Brilio.net - "Lebih baik jualan es teh, daripada jualan agama," begitu bunyi template story Instagram yang berseliweran di media sosial saat ini.

Media sosial lagi ramai banget ngomongin soal Gus Miftah. Pendakwah dengan nama Miftah Maulana Habiburrahman ini lagi jadi sorotan gara-gara ngomong kasar ke penjual es teh. Banyak yang kecewa, apalagi saat ini Miftah Maulana menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Tentu saja banyak pihak yang geram dengan aksinya.

Di tengah hebohnya berita ini, ada baiknya kita kembali mengingat sosok Gus Dur atau Abdurrahman Wahid. Presiden ke-4 Republik Indonesia ini dikenal punya gaya dakwah yang santai, tapi dengan cara yang nggak pernah bikin orang lain sakit hati.

Gus Dur sering banget melontarkan candaan yang bukan cuma lucu, tapi juga mengandung kritik. Nggak cuma bikin ketawa, lelucon Gus Dur juga sering jadi bahan introspeksi. Yang keren, candaannya hampir nggak pernah bikin orang tersinggung, meskipun kadang isinya menusuk.

Gus Miftah perlu belajar dari Gus Dur © 2024 brilio.net

foto: Instagram/@muhbaidhowireal

Misalnya, ada cerita soal Presiden Gonzales dari sebuah "republik pisang" di Amerika Latin.

Dikutip Brilio.net dalam buku berjudul Mati Ketawa Cara Rusia karya Z Dolgopolova, Gus Dur menuliskan kata pengantarnya. Kata-kata ini relevan banget untuk menanggapi sikap Gus Miftah ke penjual es teh.

"Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain," tulis Gus Dur.

"Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian, humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat," lanjutnya.

Buku dengan judul asli Russia Dies Laughing ini, Gus Dur juga menuliskan beberapa cerita.

Suatu hari, Gonzales jatuh dari kuda dan hanyut di sungai deras. Untungnya, ada seorang pengail ikan sederhana yang berhasil menyelamatkannya. Ketika Gonzales mau kasih hadiah, si pengail cuma bilang, "Tolong, jangan ceritakan kepada siapa pun bahwa saya yang menolong Paduka."

Plot twist banget, kan? Tapi di balik lelucon itu, ada kritik halus buat para penguasa yang sering kali lebih peduli sama citra diri ketimbang berterima kasih. Gus Dur tahu cara menyampaikan sindiran pedas tanpa harus bikin orang malu. Candaan seperti ini yang bikin orang-orang selalu ingat dan respek sama beliau.

Dari kasus Gus Miftah bisa saja orang menyimpulkan, orang memang nggak ada yang sempurna. Tapi seorang tokoh publik—apalagi pemuka agama—perlu banget jaga tutur kata. Kalau Gus Dur dulu pakai humor untuk menyatukan, Gus Miftah malah tersandung gara-gara ucapan yang dianggap nggak sopan.

Humor Gus Dur juga nggak pernah berhenti di satu cerita. Masih di buku yang sama, Gus Dur bercerita tentang tentang Vladimir Lenin, pemimpin Rusia. Ceritanya, Lenin yang udah meninggal dihidupkan lagi oleh dokter. Dia baca semua koran tentang perkembangan Rusia sejak kematiannya, trus meninggalkan pesan: "Revolusi telah gagal. Saya akan kembali ke Jenewa untuk mempersiapkan revolusi lagi."

Kisah ini nggak cuma lucu, tapi juga kritis. Gus Dur mengajak kita mikir soal kegagalan revolusi besar dengan cara yang ringan dan menghibur. Lagi-lagi, nggak ada pihak yang tersinggung, tapi pesannya sampai. Ini beda banget sama tren humor di era sekarang, yang sering kali bikin orang ketawa dengan mengorbankan orang lain.

Yang bikin Gus Dur beda adalah caranya selalu menyampaikan humor dengan penuh empati. Gus Dur tahu bahwa humor bisa jadi alat untuk mempererat hubungan manusia. Gus Dur sering banget menertawakan dirinya sendiri, menunjukkan bahwa nggak ada manusia yang sempurna. Dengan begitu, Gus Dur berhasil mencairkan suasana dan mendekatkan dirinya ke semua kalangan.

Kalau Gus Miftah belajar dari sini, mungkin caranya mengelola kata-kata bisa jadi lebih bijak. Contohnya, dalam kasus penjual es teh yang viral itu. Gus Miftah sebenarnya bisa memilih pendekatan yang lebih santai tapi tetap kuat. Kritik yang disampaikan dengan humor cerdas justru bakal lebih diterima tanpa bikin orang sakit hati.

Buat Gen Z yang mungkin nggak begitu akrab sama humor Gus Dur, ini relevan banget sama zaman sekarang. Di era media sosial, semua orang berlomba untuk jadi lucu, penting banget buat sadar bahwa humor itu punya batas. Gus Dur menunjukkan kalau humor yang baik adalah humor yang membangun, bukan menjatuhkan.

Sebagai generasi muda, kita juga perlu belajar untuk nggak gampang baper, tapi di sisi lain, kita harus tahu batasan saat bercanda. Humor ala Gus Dur ini nggak cuma relevan buat tokoh publik kayak Gus Miftah, tapi juga buat kita semua. Kalau mau nyindir teman, jangan sampai keterlaluan. Kalau mau kritik, sampaikan dengan cara yang nggak bikin lawan bicara merasa direndahkan.

Di akhir kata pengantarnya, Gus Dur mengajarkan bahwa humor itu seni. Butuh kecerdasan, empati, dan kepekaan sosial untuk bikin candaan yang nggak cuma bikin ketawa, tapi juga menyentuh hati. Kalau Gus Miftah bisa menerapkan pelajaran ini, mungkin insiden "es teh” bisa jadi momen refleksi buat beliau untuk lebih bijak lagi di masa depan.

Hikmah dari humor Gus Dur yang sederhana tapi mendalam. Seperti kisah dua orang Irlandia yang diskusi soal batu nisan mereka. Mulligan bilang, dia mau kuburannya disiram wiski sebagai simbol kecintaannya pada minuman itu. Temannya menjawab, "Aku bersedia, tapi kau nggak keberatan kan kalau wiski itu kulewatkan ginjalku dulu?"

Humor yang simpel, ringan, tapi tetap bikin mikir. Itulah seni humor yang sebenarnya. Semoga kita semua, termasuk Gus Miftah, bisa terus belajar dari Gus Dur, sang maestro humor yang selalu cerdas, santun, dan membangun.