Brilio.net - Kasus kekerasan yang melibatkan anak usia remaja terus menjadi sorotan publik. Dalam sejumlah laporan, insiden ini tak hanya berdampak pada korban, tetapi juga melibatkan pelaku yang umumnya adalah sesama pelajar. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran tentang perlunya upaya kolektif untuk menanggulangi persoalan yang semakin kompleks di dunia pendidikan.
Laporan terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan bahwa kekerasan di lingkungan pendidikan masih menjadi masalah serius. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) tahun 2024, tercatat 763 kasus kekerasan di sekolah dengan lebih dari 10.000 korban anak-anak.
“Fenomena ini menggambarkan kegentingan untuk memberikan perlindungan yang lebih efektif bagi anak-anak di lingkungan pendidikan. Pendekatan holistik diperlukan, termasuk memperkuat pendidikan karakter untuk membentuk generasi muda yang empati, menghargai perbedaan, dan mampu menyelesaikan konflik tanpa kekerasan,” ujar Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikdasmen, Rusprita Putri Utama, S.E., M.A.
Rusprita juga menekankan bahwa lemahnya pendidikan karakter di berbagai lapisan masyarakat menjadi salah satu penyebab tingginya angka kekerasan. Ketika anak-anak tidak dibekali nilai moral dan etika sejak dini, mereka cenderung kesulitan mengelola emosi dan menyelesaikan konflik secara konstruktif.
foto: Instagram/@fajarrizaulhaq
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) RI, Dr. Fajar Riza Ul Haq, S.Hi., M.A., menyampaikan pentingnya peran guru, orang tua, dan masyarakat dalam memutus rantai kekerasan di kalangan remaja. Menurutnya, pendidikan tidak hanya terbatas pada ruang kelas tetapi harus melibatkan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak.
“Pendidikan intinya adalah membangun karakter dan memanusiakan manusia. Untuk itu, kita perlu menggeser paradigma dari sekadar schooling ke learning. Pendidikan bukan hanya tentang mengejar prestasi akademik, tetapi juga menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi peserta didik,” ujar Fajar dalam keterangan pers yang diterima brilio.net, saat mengisi seminar yang bertajuk Dari Kelas ke Kehidupan: Menanamkan Nilai-Nilai Nir Kekerasan dan Kesetaraan Gender di Lingkungan Pendidikan di Yogyakarta.
Hal ini senada dengan pernyataan Direktur Pembinaan SMA Kemendikdasmen, Winner Jihad Akbar, yang juga menyoroti pentingnya melibatkan semua guru dalam upaya penanganan dan pencegahan kekerasan di sekolah. Menurut Winner, selama ini, peran guru Bimbingan Konseling (BK) sering menjadi tumpuan utama, sementara guru-guru lainnya kurang dilibatkan secara aktif.
“Guru BK punya pelatihan dan materi untuk menangani kasus kekerasan, tetapi penanaman nilai anti-kekerasan perlu dilakukan oleh semua guru. Sosialisasi dan pelatihan bagi guru non-BK sangat penting agar mereka juga bisa menjadi agen perubahan,” ungkap Winner.
Winner juga mengingatkan bahwa penanganan kekerasan tidak hanya fokus pada korban, tetapi juga pelaku. Menurutnya, pelaku kekerasan perlu dididik dan disadarkan, bukan semata-mata dihukum. Pendekatan ini bertujuan untuk mengatasi akar masalah kekerasan secara lebih mendalam.
“Bagaimana kita menangani pelaku kekerasan agar mereka bisa memperbaiki diri? Ini memerlukan kerja sama dengan aparat penegak hukum melalui pendekatan restorative justice yang lebih manusiawi,” tegas Winner.
foto: Instagram/@fajarrizaulhaq
Rektor Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, Dr. Warsiti, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat, dalam keterangan yang diterima brilio.net juga menekankan perlunya kolaborasi antara lembaga pendidikan dan masyarakat untuk meminimalisir persoalan kekerasan. Ia berharap, seminar ini dapat menjadi momentum untuk menguatkan peran keluarga dalam membentuk lingkungan yang aman bagi anak-anak.
“Lingkungan yang mendukung sangat penting, baik dari keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Pendidikan tidak bisa berjalan sendiri, perlu kolaborasi yang solid,” ucapnya.
Selain faktor internal di sekolah, perkembangan teknologi juga turut memengaruhi perilaku anak-anak. Ketergantungan pada gawai dan paparan konten negatif di media sosial menjadi tantangan baru dalam dunia pendidikan.
“Anak-anak sekarang begitu bangun tidur langsung mencari gadget. Padahal, tanpa pendampingan, penggunaan gadget tidak berdampak langsung pada peningkatan pengetahuan anak,” kata Wamendikdasmen Fajar.
Ia mengingatkan bahwa komunikasi yang baik antara guru, orang tua, dan anak adalah kunci untuk mencegah lingkaran kekerasan. Pemerintah juga telah berkoordinasi dengan Polri untuk mengedepankan pendekatan yang lebih humanis dalam menyelesaikan persoalan di sekolah.
Kekerasan di lingkungan pendidikan bukanlah persoalan sepele yang bisa diatasi oleh satu pihak saja. Kolaborasi antara guru, orang tua, dan masyarakat menjadi kunci dalam menciptakan generasi muda yang berkarakter kuat, empati, dan mampu menyelesaikan konflik secara damai. Dengan pendidikan karakter yang diperkuat sejak dini, diharapkan Indonesia dapat melahirkan generasi emas 2045 yang unggul dan berintegritas.
Recommended By Editor
- Abu-abu nasib guru swasta & guru agama di tengah isu tunjangan Rp 2 juta, ikut sejahtera atau merana?
- Bagaimana seharusnya industri kerja berkontribusi ke SMK, biar nggak banyak pengangguran di Indonesia
- "Happiness Journey to be #GenHappineZ" persembahan kolaborasi Sasa dan Naturally Speaking by Erha
- Aturan tunjangan sertifikasi diganti oleh Mendikdasmen Abdul Mu’ti, guru wajib paham ketentuannya
- Lulusan SMK jadi penyumbang angka pengangguran terbesar di Indonesia, apa yang salah dari sistemnya?
- Anggaran kesejahteraan guru naik Rp 16,7 triliun per tahun 2025, begini skema alokasinya