Brilio.net - Fenomena banyaknya generasi Z yang kena layoff memunculkan berbagai opini. Ada yang bilang kurangnya skill dan motivasi kerja jadi penyebab, sementara lainnya meyakini anggapan ini hanya sekadar stigma. Di tengah dinamika dunia kerja, generasi Z menjadi sorotan karena banyak yang kehilangan pekerjaan, terutama belakangan ini di tengah badai PHK yang ada di Indonesia.
Deputi Bappenas, Amich Alhumami dalam sebuah pernyataan mengungkap bahwa lemahnya soft skill menjadi salah satu alasan utama mengapa banyak Gen Z dipecat. Seperti diketahui, Gen Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, kini mendominasi angkatan kerja. Generasi ini dikenal mengutamakan fleksibilitas dan keseimbangan hidup. Sayangnya, banyak perusahaan menganggap mereka tidak memiliki motivasi dan profesionalisme yang cukup untuk bertahan dalam dunia kerja yang penuh tekanan.
Survei Gallup tahun 2023 menunjukkan 23% pekerja Gen Z merasa tidak aman di tempat kerja. Hal ini tak hanya disebabkan oleh ancaman pemecatan, tetapi juga tuntutan pekerjaan yang semakin berat. Sementara, laporan lain dari Intelligent menunjukkan bahwa 60 persen perusahaan telah memecat lulusan baru tahun ini.
foto: pixabay.com
Ada berbagai faktor yang menjadi alasan layoff pada Gen Z ini. Umumnya, alasan tersebut adalah kurangnya motivasi atau inisiatif (50%), kurangnya profesionalisme (46%), keterampilan berorganisasi yang buruk (42%), keterampilan komunikasi yang buruk (39%), kesulitan menerima feedback (38%), kurangnya pengalaman kerja yang relevan (38%), keterampilan pemecahan masalah yang buruk (34%), keterampilan teknis yang tidak memadai (31%), ketidakcocokan budaya (31%), dan kesulitan bekerja dalam tim (30%).
Angka-angka ini menunjukkan bahwa banyak Gen Z dianggap belum siap menghadapi tantangan dunia kerja.
Melansir liputan6.com, Huy Nguyen kepala penasihat karier Intelligent, mengungkapkan bahwa banyak lulusan baru kesulitan beradaptasi dengan budaya kerja. Bahkan, survei Resume Templates menunjukkan bahwa 70 persen pencari kerja Gen Z terlalu bergantung pada orang tua. Ironisnya, 25 persen di antaranya melibatkan orang tua dalam wawancara kerja dan proses melamar pekerjaan.
"Perbedaan antara lingkungan belajar dan dunia kerja menjadi tantangan besar bagi mereka," jelas Nguyen.
foto: pixabay.com
Persoalan Gen Z dan dunia kerja menjadi polemik tersendiri di Indonesia. Data BPS tahun 2023 mencatat hampir 10 juta Gen Z di Indonesia masuk kategori NEET (not in education, employment, and training). Ini setara dengan 13 persen dari total populasi Gen Z. Pengamat ekonomi Ronny P. Sasmita menyebut rendahnya pertumbuhan ekonomi sebagai faktor utama.
"Setiap tahun angkatan kerja baru terus bertambah, tetapi daya serap tenaga kerja belum memadai," kata Ronny.
Selain itu, pendidikan yang tidak relevan dengan kebutuhan industri juga dianggap menjadi masalah. Banyak lulusan universitas yang belum siap kerja karena kurangnya pengalaman dan kemampuan teknis.
Meski banyak data yang mendukung argumen tentang kurangnya skill dan motivasi Gen Z, pendapat ini bisa jadi hanyalah stigma semata. Gen Z sering disalahkan atas kegagalan perusahaan dalam menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan mendukung.
Sebagai generasi yang tumbuh di era digital, Gen Z memiliki potensi besar dalam bidang teknologi dan inovasi. Namun, tanpa dukungan pelatihan yang tepat, potensi ini bisa terbuang sia-sia.
Recommended By Editor
- Ketika magang dianggap beban, bagaimana menciptakan lulusan universitas yang berpengalaman?
- Dulu jadi buruh pabrik kini diangkat jadi rektor, mengenal Mundakir dulu belajarnya sambil angon sapi
- PPG guru madrasah dan guru agama dibuat sederhana, tunjangan Rp 2 juta di depan mata
- Heboh guru pilih resign dari PNS karena stres, mengapa jadi abdi negara rentan merasa tak bahagia?
- Mendikdasmen ubah sistem guru tak perlu mengajar 24 jam dalam seminggu, begini ketentuan terbarunya