Brilio.net - Gunung Anak Krakatau menjadi perhatian publik, usai tsunami menerjang Banten dan Lampung beberapa waktu lalu. Longsoran Gunung Anak Krakatau memicu gelombang tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember 2018 lalu, hingga kini dikatakan masih berpotensi terjadi. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sejak 27 Desember 2018 telah meningkatkan status aktivitas Gunung Anak Krakatau dari waspada menjadi siaga.
Kejadian ini membuka kembali lembaran kelam yang terjadi pada 1883 silam. Pada 20 Mei 1883, fase letusan Gunung Krakatau ditandai dengan abu dan semburan uap dari Gunung Perbuwatan di Pulau Perbuwatan yang disebut mencapai ketinggian 11 kilometer dengan suara dentuman terdengar hingga 200 kilometer. Lalu sebulan kemudian, pada Juni 1883 aktivitas vulkanik masih terpantau dengan jelas di Pulau Danan.
Tepat pada 27 Agustus 1883, letusan hebat nan mematikan terjadi. Suara dentumannya terdengar hingga ke negara tetangga, Singapura dan Australia. Letusan tersebut menyemburkan batu apung, dengan tinggi kolom letusan abu menembus 70-80 kilometer. Letusan itu juga menghasilkan tsunami dengan ketinggian rata-rata hingga 20 meter, menyapu pantai di selat Sunda dan barat laut Jawa. Dari kejadian hebat tersebut tercatat 36.417 korban jiwa.
Sejak musibah besar tersebut, lahirlah Gunung baru yang kini dikenal dengan Gunung Anak Krakatau. Awal mula terbentuknya yakni setelah melewati masa istirahat kedua pasca letusan hebat, mulai 1884 hingga Desember 1927. kemudian diketahui pada 29 Desember 1927 terjadi letusan bawah laut yang menyemburkan air laut bak air mancur yang terus terjadi hingga 15 Januari 1929. Selang beberapa hari yakni 20 Januari 1929, para ahli mengamati sebuah pulau kecil muncul, kemudian itu dikenal dengan nama Gunung Anak Krakatau.
Gunung Anak Krakatau sendiri tumbuh dengan sangat cepat. Jika diibaratkan sebagai anak, Gunung Anak Krakatau adalah anak bongsor yang hiperaktif. Pertumbuhan Gunung Anak Krakatau dari kedalaman 180 meter dan muncul dipermukaan pada tahun 1929. Sejak saat itu pertumbuhannya kian pesat dan cepat, hal ini dikarenakan seringnya terjadi letusan hampir setiap tahun.
Selama 75 tahun dari tahun 1930-2005, tinggi Gunung Anak Krakatau dari permukaan laut mencapai 315 meter atau bertambah tinggi rata-rata 4 meter per tahun. Tak hanya tumbuh tinggi, volume tubuhnya juga semakin meningkat. Pada 1981, volume tubuhnya mencapai 2,35 kilometer kubik. Tahun 1983 menjadi 2,87 kilometer kubik, tahun 1990 mencapai 3,25 kilometer kubik, dan tahun 2000 mencapai 5,52 kilometer kubik.
Dilansir brilio.net dari berbagai sumber, Sabtu (29/12) berikut evolusi Gunung Anak Krakatau usai erupsi pada 1883 hingga kini.
1. Tahun 1927-1981
Sekitar tahun 1927-1981, pertumbuhan gunung terbilang cukup cepat. Dalam rentan waktu 54 tahun, volumenya mencapai 2,35 kilometer kubik dari dasar laut.
2. Tahun 1983
Tak kalah mengejutkan pertumbuhannya semakin meningkat dengan cepat, pada tahun 1983, setelah diukur volumenya Gunung Anak Krakatau mencapai 2,87 kilometer kubik.
3. Tahun 1990
Pada tahun 1990 tersebut volume Gunung Anak Krakatau meningkat menjadi 3,25 kilometer kubik.
4. Tahun 2000
Pada tahun 2000 dilakukan pengukuran, dimensi Pulau Krakatau, yaitu mencapai 315 meter diatas permukaan laut dan volumenya mencapai 5,52 kilometer kubik.
Pertumbuhannya yang cepat membuat Gunung Anak Krakatau semakin tinggi dan besar. Beberapa sumber mengatakan, peningkatan yang begitu cepat tidak menutup kemungkinan letusan bisa terjadi sekurang-kurangnya seperti tahun 1883.
Recommended By Editor
- Kenapa senang selfie bahkan saat bencana? Ini penjelasan ilmiah
- 12 Foto lava pijar Gunung Anak Krakatau saat malam hari
- Prediksi jarak waktu tsunami menerjang jika Anak Krakatau erupsi
- 6 Fakta letusan Gunung Krakatau tahun 1883
- Sempat tertutup abu Anak Krakatau, Pulau Sebesi kini dikosongkan
- Status Anak Krakatau level 3, ini pengertian 4 level gunung api