Brilio.net - Nama Gus Miftah alias Miftah Maulana sampai saat ini masih ramai dibicarakan. Bukan karena ceramahnya yang kerap menyejukkan, melainkan akibat sebuah candaan yang dianggap keterlaluan. 

Dalam video yang beredar, Miftah bercanda dengan penjual es teh menggunakan kata-kata yang dianggap kasar oleh warganet. Candaan tersebut menuai reaksi keras, mulai dari kritik hingga serangan verbal di berbagai platform. Banyak yang merasa candaan Gus Miftah tidak pantas, apalagi sebagai tokoh agama yang dikenal luas.

Beberapa bahkan menganggap sikapnya mempermalukan pedagang kecil. Usai viral di media sosial, Miftah angkat bicara. Dalam klarifikasinya, ia mengaku tidak berniat merendahkan atau menghina. Miftah mengaku hanya bercanda kepada si penjual es teh tersebut.

Sebuah candaan yang dianggap biasa, ternyata malah menjadi bencana besar bagi pihak lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Nancy Bell, seorang ahli linguistik dari Washington State University, mengungkapkan bahwa lelucon yang gagal—terutama yang tidak tepat situasi dan audiensnya—bisa berujung pada reaksi keras, bahkan permusuhan.

Dalam studinya, Nancy Bell menemukan bahwa lelucon yang buruk sering kali mengundang respons negatif dari pendengar. Menurut Bell, ini terjadi karena lelucon yang gagal dianggap mengganggu suasana dan melanggar “kontrak sosial” dalam percakapan.

Bell menjelaskan bahwa candaan yang tidak lucu juga dianggap meremehkan kecerdasan atau selera humor pendengar.

“Dipilih sebagai audiens untuk lelucon bodoh menyiratkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan selera humor pendengar,” ungkap Bell.

Kasus candaan Gus Miftah jika dikaitkan penelitian Bell, sebenarnya punya benang merah yang jelas. Lelucon Gus Miftah mungkin dimaksudkan untuk akrab, tetapi audiens malah melihatnya sebagai tindakan yang tidak pantas. Gus Miftah mungkin merasa aman melontarkan candaan tersebut karena merasa dekat dengan si penjual es teh. Namun, bagi masyarakat yang menonton tanpa konteks hubungan mereka, candaan tersebut justru dianggap sebagai penghinaan.

Menurut Bell, reaksi keras terhadap humor yang gagal lebih sering datang dari orang-orang yang merasa akrab dengan si pelawak. Dalam konteks ini, masyarakat merasa mereka memiliki ekspektasi tinggi terhadap Gus Miftah sebagai figur publik dan tokoh agama. Ketika ekspektasi itu tidak terpenuhi, respons yang muncul lebih emosional dan penuh kritik.