Brilio.net - Publik tengah menyoroti polemik demi polemik yang merundung pendidikan tinggi di Indonesia. Dari isu disertasi Bahlil Lahadalia di Universitas Indonesia hingga kemarin ramai kasus plagiasi oleh sejarawan UGM Sri Margana. Dua kasus tersebut mengerucut pada permasalahan etika intelektual yang seharusnya menjadi integritas utama dari seorang akademisi. Adanya manipulasi sistem kelulusan hingga plagiat karya seyogyanya menjadi ‘dosa’ besar bagi pembelajar. Sayangnya, dua kasus yang mencoreng integritas lembaga pendidikan tersebut justru muncul di universitas-universitas terbaik di Indonesia.
Kasus semacam ini tak bisa dibiarkan menghilang begitu saja dalam perjalanan. Perlu pengawalan sebagai komitmen untuk memperbaiki citra perguruan tinggi. Pasalnya, bisa saja ini bukan hanya sekadar persoalan etika, tetapi juga mencakup kerusakan sistemik dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Lalu apa urgensi dari permasalahan etika intelektual bagi pendidikan di masa depan?
Komersialisasi Gelar Akademik?
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Chusnul Mariah, Ph.D membongkar praktik obral gelar doktor di Perguruan Tinggi. Sebagai akademisi yang sempat masuk dalam jajaran senat akademik UI, ia tak menampik adanya praktik komersialiasasi gelar dalam instansi pendidikan. Misalnya saja dalam pemberian gelar doktor hingga doktor honoris causa yang makin kesini seolah makin mudah dimiliki. Sementara itu, alumni Filsafat UI, Rocky Gerung juga menyorot soal wabah ‘keranjingan’ gelar pada pejabat-pejabat yang berpotensi mengarah pada manipulasi sistem kelulusan.
“Consent saya dengan kasus adinda (re: Bahlil Lahadalia) juga, ini sih bukan hal baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Saya selalu mengatakan, bahkan di banyak forum, bahwa yang merusak pendidikan adalah pejabat yang menginginkan gelar-gelar tapi nggak mau belajar,” ungkap Chusnul Mariah dengan tegas dalam wawancara bersama Abraham Samad.
Menurut Chusnul, kasus Bahlil Lahadalia hanya satu dari banyaknya kasus serupa yang terjadi di perguruan tinggi top di Indonesia. Sebagai seorang dosen, ia juga tentu pernah menerima pejabat sebagai mahasiswanya. Ia menyaksikan sendiri kadang para pejabat ini membawa tim saat berkuliah, ada yang bertugas mencatat, ada juga yang merekam dan lain sebagainya.
“Dulu saya sering kalau dapat mahasiswa pejabat, bawa teman gitu, ada yang (tugasnya) mencatat, ada yang merekam, maksudnya apa ini?” ujarnya.
Sebagai akademisi yang juga pernah andil dalam urusan sistem akademik, ia juga menyoroti adanya masalah struktural di UI. “Ini kan ada masalah struktur di UI, jadi ada fakultas-fakultas, terus ada sekolah pascasarjana. Nah dia berada di sekolah pascasarjana itu, yang itu sebetulnya sebagian besar kayak interdisiplin gitu. Nah, kerjasama SKSG itu ada dengan lembaga-lembaga yang lain, dan akhirnya banyak sekali kemudian menerima pejabat. Cuma, persoalannya, dia bikin S3 yang (jalurnya) by research,” terangnya.
foto: Instagram/@bahlillahadalia
Chusnul juga mengingatkan adanya politik kampus yang mungkin tidak sehat. Terkadang, ada semacam transaksi kepentingan yang dilakukan kampus dengan lembaga-lembaga tertentu. Tentunya, hal semacam ini mengarah pada komersialisasi dalam dunia pendidikan yang tidak hanya mencoreng citra perguruan tinggi, tetapi juga menjadi cermin dari buruknya politik negara ini secara moral dan etika.
“Makanya saya selalu bilang, kalau politik kampusnya saja buruk, jangan harap politik negaranya baik. Berantakannya perguruan tinggi, adalah cerminan dari berantakannya negara ini. Kan menarik ya ada gelar doktor, doktor honoris causa. Sekarang banyak politisi punya (re: doktor honoris causa), emang itu nggak bayar? Nggak gratis lah. Nanti ada lagi, kenapa menteri itu masuk di sana? Kan ada beberapa proyek yang nanti dipindahkan dari kementerian. Saya ngomong ini, saya punya datanya,” tutur Chusnul.
“Ya ini bisa disebut komersialisasi (re: pendidikan), kemungkinan komersialisasi yang seperti itu untuk mendapatkan banyak mahasiswa. Jadi persoalannya apakah hanya di SKSG?” tambahnya.
Persoalan Etika Intelektual.
Tak hanya perkara Bahlil saja, etika intelektual dan kejujuran akademik juga diuji oleh isu dugaan plagiasi karya sejarawan Peter Carey oleh sejumlah dosen UGM. Dua permasalahan ini perlu mendapat penanganan yang mendalam oleh instansi perguruan tinggi jika tak ingin integritas dan reputasinya dirong-rong dengan isu-isu etika akademisi.
Rocky Gerung dalam wawancara daringnya mengingatkan bahaya efek domino dari persoalan Bahlil Lahadalia yang seolah memaksakan diri untuk mengambil gelar doktor di UI, serta permasalahan kejujuran akademik yang menerpa komunitas pemikir di kampus UGM.
“Boleh disebut sebagai wabah gitu artinya domino effect atau efek berantai bahwa plagiasi di satu kampus itu akhirnya juga mulai membuka plagiasi di tempat yang lain. Kan kemarin UGM kena itu, UI udah kena, ya mungkin kampus-kampus lain akan menyusul,” ungkap Rocky seperti dilansir brilio.net, Kamis (14/11).
foto: istimewa
Ia juga mengingatkan dengan keras bahwa darurat paling berbahaya adalah darurat etika intelektual. Pasalnya, dua permasalahan di perguruan tinggi yang baru-baru ini terjadi mengerucut pada permasalahan moral atau etika seorang akademisi.
“Ini negeri bukan saja mengalami darurat di dalam etika, tapi darurat yang paling berbahaya itu darurat etika intelektual. Dan kasus demi kasus mulai terungkap, pemalsuan ijazah, disertasi yang asal-asalan, penyogokan promotor, dan sekarang ada isu kasus yang memalukan yaitu sejumlah sejarawan memplagiasi karya dari Peter Carey,” ujarnya lantang.
Menurut alumnus Filsafat UI ini, negara Indonesia tengah berada pada situasi darurat moral intelektual. Ia menyoroti bagaimana kemudian kejujuran akademik ini digadaikan melalui transaksi-transaksi kekuasaan atau pragmatisme ekonomi uang. Mengingat, kasus Peter Carey ini berkaitan dengan transaksi proyek buku sejarah antara Pemda Madiun dengan sejarawan UGM. Sementara, kasus Bahlil juga dinilai syarat akan politik kepentingan dimana ada duga persoalan etik ketika promotor disertasi Bahlil menjabat sebagai komisaris di sebuah lembaga yang di situ Bahlil Lahadalia memiliki pengaruh sangat kuat.
“Poin saya adalah pastikan UI juga kan punya masalah tuh, mustinya dibentuk tim independen untuk menguji mereka-mereka yang terlibat di dalam skandal Bahlil. Sekali lagi ini bukan untuk membela Bahlil, supaya fair bahwa UI sebetulnya juga tercium semacam berbau-bau transaksional di dalam pendekatan seseorang untuk masuk UI,” ungkap Rocky.
Baginya, ini merupakan sinyal kuat yang mengharuskan perguruan tinggi semacam UI membentuk tim independen untuk melakukan audit menyeluruh agar jangan sampai integritas perguruan tinggi digadaikan atau dikomersialisasi.
“Jadi kita sungguh ada di dalam situasi dimana moral call (re: panggilan moral) itu berhenti karena tukar tambah kekuasaan, berhenti karena tukar tambah transaksi uang, hendak dinilai apa masa depan kita sebagai negeri yang berpikir, kalau semua itu kemudian bisa dinilai secara pragmatis kebutuhan uang?” pungkas Rocky.
Pada akhirnya, perguruan tinggi ini dihadapkan pada isu yang berkaitan dengan integritasnya sebagai lembaga pendidikan tertinggi. Jika gelar atau etika intelektual bisa digadaikan, lalu bagaimana nasib dunia pendidikan di masa depan?
Recommended By Editor
- Gelar doktornya ditangguhkan, Bahlil Lahadalia ungkap dirinya selalu datang kuliah dan bimbingan
- Sederet kontroversi disertasi Bahlil Lahadalia, lulus instan hingga gelar doktor kini ditangguhkan
- Banyak kasus guru dan murid berakhir di bui, bagaimana respons Mendikdasmen dan Polri?
- UI minta maaf atas pemberian gelar doktor Bahlil Lahadalia, akui ada kekurangan
- Mendikdasmen gandeng Polri, wacanakan Pramuka Bhayangkara kembali dihidupkan, apa urgensinya?