Brilio.net - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia kembali menjadi sorotan publik setelah disertasi doktornya memicu kontroversi. Disertasi yang berjudul "Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia" itu mendapatkan perhatian luas, tak hanya karena isi materinya, tetapi juga karena adanya tuduhan bahwa nama sebuah instansi, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dicantumkan tanpa izin. Kejadian ini menambah deretan polemik yang mengiringi perjalanan Bahlil dalam meraih gelar doktor di Universitas Indonesia (UI).

Diketahui pada 16 Oktober 2024 lalu, Bahlil dinyatakan lulus dan resmi memperoleh gelar doktor dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI setelah menjalani ujian terbuka. Namun, proses yang terbilang cepat (kurang dari dua tahun) mendapat kritik, dan kini disertasi yang diajukan Bahlil kembali memicu masalah baru terkait penggunaan nama JATAM tanpa persetujuan.

Menurut Koordinator Nasional JATAM, Melky Nahar, organisasi mereka sama sekali tidak memberikan izin untuk dicantumkan sebagai informan utama dalam disertasi Bahlil. Dalam surat resmi yang ditujukan kepada Rektor UI, Ketua Senat Akademik UI, dan beberapa pejabat lainnya pada 6 November 2024, Melky menjelaskan bahwa pihaknya hanya setuju untuk diwawancarai oleh Ismi Azkya, yang memperkenalkan diri sebagai peneliti dari Lembaga Demografi UI.

Namun, mereka tidak diberi tahu bahwa wawancara tersebut merupakan bagian dari penelitian untuk disertasi Bahlil. JATAM baru mengetahui bahwa nama mereka telah tercantum setelah menerima salinan disertasi pada 16 Oktober 2024, dan mereka merasa keberatan atas penggunaan nama mereka tanpa persetujuan eksplisit.

“JATAM tidak pernah memberikan persetujuan, baik secara tertulis maupun lisan, untuk menjadi informan utama bagi disertasi tersebut,” kata Melky dalam suratnya.
Lebih lanjut, ia menuntut agar nama JATAM dan seluruh informasi yang telah diberikan untuk wawancara tersebut dihapus dari disertasi. Keberatan ini tidak hanya soal pencatutan nama, tetapi juga soal integritas proses penelitian yang melibatkan pihak yang tidak mengetahui tujuan akhir dari wawancara tersebut.

Dalam menanggapi tuduhan ini, Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI, Amelita Lusia, mengatakan bahwa pihak universitas akan memperhatikan masukan tersebut. Amelita menegaskan bahwa Bahlil masih harus menjalani tahap revisi naskah setelah sidang ujian terbuka.

"Apabila ada masukan seperti ini, tentu akan menjadi perhatian dan dilakukan perbaikan sebagaimana harusnya," ungkap Amelita.

Menurut Amelita, pihak UI tidak menutup kemungkinan akan melakukan revisi terhadap disertasi tersebut jika terbukti ada kesalahan dalam prosesnya.

Desertasi bahlil dikecam jatam Berbagai sumber

foto: Instagram/@bahlillahadalia

Sementara itu, Bahlil Lahadalia sendiri menanggapi polemik ini dengan menyatakan bahwa pembentukan tim investigasi untuk menilai pemberian gelar doktor kepadanya adalah urusan internal kampus.

"Saya cuma menjalankan aturan yang ditetapkan di UI," kata Bahlil.

Lebih lanjut, Bahlil pun tidak mengomentari lebih jauh terkait tuduhan pencatutan nama JATAM.

Kontroversi ini menambah panjang deretan masalah yang terkait dengan disertasi Bahlil. Sebelumnya, proses pemberian gelar doktor kepada Bahlil juga menuai kritik karena dilalui dalam waktu yang sangat singkat—kurang dari dua tahun, yang dinilai tidak lazim untuk sebuah disertasi doktoral.

Proses yang terlalu cepat ini memunculkan kecurigaan mengenai kualitas penelitian dan pemahaman mendalam yang seharusnya dimiliki oleh seorang doktor. Meskipun demikian, Bahlil mempertahankan bahwa ia telah mengikuti prosedur yang ada di UI dan menjalani ujian terbuka dengan sesuai aturan yang berlaku.

Di balik kontroversi ini, ada banyak pertanyaan yang muncul tentang integritas dalam dunia akademis, khususnya di universitas ternama seperti UI. Proses penelitian yang melibatkan pihak eksternal, seperti JATAM, harus dilakukan dengan transparansi dan persetujuan yang jelas.

Tanpa itu, kesan bahwa informasi digunakan tanpa izin dapat merusak reputasi kampus dan pihak-pihak yang terlibat. Dalam dunia akademis, kredibilitas adalah hal yang sangat penting, dan setiap langkah yang diambil dalam proses penelitian harus bisa dipertanggungjawabkan.

Desertasi bahlil dikecam jatam Berbagai sumber

foto: Instagram/@bahlillahadalia

Kontroversi ini juga mencerminkan betapa pentingnya hubungan antara dunia akademis dengan masyarakat luas, khususnya organisasi non-pemerintah (NGO) yang terlibat dalam isu-isu sosial dan lingkungan. JATAM, yang selama ini dikenal sebagai salah satu organisasi yang vokal dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat dan kelestarian lingkungan, merasa dirugikan karena nama mereka digunakan tanpa izin dalam konteks yang tidak mereka setujui.

Hal ini menyoroti perlunya komunikasi yang lebih baik dan transparan antara lembaga akademis dan masyarakat sipil dalam menjalankan penelitian yang melibatkan data dan informasi sensitif.

Sementara itu, UI sebagai lembaga pendidikan tinggi terkemuka di Indonesia, tentu memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa proses akademik yang dijalankan memenuhi standar yang tinggi.

Bahlil, yang kini sudah memegang gelar doktor, juga harus siap untuk menghadapi berbagai kritik dan tantangan yang mungkin muncul, terutama terkait dengan proses akademik yang berjalan cepat. Hal ini juga menjadi pembelajaran bagi semua pihak bahwa transparansi, etika, dan komunikasi yang jelas sangat diperlukan dalam setiap langkah yang diambil dalam dunia akademis.

Polemik ini, meskipun terkesan pribadi antara Bahlil dan JATAM, seharusnya menjadi bahan refleksi bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Ketika nama dan kredibilitas sebuah instansi digunakan dalam riset akademik, persetujuan yang jelas dan transparan adalah hal yang tak bisa ditawar. Hanya dengan demikian, dunia akademis akan semakin kuat dalam menjalankan fungsinya sebagai pilar pengetahuan dan kemajuan masyarakat.