Brilio.net - Dwi Hartanto menjadi perbincangan tak hanya di dunia akademik di Indonesia, tapi juga seluruh masyarakat dunia. Skandal kebohongannya sejak beberapa tahun silam terbongkar. Pria yang tengah menempuh pendidikan di Belanda ini mengklaim banyak memiliki prestasi yang ternyata bukan miliknya. Salah satu klaimnya adalah sebagai kandidat profesor di Technische Universitet (TU) Delft, Belanda. Selain itu, dia juga mengklaim mengembangkan pesawat jet tempur generasi ke-enam.

Bahkan Dwi Hartanto juga pernah diwawancari di acara televisi Mata Najwa pada bulan Oktober 2016. Dia mengklaim sebagai Post-doctoral atau sebagai Assistant Profesor di TU Delft. Selain itu dia juga mengaku memenangkan lomba riset teknologi antar lembaga antariksa dunia di Jerman tahun 2017 ini. Dwi menggunakan kemudahan teknologi manipulasi foto untuk mengedit template plat kemenangan lomba tersebut. Dia kemudian berfoto tengan cetakan plat tersebut dan memposting foto editan di sosial media.

Hingga akhirnya kebohongannya terungkap baru-baru ini. Koleganya sesama ilmuwan sendiri yang mengungkap skandal Dwi Hartanto ini. "Teman-teman DH yang mengetahui latar belakangnya sudah tahu lama. Hanya mereka tidak bisa speak up. Perlu courage," kata Deden Rukmana, anggota Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) dikutip dari Merdeka. Dwi Hartanto sendiri sudah mengklarifikasi kebohongannya di laman resmi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Delft.

dwi hartanto motif   2017 brilio.net
foto:Metro TV


Dwi Hartanto ternyata bukan satu-satunya orang yang melakukan kebohongan di dunia akademik. Banyak akademisi yang terseret kasus serupa. Menjiplak karya orang lain juga menjadi salah satu kebohongan terbesar di dunia akademik. Kasus yang mencuat di publik adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada yang menjiplak tulisan mahasiswanya untuk diterbitkan di media cetak. Tulisan Anggito Abimanyu ini sama dengan tulisan Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan. Anggito sendiri sudah mengundurkan diri dari UGM setelah kasus ini.

Penjiplakan dan berbohong mengenai karya atau prestasi adalah dosa besar bagi ilmuwan atau akademisi. Apa saja yang yang menjadi motif di balik kejahatan akademik ini?

1. Popularitas

Tahun 2014 bagi Haruko Obokata seorang peneliti dari Jepang merupakan tahun keemasan. Dia saat itu memimpin laboratoriumnya sendirii di bidang stem cell. Haruko juga menjabat sebagai pimpinan di Riken Center for Developmental Biology (CDB) di Kobe, Jepang. Dia menerbitkan dua jurnal di majalah sains ternama, Nature. Jurnal ini membuat Haruko populer.

dwi hartanto motif   2017 brilio.net
foto 3: Pinterest

Sayang, setelah diinvestigasi jurnal Haruko dinyatakan melanggar kode etik ilmuwan karena memanipulasi data. Pada 1 April 2014, Riken, lembaga tempatnya bekerja menyatakan Haruko telah memanipulasi data penelitiannya.

2. Godaan gelar akademik.

Sudah bukan rahasia umum kalau skripsi bisa ditebus dengan uang. Banyak mahasiswa yang memilih cara pintas agar cepat selesai skripsinya. Hal ini termasuk membayar orang lain untuk mengerjakan skripsi tersebut.

dwi hartanto motif   2017 brilio.net
foto: pinterest/ilustrasi skripsi

Pengguna jasa skripsi ini banyak yang harus merogoh kocek cukup dalam. "Sekarang sih baru bab 1 saja dulu, sampai beres nanti bab 2 bayar lagi," kata Wida (bukan nama sebenarnya) dikutip dari Merdeka.

3. Keuangan

Penelitian tentu membutuhkan dana yang besar. Oleh karena itu, banyak peneliti yang mencari sponsor dari perusahaan-perusahaan besar. Sayangnya, hal ini juga berlaku dua arah. Perusahaan bisa meminta peneliti untuk melakukan penelitian yang menguntungkan bisnisnya. Hal ini termasuk memanipulasi data agar sesuai dengan keinginan perusahaan sponsor.

dwi hartanto motif   2017 brilio.net
foto: archives.library.illinois.edu

Dilansir dari npr.org, Industri gula di Amerika Serikat tahun 1960an melihat bahwa gula bisa jadi alternatif diet bagi warga Amerika selain makanan penuh lemak. Tapi pada tahun itu, banyak penelitian yang melaporkan bahwa gula tetap berpengaruh terhadap penyakit seperti diabetes dan jantung.

Sugar Research Foundation (SRF) kemudian mempublikasikan jurnal di New England Journal of Medicine pada tahun 1967. Penelitian ini disponsori oleh Industri gula sebesar Rp 675 juta. SRF juga dituding tidak transparan dalam penelitiannya. Penelitian ini menggunakan data-data yang menguntungkan bagi industri gula tersebut.