Brilio.net - Fenomena 'topi awan' putih tebal yang melingkari puncak Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat terjadi pada Rabu (17/7). Seiring dengan munculnya awan tersebut, banyak yang mengaitkannya dengan kejadian gempa bumi yang akhir-akhir ini terjadi di Nusa Tenggara Barat.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Mataram, Agus Rianto mengatakan fenomena puncak Gunung Rinjani tertutup awan yang melingkar seperti 'bertopi tak ada kaitannya dengan pertanda gempa yang terjadi akhir-akhir ini di Nusa Tenggara Barat.
"Itu fenomena alam dari awan Lenticular," ujarnya di Mataram, Rabu (17/7).
Ia menegaskan, fenomena alam Lenticular tidak terkait atau tidak berkaitan dengan terjadinya gempa bumi. Adapun masyarakat yang mengaitkan fenomena alam Lenticular dengan akan terjadinya gempa adalah sebuah kesalahpahaman.
"Tidak ada kaitannya, itu hanya rumor, awan caping itu berbahaya bagi penerbangan, bukan tanda tanda terjadinya gempa," tegas Agus dilansir brilio.net dari Antara.
Diketahui, bentuk awan seperti topi/caping/piring raksasa dan awan yang melingkari gunung, disebut Awan Lenticular, adalah awan yang biasanya berbentuk piring raksasa, biasa dapat ditemukan di dekat bukit atau gunung-gunung. Pasalnya awan ini terbentuk dari hasil pergerakan angin yang menabrak dinding penghalang besar, seperti pegunungan dan perbukitan, sehingga menimbulkan sebuah pusaran.
Menariknya, awan Lenticular kelihatan begitu padat, namun hakikatnya tidak demikian. Awan ini terlihat padat karena aliran udara lembab terus menerus mengaliri sang awan dan akan keluar lewat permukaan paling bawah. Sehingga bentuk awan Lenticular akan bertahan hingga berjam-jam, bahkan berhari-hari.
Sementara itu, bagi dunia penerbangan awan Lenticular ini sangat mematikan karena sang awan bisa menyebabkan turbulensi bagi pesawat yang nekad memasuki awan atau hanya terbang di dekat awan Lenticular.
Rosyidin warga Sembalun saat dihubungi dari Mataram, mengatakan fenomena Gunung Rinjani "bertopi" ini mulai muncul sekitar pukul 07.00 Wita atau saat Matahari terbit dan berakhir pada pukul 09.30 Wita. "Munculnya itu pas Matahari terbit," ujarnya.
Rosyidin menjelaskan, fenomena puncak Gunung Rinjani "bertopi" sebetulnya sudah sering kali terjadi. Hanya saja, awan yang melingkar di atas puncak Rinjani itu tidak sebundar dan sebesar seperti yang terjadi pada saat ini.
"Masyarakat sudah biasa melihat ada lingkaran awan di atas puncak Rinjani. Tapi memang yang sekarang tidak sebundar dan sebesar yang sekarang," terang Rosyidin.
Ia mengatakan, meski bukan kejadian pertama kali, banyak warga yang kemudian mengaitkan fenomena awan bertopi di atas puncak Rinjani dengan kejadian gempa yang terjadi akhir-akhir ini di daerah itu, termasuk mengaitkan dengan fenomena Gerhana Bulan yang terlihat pada Rabu dini hari sekitar pukul 04.00 Wita di wilayah itu.
Namun bagi warga sekitar Sembalun, kata Rosidin, fenomena puncak Rinjani bertopi pertanda ada orang yang meninggal. Dalam artian, orang yang meninggal bukan orang sembarangan atau masyarakat kecil melainkan pejabat atau tokoh-tokoh penting.
"Ada yang bilang ini karena gempa, Gerhana Bulan semalam. Tapi buat warga Sembalun ini pertanda orang meninggal. Tapi kalau di kaitkan gempa kami tidak percaya, karena ini kejadian lumrah setiap musim kemarau pasti awan seperti ini terjadi, cuman ini mungkin karena lingkarannya lebih besar," ungkapnya.
Terlepas dari itu semua, menurut Rosidin, karena tumben melihat awan melingkar sebesar itu di puncak Rinjani, warga sekitar atau orang yang melintas di jalan kemudian ramai-ramai mengabadikan momen tersebut. "Jadi banyak yang mengambil foto, berselfie, termasuk merekam untuk dibuat video," katanya.
Recommended By Editor
- Ini 3 lokasi & waktu terbaik melihat gerhana bulan Rabu 17 Juli
- Sekilas mirip, ini perbedaan embun es Dieng dan salju di Eropa
- Ini penyebab suhu Dieng membeku capai minus 9 derajat Celcius
- Selain Dieng, Gunung Bromo dan Semeru juga diselimuti embun es
- 7 Potret Dieng bersuhu -9 derajat celcius, dinginnya bak di Eropa