Brilio.net - Sidang putusan kasus penodaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) digelar Selasa (9/5) ini di Auditorium Kementerian Pertanian. Sidang ini ditunggu-tunggu hasilnya baik oleh pelapor maupun terdakwa.
Syamsu Hilal salah satu pelopor Ahok berharap sidang dalam berjalan adil dan sesuai fakta. Hilal mengharapkan jangan ada intervensi terkait pembacaan putusan.
"Karena seandainya pada hari ini terdakwa sebagai penista agama diputuskan bebas atau diputuskan lebih rendah dari tuntutan Jaksa, maka ini adalah awal 'kematian' hukum di Indonesia," kata Syamsu yang juga Ketua Forum Anti Penistaan Agama (FUPA) itu kepada awak media.
Oleh karena itu, ia mengharapkan Majelis Hakim agar menggunakan kejujuran, independensi, dan hati nurani untuk menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya.
Dalam sidang sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menuntut Ahok dengan menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.
"Maka disimpulkan perbuatan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sudah secara sah, terbukti, dan meyakinkan telah memenuhi rumusan-rumusan unsur pidana dengan pasal alternatif kedua pasal 156 KUHP," kata Ali Mukartono, Ketua Tim JPU saat membacakan tuntutan tersebut pada Kamis (20/4).
Sebelumnya, Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Pasal 156a KUHP menyebutkan pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Sementara menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.