Brilio.net - Mahasiswa jurusan pendidikan seringkali dihadapkan pada ekspektasi yang besar untuk segera siap mengajar begitu mereka lulus. Tapi nyatanya, setelah merampungkan gelar sarjana, para calon guru ini justru wajib kuliah lagi demi memenuhi syarat administrasi. Ya, pemerintah menginisiasi adanya program PPG (Pendidikan Profesi Guru) sebagai persyaratan wajib sarjana pendidikan sebelum melamar menjadi seorang pengajar.

Proses belajar menjadi seorang pendidik selama empat tahun lamanya, harus ditambah dengan program sertifikasi sebelum akhirnya bisa jadi guru. Tentunya program ini sedikit banyak membuat para mahasiswa pendidikan gelisah terkait masa depan mereka. Bahkan tak sedikit tamatan pendidikan yang memilih profesi di luar keguruan lantaran misal tak ingin lebih lama kuliah lagi.

Program ini secara tidak langsung membuat mahasiswa pendidikan harus siap dengan segala ekspektasi dan kualifikasi yang wajib dipenuhi. Selain harus memenuhi syarat untuk kuliah lagi, para mahasiswa keguruan ini juga harus dihadapkan pada realita proses pembelajaran yang kadang tak sesuai harapan. Kegelisahan ini bisa berdampak pada mental mahasiswa dalam mengarungi proses belajar mengajar mereka. Studi menunjukkan bahwa tekanan untuk memenuhi ekspektasi dapat memicu stres akademik yang berdampak negatif pada performa belajar.

Menurut sebuah penelitian yang dipublikasikan di Journal of Educational Psychology, mahasiswa yang mengalami tekanan berlebih terkait ekspektasi cenderung menunjukkan tingkat kecemasan yang lebih tinggi dan kesulitan dalam mempraktikkan teori yang mereka pelajari secara efektif.

ekspektasi mahasiswa pendidikan Berbagai sumber

foto: Instagram/@kknstifibp_gedungrejo

Termasuk adanya PPG, kira-kira apa saja sih kegelisahan yang dirasakan para mahasiswa pendidikan ini? Nugrahani Annisa misalnya, ia mengeluhkan kalau sebagai mahasiswa pendidikan, nyatanya ia seperti tidak siap menanggung ekspektasi harus siap mengajar selepas lulus.

Alasannya, di kampusnya, ia justru lebih banyak disibukkan untuk belajar tentang administrasi menjadi guru alih-alih belajar bagaimana cara mengajar dan menghadapi anak di ruang kelas.

"Sebagai orang yang belajar tentang pendidikan kita tuh tekanan yang paling terasa ketika perkuliahan alih-alih kita belajar gimana cara ngajar, menghadapi anak, lebih berat tentang tuntutan administratif yang dibebankan ke pengajar. Dan itu memberatkan," kata Nisa yang baru saja lulus dari jurusan Pendidikan Luar Biasa, Jumat (11/10).

Masalah lain yang dialami Annisa adalah, masa kuliahnya yang dimulai ketika Pandemi, membuatnya harus menghabiskan setengah umur Mahasiswanya secara daring. Hal ini membuatnya minim praktek apalagi bidang pendidikannya yang spesifik tentang mengajar anak-anak luar biasa.

"Yang sulit adalah ekspektasi kalau ketika lulus kita dituntut udha langsung mampu untuk langsung mengajar. Nah masalahnya, aku kan masuk kuliah tahun 2020 yang itu masa pandemi, jadi aku menghabiskan separuh masa kuliahku dengan online. Terlebih karena bidangku di pendidikan luar biasa, jadi aku ngerasa experience-nya jadi nggak utuh," lanjut Annisa.

Selain ekspektasi yang begitu menjadi beban, Arip Pardhana punya keresahan lain tentang mahasiswa pendidikan yang hendak meneruskan menjadi guru selepas lulus kuliah. Kepada brilio.net, ia mengungkap proses menjadi guru yang kini semakin sulit dan posisinya yang tidak menguntungkan.

ekspektasi mahasiswa pendidikan Berbagai sumber

foto: Instagram/@kknstifibp_gedungrejo

Mahasiswa Pendidikan Teknik Sipil ini mengungkapkan, mahasiswa pendidikan sudah tidak diuntungkan lagi oleh kondisi zaman sekarang. Dirinya menyesalkan kondisi mahasiswa pendidikan yang harus mengikuti PPG (Pendidikan Profesi Guru) agar bisa menjadi guru. Padahal basis pendidikannya di kuliah sudah keguruan.

"Kita nih mahasiswa pendidikan nih tapi harus PPG lagi buat jadi guru. Dan orang yang bukan jurusan pendidikan juga kalau mau jadi guru harus PPG. Terus apa istimewanya kita di jurusan pendidikan? Sedangkan di sisi lain kalau industri (dunia kerja umum) ya, jurusan pendidikan tuh bakal kalah sama yang non-pendidikan gitu. Jadi jurusan pendidikan ini sangat tidak diuntungkan di dunia pekerjaan kalau menurutku ya," terang Arip, pada kesempatan wawancara dengan brilio.net, Selasa (17/9).

Beda lagi dengan itu Meira Artamevia, mahasiswa jurusan Pendidikan Non-formal ini mengkhawatirkan ekspektasi dan beban kerja para guru yang tak sebanding dengan apresiasi yang di dapat. Hal ini lah yang menurut Meira, akan menjadikan kinerja para guru tidak maksimal.

"Ketakutan terbesarnya menurutku itu semisal jadi guru ya, menurutku itu pekerjaan yang apresiasinya minim sekali di Indonesia. Guru nggak dipandang menjadi suatu pekerjaan yang tinggi. Padahal tugasnya berat, mendidik anak. Tapi malah dibebani administrasi-administrasi ribet. Udah ribet, gaji dikit, ngajarnya juga akhirnya nggak maksimal," keluh Meira pada brilio.net, Jumat (11/10).

ekspektasi mahasiswa pendidikan Berbagai sumber

foto: Instagram/@kknstifibp_gedungrejo

Sementara itu pengamat pendidikan, Faiz Ahsoul, memandang kalau masalah utama tekanan mahasiswa pendidikan yang dituntut untuk siap mengajar tak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang diterapkan pada kampus-kampus.

Menurutnya, sistem pendidikan yang semakin dikomersilkan membuat para mahasiswa hanya dipersiapkan sebagai pekerja dalam dunia pendidikan yang digerakkan dengan cara industrial.

"Sistem yang digelontorkan itu kan sistemnya industrial. Mahasiswa ya dianggap sekadar skrup, baut, apa semuanya dalam sebuah industri yang di kemudian pendidikan adalah sebuah komersil. Problem utamanya disitu," kata Faiz pada brilio.net, Jumat (11/10).

Lebih lanjut, Faiz memandang tekanan yang dihadapi mahasiswa adalah konsekuensi dari lepas tangannya negara akan sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Hal ini pun menjadikan lembaga pendidikan harus mengkomersilkan dirinya berakibat pada mahasiswa yang diperlakukan sebagai produk yang bahkan tidak utuh ketika selesai diproduksi atau lulus dari kampus.

"Negara lepas tangan pada pendidikan di Indonesia. Itu problem utama. Nah konsekuensinya kampus jadi memperlakukan mahasiswa ya sebatas produk. Terlebih produknya tidak utuh. Artinya isinya dengan bukusnya kadang menipu. Ada kampus yang labelnya 'kampusnya orang berdasi' dan sebagainya, sementara mentalnya tidak menunjukkan kapasitasnya," tandas Faiz, Jumat (11/10).