar, apa sebenarnya faktor yang menyebabkan mahasiswa rentan depresi? Apakah tekanan akademik menjadi faktor utama, ataukah lingkungan sosial juga turut berperan?
Foto: brilio.net/istimewa
Sebuah studi di Amerika Serikat yang dilakukan oleh American College Health Association pada 2021 melaporkan bahwa 48% mahasiswa mengalami tingkat kecemasan dan depresi yang signifikan. Kondisi ini juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi gangguan mental emosional pada remaja usia 15 tahun ke atas meningkat dari 6% pada 2013 menjadi 9,8% pada 2018. Mahasiswa termasuk dalam kelompok usia ini.
Brilio.net berbincang dengan dosen Bimbingan dan Konseling Islam, Sudharno Dwi Yuwono, M.Pd pasca sesi seminar bertajuk Meningkatkan Kesehatan Mental Remaja di Era Society 5.0, Rabu (9/10) lalu. Dalam kesempatan tersebut, Dwi, sapaan akrabnya, mengungkapkan kaitan antara tekanan akademik dengan tingkat kesehatan mental remaja.
“Tekanan akademik kiranya bisa jadi salah satu pemicu, tapi hal ini (tidak mesti) jadi satu-satunya faktor,” ungkapnya pada brilio.net.
Pembelajar kesehatan mental ini namun tak menampik bahwa ada studi baru-baru ini yang menyebutkan bahwa salah satu penyebab permasalahan mental adalah tekanan kerja maupun tekanan akademik yang cukup tinggi. Hal ini pun mungkin terjadi di Indonesia lantaran beban belajar siswa saat ini memang tidak ringan.
Foto: brilio.net/istimewa
“Beban akademik atau beban belajar di Indonesia ini memang cukup tinggi ya. Sehingga itu memang diduga bisa menjadi pemicu. Tapi itu salah satu saja, ada banyak faktor-faktor lain yang bisa kita kaji,” tambahnya.
Untuk menanggulangi persoalan ini, Dwi juga berpendapat bahwa sebaiknya lingkungan akademik termasuk stakeholder di dalamnya, entah pihak kampus maupun dosen menyediakan klinik konseling. Ruang-ruang konseling yang bekerja sama dengan para profesional seperti ini menjadi salah satu hal krusial dalam praktik pendidikan. Ruang ini lah yang nantinya bisa mengakomodir kebutuhan dan pendampingan terhadap mahasiswa yang menghadapi permasalahan mental dalam proses akademiknya.
“(Harus ada) pendampingan terstruktur pada konseling (untuk mahasiswa) seperti ini. Sehingga konseling menjadi satu langkah untuk membantu mahasiswa terlepas dari tekanan-tekanan akademik,” tambahnya pada brilio.net.
Foto: brilio.net/istimewa
Selain tekanan akademik, faktor lingkungan sosial juga memiliki peran besar dalam meningkatkan risiko depresi pada mahasiswa. Lingkungan kampus yang kompetitif, perubahan relasi pertemanan, hingga masalah finansial seringkali menjadi pemicu stres. Perubahan kehidupan dari sekolah menengah menuju dunia perkuliahan sering kali menuntut mahasiswa untuk bisa beradaptasi dengan cepat, yang tidak semua orang dapat lakukan.
Media sosial juga turut memperburuk keadaan. Mahasiswa sering kali terjebak dalam perbandingan sosial yang tak berujung, melihat kehidupan teman-teman mereka di media sosial yang tampak lebih bahagia dan sukses. Ini dapat memicu rasa rendah diri dan isolasi. Belum lagi, tuntutan gaya hidup yang tinggi, terutama di kota besar, sering membuat mahasiswa mengalami tekanan finansial yang tidak sedikit.
Dalam seminar yang digelar di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga tersebut, kesehatan mental generasi masa kini menjadi fokus utama. Agus Triyanto M.Pd, selaku pembicara yang juga pembelajar kesehatan mental mengingatkan pentingnya memahami tantangan-tantangan dalam kesehatan mental generasi sekarang.
“Kalau dibandingkan dengan generasi terdahulu, mungkin masalahnya tidak jauh berbeda. Tapi kan kalua saat ini, tantangannya jauh lebih banyak. Ada media sosial dan lain sebagainya,” ungkapnya dalam sesi diskusi seminar mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam.
Foto: freepik.com
Dalam menanggulangi permasalahan mental di kalangan mahasiswa ini, salah satu hal yang penting dilakukan yakni bagaimana meningkatkan kapasitas peserta didik dalam menerima stressor tersebut.
“Yang kita perlu lakukan adalah meningkatkan juga kapasitas peserta didik atau mahasiswa untuk menanggapi stressor tersebut. Karena, bisa jadi stressor-nya sama namun pada individu yang berbeda, itu akan ditanggapi dengan cara yang berbeda,” tambah Sudharno Dwi.
Ia juga menegaskan bahwa pada individu-individu ‘khusus’ yang menangkap stressor akademik itu dengan cara yang ‘berbeda’ dan menghambat proses pendidikan, perlu dilakukan pendampingan.
Pada akhirnya, depresi di kalangan mahasiswa adalah masalah serius yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari segi tekanan akademik maupun lingkungan sosial. Mahasiswa harus menyadari bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan prestasi akademik. Dukungan dari lingkungan kampus dan keluarga sangat dibutuhkan agar mahasiswa dapat menghadapi tekanan yang ada dengan lebih baik, sehingga tidak berujung pada depresi yang lebih parah.
Recommended By Editor
- Pria ini meramalkan masa depan manusia akan bergantung pada buku dan perpustakaan, begini alasannya
- Dilemanya calon guru, sudah sarjana pendidikan tapi ‘dipaksa’ kuliah lagi demi syarat administrasi
- Jangan dulu salahkan guru, begini peran orang tua dalam mencegah bullying di pesantren
- Viral siswa SMA tak bisa sebut negara Eropa, content creator bantah jelekkan nama sekolah
- Kasus bully di pesantren kian marak, masihkah pendidikan berbasis agama jadi pilihan bagi anak?
- Bukan fokus pada hafalan, ini cara belajar terbaik yang harus diterapkan dalam kurikulum pendidikan
- Survei sebut rerata gaji lulusan universitas tak sampai Rp5 juta, bukti pendidikan tak diperhitungkan?