Brilio.net - Alkisah, sebuah keluhan getir disampaikan maestro wartawan Indonesia Parada Harahap saat bertamu ke rumah raja kretek Nusantara Nitisemito di Kudus, Jawa Tengah. Peristiwanya terjadi pada kurun sekitar 1939-1940. Ketika itu Parada Harahap beserta sejumlah jurnalis melakukan perjalanan reportase keliling Jawa.
Kepada menantu Nitisemito bernama Karmain, Parada Harahap mengungkapkan penyesalannya melihat tidak ada atau kurang sekali penghargaan dari perusahaan-perusahaan besar terutama di industri kretek terhadap pers bumiputra.
"Tuan memasang advertentie dalam koran Jepang, Tionghoa, tetapi bukankah bangsa tuanpun ada punya surat kabar di Surabaya, Semarang, Solo, Jogja, Bandung, dan Jakarta," kata wartawan berjuluk King of The Java Press itu kepada Karmain.
"Saya tidak melihat satu juapun tuan berikan advertentie (memasang iklan)," tegas Parada Harahap sambil menyebut fenomena tersebut sebagai menyedihkan.
"Apakah tuan tidak melihat surat-surat kabar bangsa tuan itu ada berlaku sebagai soldadu memperlindungi tuan-tuan dalam pertarungan ekonomi? Apakah sudah yang tuan-tuan perbuat terhadap mereka itu (pers bumiputra)? Tidak ada apa-apa tuan Karmain," imbuh Parada Harahap seperti dia tulis dalam bukunya Indonesia Sekarang, diterbitkan pada tahun 1940.
Parada Harahap menambahkan, seandainya saja uang perusahaan-perusahaan besar itu juga disediakan untuk pergerakan bangsa dan surat kabarnya, maka keadaan pers dan pergerakan bangsa saat itu tentu akan jauh lebih maju.
Keprihatinan Parada Harahap tersebut seperti tergambar ulang puluhan tahun kemudian para era sekarang. Industri media kini mengalami situasi yang diistilahkan Presiden Joko Widodo 'tidak sedang baik-baik saja'. Istilah ini diungkapkan pada peringatan Hari Pers Nasional 2023 di Sumatera Utara, kampung asal Parada Harahap.
Presiden menilai, isu utama dunia pers saat ini bukan lagi kebebasan pers melainkan pemberitaan yang bertanggung jawab.
Menurut presiden, saat ini masyarakat kebanjiran berita dari media sosial yang umumnya tidak memiliki redaksi. Data Digital News Report 2023 dari Reuters Institute menunjukkan 65 persen responden menjadikan media sosial sebagai sumber utama memperoleh berita. Enam platform utama untuk mengakses berita adalah Whatsapp, YouTube, Facebook, Instagram, Tiktok, dan X (dulu Twitter).
Dengan berpindahnya perhatian orang, bergeser pula belanja iklan dari media arus utama ke media sosial. Diperkirakan sebesar 70 persen belanja iklan dikendalikan platform asing selaku pengendali media sosial. Media arus utama berebut sisanya. Dengan semakin minim iklan selaku penyokong keberlanjutan media, tentu semakin memberatkan industri media arus utama. Kondisi ini hampir mirip seperti yang dikeluhkan Parada Harahap di kediaman Raja Kretek Nitisemito.
Situasi ketika media sosial menjadi sumber utama audiens memperoleh berita tentu amat memprihatinkan. Selama ini media sosial mengaburkan antara jurnalis warga dengan jurnalis profesional, antara konten kreator dan jurnalis profesional. Pada akhirnya mengaburkan antara konten dan produk jurnalistik.
Sejatinya, media sosial adalah tempat terburuk mendapatkan informasi akurat dan terpercaya. Mengapa demikian?
Algoritma media sosial cenderung mementingkan sisi komersial. Mekanisme algoritma media sosial mendorong konten berdasarkan preferensi pengguna. Sekali pengguna mendapatkan berita yang berisi misinformasi dan disinformasi, maka kemungkinan akan lebih sering baginya mendapatkan informasi salah tersebut. Dengan begitu, pengguna hanya mendapatkan gambaran sebuah fakta dari satu sisi saja, bukan secara utuh. Pada titik inilah, konten berkualitas serta jurnalisme otentik menjadi terpinggirkan.
Saat ini banyak kebohongan baik dalam kata maupun gambar, dimasukkan ke dalam percakapan publik di media sosial oleh agen-agen yang mencari keuntungan politik, finansial, atau sosial. Disinformasi menghambat akses masyarakat terhadap informasi akurat yang diperlukan untuk pengambilan keputusan. Disinformasi menabur perselisihan, dan melemahkan sistem politik kita yang pada akhirnya melemahkan demokrasi kita sebagai landasan hak kebebasan berekspresi.
Untuk melawannya dibutuhkan kerja masif dari media arus utama selaku penghasil produk jurnalistik yang dapat dipercaya. Produk jurnalistik adalah karya intelektual, sehingga proses penggalian informasi sampai menyiarkan dalam bentuk berita dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual pula.
Sebelum meningkatkan kualitas produk jurnalistik, wajib diperhatikan yaitu memperbanyak jumlah wartawan yang bekerja secara profesional dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
Uji kompentensi wartawan (UKW) menjadi tulang punggung untuk menghasilkan lebih banyak wartawan profesional.
Beruntung di balik kebutuhan untuk memperbanyak jumlah wartawan profesional ini terdapat peran positif Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satunya dengan memberikan dukungan secara langsung dalam pelaksanaan UKW.
Baru-baru ini, tiga BUMN bersama Forum Humas BUMN membantu sepenuhnya penyelenggaraan UKW Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat yang digelar di PWI Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Bentuk dukungan Ketiga BUMN, yaitu PT BRI (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan PT PNM tersebut, dibuktikan dengan hadir langsung dalam pembukaan UKW di PWI DIY, yang digelar di Forriz Hotel, Yogyakarta, Kamis (18/1).
UKW tahun ini mengambil tema, "PWI bersama BUMN, menciptakan Wartawan Profesional dan Berakhlak". Regional Operation Head BRI Kanwil Yogyakarta Muji Prasetyo Widodo mengatakan, peran media sangat dibutuhkan guna memberikan edukasi kepada masyarakat.
Manajer Supporting PNM Cabang Yogyakarta, Muhammad Shofa mengungkapkan Uji Kompetensi Wartawan ini penting, sehingga dapat menciptakan wartawan profesional.
"Wartawan itu memiliki standar untuk mengukur praktik kemampuan di lapangan, sehingga dengan UKW ini dapat menciptakan wartawan profesional khususnya di Yogyakarta," ujar Shofa.
Jika melihat sejarah panjang ke belakang bahwa wartawan yang tergabung dalam PWI adalah wartawan yang profesional dan benar-benar memahami kode etik jurnalistik, sehingga wartawan yang tergabung dengan PWI benar-benar wartawan yang berkompeten dan profesional serta dilindungi oleh undang-undang dan Dewan Pers.
Dengan aktif mendukung UKW, secara langsung BUMN berperan dalam menciptakan pers yang bertanggung jawab. Kompetensi profesional seorang wartawan dipandang sebagai faktor penting yang memungkinkan tercapainya mutu
dalam hasil kerja jurnalisme.
Jika dukungan ini diberikan secara rutin, secara tidak langsung, BUMN berperan pula dalam menciptakan generasi penerus yang memiliki kemampuan literasi tinggi.
Seperti diketahui, Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat literasi dasar yang rendah. Central Connecticut State University (CCSU) merilis peringkat literasi negara-negara dunia pada Maret 2016. Pemeringkatan perilaku literasi ini dibuat berdasar lima indikator kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer. Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei.
Survei Program for International Student Assessment (PISA) oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2018 yang menempatkan Indonesia pada posisi 10 negara terbawah dari sisi tingkat literasi dasar, termasuk kemampuan baca.
Ironisnya, netizen Indonesia merupakan penggguna internet paling tidak sopan se-Asia Tenggara berdasarkan laporan Digital Civility Index (DCI). Dalam riset yang dirilis oleh Microsoft ini, tingkat kesopanan netizen Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, di mana semakin tinggi angkanya tingkat kesopanan semakin buruk. Survei yang diselesaikan selama kurun waktu bulan April hingga Mei 2020. Ada tiga faktor yang memengaruhi risiko kesopanan netizen di Indonesia. Paling tinggi adalah hoaks dan penipuan yang naik 13 poin ke angka 47 persen. Kemudian faktor ujaran kebencian yang naik 5 poin, menjadi 27 persen. Dan ketiga adalah diskriminasi sebesar 13 persen, yang turun sebanyak 2 poin dibanding tahun lalu.
Peran media massa sangat besar dalam menciptakan generasi yang memiliki minat baca tinggi diikuti adab dan kepercayaan diri yang sama tingginya.
Salah satu penguji dalam UKW di Yogyakarta, wartawan senior Amir Machmud NS mengakui disrupsi membuat pekerjaan jurnalistik lebih utama mendahulukan kata kunci sesuai algoritma platform.
Padahal dalam menulis atau dalam menekuni dunia jurnalistik, ketika sudah merasa memenuhi sisi syariat dan etika, segeralah menuju ke estetika. Kalau syariat, etika, dan estetika terpenuhi, audiens akan datang sendiri tanpa peduli kata kunci. Pada poin inilah terjadi penghargaan alamiah terhadap kualitas.