Brilio.net - Seiring berjalannya waktu dan perubahan zaman, cara pengajaran di lingkungan pendidikan juga turut berkembang. Saat ini, pendidik mulai beradaptasi dengan teknologi. Menggabungkan metode pengajaran konvensional dengan proses belajar mengajar menggunakan platform digital. Namun demikian, perubahan ini juga membutuhkan keterampilan adaptasi tingkat tinggi bagi para guru. Mereka tak hanya harus menyampaikan materi, tapi juga harus selalu up to date dengan teknologi masa kini.
Selain itu, mengajar di era media sosial seperti sekarang tentu melahirkan tantangan-tantangan yang tak terduga. Bukan cuma soal teknologinya yang berkembang secara masif, tapi juga tanggung jawab terhadap pembentukan karakter dan pola pikir siswa yang dituntut untuk sempurna. Padahal, saat ini hampir semua siswa terpapar media sosial secara signifikan yang kadang membuat kemampuan akademik semakin lamban.
Belum lagi, pembentukan akhlak dan karakter yang makin sulit akibat paparan informasi dan realitas media sosial yang turut andil dalam membentuk sikap dan perilaku anak-anak di masa sekolah. Seluruh tantangan ini membuat guru wajib beradaptasi dengan budaya generasi masa kini. Pendidikan bukan lagi sekadar materi, tapi juga menantang guru membentuk generasi yang beradab di era perkembangan yang semakin pesat.
Brilio.net berbincang dengan beberapa guru untuk mengulik keresahan dan pengalaman mereka mengajar di era media sosial yang penuh liku. Bagaimana kemudian guru ini beradaptasi dengan gencarnya teknologi serta perubahan karakter murid yan patut dipahami.
Wegha Aryanto, guru SMP Muhammadiyah 3 Depok, Yogyakarta bercerita soal pengalamannya mengajar sebelum dan sesudah diinvasi oleh teknologi. Sebelum ada internet, proses pembelajaran masih berfokus pada metode membaca buku serta monolog dari guru ke murid. Sementara pasca derasnya teknologi digital berbasis internet, informasi jadi lebih sering masuk, sehingga membuat bahan ajar jadi fleksibel.
"Sebelum era digital, pembelajaran masih berpusat pada buku, pembelajaran masih menggunakan metode ceramah dari guru, untuk mencari informasi lebih susah karena masih banyak media cetak. Sementara, setelah era digital, informasi lebih cepat masuk, bahan ajar lebih fleksibel tidak melulu buku, guru hanya menjadi fasilitator, lebih banyak referensi yang bisa didapatkan," katanya pada brilio.net, Rabu (11/9).
foto: Instagram/@homeschoolinganakpelangi
Senada dengan Wegha, Pipin Larasati seorang pengajar IPS di Homeschooling Anak Pelangi Yogyakarta, juga membenarkan adanya perbedaan dari metode mengajarnya sebagai guru.
Menurut Pipin, perubahannya cukup signifikan. Misalnya aspek mencari informasi. Pipin menjadikan media sosial sebagai tempat mencari referensi untuk bahan ajarnya. Selain itu, para muridnya juga menjadikan media sosial sebagai tempat mereka belajar, tak melulu pada buku.
"Sebelumnya era media sosial, siswa cuma mendapat informasi pengetahuan dari buku dan guru. Nah setelah era media sosial ini, informasi lebih mudah diakses dalam berbagai format, bisa teks, bisa gambar, atau audio visual," kata Pipin kepada brilio.net, Rabu (11/9).
Mengajar generasi masa kini yang sudah terpapar media sosial memang jadi tantangan tersendiri bagi para guru. Mukmin, seorang guru pengajar Pendidikan Agama Islam, mengaku kendala mengajar di era media sosial ini ia rasakan ketika mendidik siswa di tingkatan SMP ke atas. Ia merasa akses informasi yang mudah didapatkan para siswa menjadikan para siswa seakan kehilangan respect pada guru.
"Kalau ngajar yang masih SD mungkin masih lebih mudah. Tapi kalau udah tingkat atas itu kadang jadi sok pinter. Mereka merasa bisa mendapat informasi dari mana saja. Jadi posisi guru nggak jadi satu-satunya tempat datangnya ilmu. Sekarang tuh ilmu bisa dari google. Jadi akhlak mereka agak berkurang," ujar Mukmin pada brilio.net.
foto: Instagram/@homeschoolinganakpelangi
Semakin pesatnya perkembangan digital membuat sekolah pun menerapkan metode baru yang beradaptasi dengan teknologi. SD Homeschooling Anak Pelangi misalnya, sekolah ini sudah memfasilitasi pembelajaran yang berbasis digital. Hal ini dilakukan oleh para guru di sekolah tersebut dengan memanfaatkan platform digital dalam proses pembelajaran. Pihak sekolah juga mengadakan pelatihan untuk para guru agar bisa beradaptasi secara cepat.
"Misalnya sekarang kan sudah berbasis teknologi, jadi guru bisa memanfaatkan banyak platform digital yang relevan untuk pembelajaran bagi para siswa," kata Uswa, pengajar di SD Homeschooling Anak Pelangi, Rabu (11/9).
Konkritnya, dikatakan oleh Mukmin, metode pembelajaran berbasis digital sendiri terlihat dari bagaimana dirinya mengajarkan surat Al Fatihah pada murid-muridnya. Jika sebelumnya murid diajak mengikuti bacaan sang guru, di era digital, para murid tinggal diarahkan untuk membuka YouTube dan mengetik kata kunci untuk belajar Surat Al Fatihah.
"Kalau dulu umpamanya, 'sekarang kita hafalan surat Al Fatihah ya, pak guru contohnya Al Fatihah yang benar' kalau sekarang beda. 'Silahkan kalian bukan YouTube, ketik Syaikh Musyari Rasyid, nah kalian harus ikuti Al Fatihahnya seperti itu. Minggu depan kita setoran. Nah era internet seperti itu," kata Mukmin menuturkan.
foto: Brilio/Fathur Rahman
Anak-anak yang gandrung dengan media sosial, cenderung terpapar oleh berbagai tren yang sedang berkembang setiap saat. Meski begitu, Mukmin menilai hal itu tak selalu harus diikuti. Kata Mukmin, guru tak selalu harus merelevansikan cara mengajarnya dengan tren yang sedang berkembang. Alasannya, tidak semua tren itu positif bagi para siswa.
"Tidak selalu. Media sosial itu banyak buruknya ketimbang positif. Kayak TikTok isinya kan joget-joget, guru nggak mungkin joget depan kelas. Jadi kita harus memilah. Tak semua harus ngikutin tren," jelas Mukmin, Rabu (11/9).
Meski tak selalu harus relevan, dalam konteks cara beradaptasi, Mukmin sendiri berusaha mengerti apa yang disukai anak-anak zaman sekarang. Misalnya, ketika para muridnya menyukai anime, sang guru pun perlu tahu referensi anime tersebut agar obrolan guru dan murid bisa sinkron.
"Paling nggak kita tuh ngerti anak-anak tuh sukanya apa. Misalnya anime, nah anak-anak di kelas saya pada suka Boruto. Nah saya harus tahu tuh biar nyambung ngobrolnya," tandas Mukmin.
Sementara itu menurut Mukti Sari, adaptasi yang ia lakukan adalah dengan mengeksplorasi lebih banyak metode mengajar dari berbagai platform digital.
"Cara beradaptasinya adalah dengan selalu update melihat akun-akun media sosial guru/pendidik yang aktif di media sosial dengan konten-konten pendidikan. Bisa juga dengan mengikuti upgrading pelatihan media digital. Kita juga harus tetap update dan peduli isu-isu terbaru/viral," kata Mukti pada brilio.net, Rabu (11/9).
Dengan sharing pengalaman dan keresahan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada satu sisi, era media sosial membantu guru lebih fleksibel dalam mengajar. Hal ini juga selaras dengan keseharian siswa yang gandrung pada media sosial. Siswa pun kini lebih mudah dalam mengakses bahan ajar. Namun, tantangan pada generasi sekarang terletak pada bagaimana membangun generasi beradab di era perkembangan teknologi yang makin pesat.
Recommended By Editor
- Selain kesejahteraan finansial, begini 10 cara menjaga kesehatan mental guru di era digital
- Kurikulum merdeka tuntut guru lebih kreatif, ini 7 cara manfaatkan media sosial jadi sarana edukatif
- Mengenal istilah TechTok dalam pendidikan, begini arti dan cara menerapanya
- Gelar S.Pd dinilai tak laku, begini siasat mahasiswa jurusan pendidikan agar diterima di dunia kerja
- Media sosial dijadikan sarana pengajaran bagi mahasiswa, seberapa bagus kualitas hasil belajarnya?