Brilio.net - Istilah 'pribumi' yang dilontarkan Anies Baswedan pada pidato perdana sebagai Gubernur DKI Jakarta memantik perbincangan panjang. Istilah ini dinilai mengandung unsur membeda-bedakan masyarakat berdasarkan ras sehingga tak tepat dilontarkan di depan publik oleh seorang pejabat publik.
Atas pernyataan Anies tersebut, beberapa tokoh publik urun komentar. Berikut beberapa di antaranya.
1. Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon (@fadlizon)
"Kamus Besar Bahasa Indonesia: 'pri·bu·mi' :penghuni asli; yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Blm dihapus dr kosakata bhs Indonesia.
Pada baper dengan kata "pribumi," dari dulu kata ini biasa aja dipakai founding fathers, Bung Karno, Bung Hatta dan lainnya. Juga kata 'bumiputera'.
Yang tak boleh itu rasialis dalam kebijakan. Walaupun kadang perlu affirmative action bagi mereka yang tertinggal di daerah/etnik tertentu agar lebih maju,"
2. Budayawan Goenawan Mohamad (@gm_gm)
"Reformasi menang, ribuan pemuda bergerak, konstitusi diperbaiki. Kata 'pribumi' yang diskriminatif itu dihapus. Kini kita gariskan lagi?
Jika keadilan sosial dilihat sebagai perbedaan etnis, kita akan mengabaikan ketidak-adilan lain. Manusia tak bisa diterjemahkan hanya dengan ras.
Kata 'pribumi' atau 'inlander' adalah cap yang dipakai pemerintah kolonial. Utk memecah-belah dan menguasai penduduk Indonesia.
Sebelum kekuasaan kolonial, penduduk atau rakyat tak kenal pembagian golongan spt yg diberlakukan rezim Hindia Belanda.
Revolusi 1945 sesungguhnya menghancurkan klasifikasi kolonial. Kata-kata pertama Proklamasi: 'Kami, bangsa Indonesia..."
3. Sejarawan Bonnie Triyana (@BonnieTriyana)
"Penggunaan kata pribumi dalam konteks kolonial itu udah rasis. Konsep rasialistis itu diatur dalam Regeeringsreglements 1854. Stelah 17 Agustus 1945 konsep itu diganti jadi kewarganegaraan.
Maksudnya baik. Tapi istilah "pribumi" itu bermasalah secara historis dan sosiologis. Seandainya gunakan kata "rakyat" saja udah bener.
Istilah pribumi itu rasistis. Terjemahan langsung dari inlander. Masy kolonial dibagi 3: Europeesch, Vreemde Oosterlingen (Cina, Arab, India, Jepang) dan Inlander. Setelah 1928 or payu lagi tuh. Apalagi setelah 17 Agustus 1945.
Bumiputera sdh ada unsur politisnya. Pengikat identitas kaum terjajah melawan penjajah. Tapi kolonialisme itu mmg rumit. Gak semata soal hitam-putih,"
4. Politisi Tsamara Amany Alatas
foto: facebook/Tsamara Amany (@TsamaraAmany)
"Jika pribumi yang dimaksud adalah non warga keturunan, apakah saya ini sebagai keturunan Arab yang bukan pribumi tak boleh menjadi tuan rumah di negeri tempat saya lahir? Apakah saya hanya boleh menjadi pendatang, hanya boleh menjadi orang yang numpang, padahal saya hanya cinta Indonesia dan hanya Indonesia yang saya percaya sebagai rumah saya? Pertanyaan yang sama bisa diungkapkan oleh warga keturunan lainnya,"
5. Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi (@BurhanMuhtadi)
"Istilah "pribumi" ini mirip dengan "taingyintha", ras nasional yg diakui di Myanmar. Ini akar genocida terhadap Rohingya, nonpri-nya Myanmar,"
6. Fadjroel Rachman (@fadjroeL)
"WNI ya WNI tak peduli arab, china, india, eropa, dll. TAK ADA LAGI ISTILAH PRI vs NONPRI.
betapa berbahayanya menyulut kebencian SARA ini, sebuah retorika maut, retorika kematian.
yang tidak ikut #Reformasi1998 memang tak pernah tahu berdarah-darahnya menghentikan istilah rasis: pri vs nonpri.
Mari MEMBACA UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Supaya tak ada Kebencian SARA!"
Recommended By Editor
- Anies-Sandi beberkan apa yang diobrolkan dengan Presiden Jokowi
- Sempat diulang, ini sumpah jabatan Anies Baswedan-Sandiaga Uno
- Tak hadiri pelantikan Anies-Sandi, Djarot liburan ke Labuan Bajo
- Kenapa media asing ragukan Jokowi menang mutlak di Pilpres 2019?
- Tak hanya andalkan paras, ini 7 kepala daerah cantik berprestasi