Brilio.net - Sudah bukan rahasia kalau tak sedikit masyarakat yang mengeluhkan biaya kuliah yang tak lagi murah. Masyarakat yang ingin mengenyam pendidikan tinggi harus merogoh kocek dalam, bahkan tak jarang sampai terlibat pinjaman. Padahal, pendidikan tinggi adalah kunci menuju peradaban unggul yang membuka kesempatan menuju visi bangsa yakni Indonesia Emas di tahun 2045. Wacana ini bisa jadi isapan jempol belaka jika kebutuhan paling dasar yakni pendidikan masih terabaikan.

Tak sedikit dari calon mahasiswa yang memupus cita-cita bahkan sejak sebelum memulai pendidikan. Tak jarang juga yang berhenti di tengah jalan karena tuntutan ekonomi, atau ada juga yang telah lulus tapi proses mencari kerja tak begitu mulus. Brilio.net menemui HP (nama samaran), seorang lulusan perguruan tinggi yang punya kisah menyayat sekaligus nekat soal menyusun siasat meringankan biaya pendidikan.

Dari kisah HP, terlihat bagaimana sulitnya menjadi mahasiswa jika tak dibarengi ekonomi yang mumpuni. Lima tahun usai kelulusannya, HP baru menceritakan kisah unik yang sebenarnya tak lazim dilakukan. Saat itu ia menapaki semester akhir dan batas waktu perkuliahan di salah satu perguruan tinggi. Harus kuliah sambil bekerja mungkin menjadi alasan ia tak kunjung tamat, meski masa kuliahnya hampir masuk tenggat.

Tak ada lagi supply biaya dari orang tua, karena ia mengumumkan telah bekerja. Namun, namanya pekerjaan tak pernah ada yang mulus. HP pun merasakan nelangsanya pekerja lepas kala bisnis saat itu tengah lesu. Padahal, ia masih harus membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) agar tetap berstatus aktif sebagai mahasiswa. Dengan membayar SPP, seorang mahasiswa tetap bisa menerima akses dan berbagai fasilitas di kampusnya. Untuk kampus negeri, biasanya pembayaran dilakukan dengan sistem biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT).

kisah mahasiswa tak mampu bayar kuliah freepik.com

foto: freepik.com

Untuk menyiasati kesulitan finansial saat kuliahnya nyaris final, HP merancang strategi tak biasa dengan memalsukan kematian ayahnya. Ya, ia benar-benar mengurus surat kematian sang ayah, padahal orang tuanya tersebut masih hidup dan sehat walafiat.

"Kondisi perkuliahanku waktu itu tinggal skripsi aja. Terus waktu itu sudah semester 13," kata HP pada brilio, Kamis (19/9).

Saat itu, HP tidak punya uang untuk membayar biaya UKTnya sekitar Rp 4 juta. HP mengaku sudah tidak dikirimi uang oleh orang tuanyanya sejak semester 8. Alasannya, waktu itu HP awalnya sudah punya pekerjaan sambilan sebagai editor lepas untuk berbagai penerbitan buku. Namun penghasilan dari kerja sambilan HP waktu itu sedang lesu, ia pun tak punya cukup dana untuk membayar UKT.

"Kondisi keuanganku waktu itu, aku udah nggak dikirimi uang semesteran, uang ngontrak dari semester 8. Karena waktu itu aku udah nyambi nge-layout ngedit buku," kata HP.

kisah mahasiswa tak mampu bayar kuliah freepik.com

foto: freepik.com

Siasat me-yatim-kan diri ini terpikir oleh HP lantaran melihat teman-temannya. Para mahasiswa yatim saat itu diberikan keistimewaan oleh kampus untuk memperoleh keringanan biaya, dan hanya perlu membayar golongan UKT satu berkisar antara Rp 0-500 ribu.

"Dapat idenya karena lihat teman-teman yang yatim otomatis dapat potongan (biaya) dari kampus. Waktu pas daftar ulang satu teman adik tingkat dia kan yatim, otomatis UKT nya jadi golongan 1 Rp 0-500 ribu," tutur HP.

Uniknya, pemikiran nyeleneh dan nekat HP ini disetujui oleh ayahnya. Padahal, saat itu ayahnya harus rela dikisahkan meninggal dunia demi keringanan biaya kuliah anaknya. Surat kematian kemudian diurus olehnya melalui beberapa prosedur yang membuat surat tersebut sah dan resmi untuk digunakan sebagai ‘voucher’ potongan UKT milik HP.

"Kampus tidak curiga ku pikir. Soalnya kampus verifikasinya online, surat kematiannya juga diunggah secara online, nggak ada check and balance. Jadinya aku mendapat potongan UKT ku jadi Rp 500 ribu," kata HP.

kisah mahasiswa tak mampu bayar kuliah freepik.com

foto: freepik.com

HP mengungkapkan lebih lanjut, keputusannya mengelabui kampus ini pun tidak murni karena tak punya dana. Menurut HP, hal ini ia lakukan karena dalam rangka menyikapi kampus yang kini semakin komersial dengan memasang tarif biaya kuliah yang tinggi.

"Gini, kita tahu ya kampus kan belakangan jadi kapitalis raksasa, jadi ya cari celah untuk mengakali sistemnya. Aku menanamkan prinsip itu ke diriku sendiri, dan aku mempengaruhi bapak ibuku. Kebetulan bapakku PNS jadi dia bertahun-tahun jadi guru dia juga melihat celah itu bisa dimanfaatkan. Sebelumnya aku juga pernah bikin surat bencana. Dari surat itu UKTnya jadi Rp 1 juta sekian lah," terang HP pada brilio.net, Kamis (19/9).

Meski siasat nekat ini berhasil dilakukan, namun upaya mengelabui seperti ini seharusnya bisa dicegah jika kebijakan biaya kuliah juga terus dievalusi. Pemerintah semestinya memiliki komitmen untuk menyediakan pendidikan tinggi bagi seluruh tingkatan ekonomi. Terlebih, pemerintah mencanangkan visi menuju Indonesia Emas, sudah semestinya, biaya pendidikan kini tak lagi bikin cemas, apalagi sampai menimbulkan siasat yang culas.