Brilio.net - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) banyak dipuji karena keberhasilannya menangkap para koruptor yang merampok uang rakyat Indonesia. Tapi KPK juga banyak menuai cercaan hingga keberadaannya ingin dihapuskan.

Sepak terjang KPK melawan korupsi menemui jalan berliku. Komisi ini kini banyak dibincangkan orang lantaran ada gerakan politik yang menginginkan pembubaran KPK. Gerakan ini berawal dari Hak Angket yang dibikin oleh DPR.

Tapi bukankah KPK sudah sering "dipaksa" untuk hilang dari dunia hukum Indonesia lewat berbagai cara? Meski sampai hari ini, KPK tetap eksis dan tetap melakukan tugasnya mengungkap kasus korupsi.

Pada saat masa Presiden Abdurrahman Wahid atau biasa dikenal Gus Dur, cikal bakal KPK sudah mulai terbentuk. Gus Dur membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tapi sayang, Mahkamah Agung membubarkan tim ini melalui upaya hukum judicial review.

KPK kemudian didirikan pada masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri. Pendirian lembaga anti rasuah ini didasari karena Megawati melihat kepolisian dan kejaksaan saat itu tidak bisa menanggani korupsi di badannya sendiri. KPK berdiri dengan dasar UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

kpk cicak buaya  2017 brilio.net
foto: antikorupsi.org


Kepemimpinan KPK diawali oleh Taufiequrachman Ruki, alumni Akademi Kepolisian tahun 1971. Di bawah kepemimpinannya, KPK berusaha untuk mencanangkan program 'good and clean governance' untuk memulai pembersihan korupsi dari pemerintah Indonesia. Saat itu, Taufiequrachman sering dikritik berbagai pihak karena dugaan tebang pilih dalam memberantas korupsi.

KPK kemudian mengungkap banyak kasus besar, terutama masa KPK periode 2011-2015 di bawah kendali Abraham Samad. KPK saat itu menangani kasus seperti korupsi Hambalang, gratifikasi impor daging sapi, simulator di Korlantas, dan lain-lain. Sayangnya, Abraham harus mundur dari jabatannya karena ditetapkan sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen.

Perseteruan KPK dengan institusi Polri menjadi awal dikenalnya cicak vs buaya. Cicak merujuk pada KPK, sedang buaya merujuk pada Polri. Perseturuan itu berawal dari kasus penetapan tersangka Kombes Pol Budi Gunawan yang saat itu hendak dicalonkan sebagai Kapolri.

Langkah KPK itu mendapat "serangan balik" dengan langkah kepolisian menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto saat sedang mengantar anaknya ke sekolah, di wilayah Depok, Jawa Barat.

Pada tahun 2015, Indonesia Corruption Watch (ICW) sudah mengingatkan akan bahaya pelemahan KPK. Melalui Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho, ICW meminta Presiden Jokowi untuk secara proaktif mengambil langkah tegas guna mencegah upaya-upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Sebab kalau Presiden tidak mengambil instruksi atau sejenisnya, itu berarti membiarkan KPK dilemahkan, padahal dia seharusnya menjadi pelindung KPK," katanya sebagaimana dikutip dari Antara.

v  2017 brilio.net
foto: merdeka.com


Istilah cicak vs buaya untuk menggambarkan KPK berada di posisi yang terancam, kini juga terulang dengan adanya gerakan melemahkan KPK yang dilakukan DPR. Ancaman pembubaran KPK datang dari gedung wakil rakyat dari PDIP, sehingga muncul istilah cicak vs bbanteng. Anggota pansus dari Fraksi PDIP, Henry Yosodiningrat mengusulkan KPK agar dibekukan sementara dan tugasnya diserahkan ke kepolisian atau Kejaksaan Agung.

"Kalau perlu, misalnya sementara setop KPK dulu. Ini tidak mustahil seperti itu. Kan kembalikan dulu, kepolisian, dan kejaksaan. Karena mereka melaksanakan sebagian dari kewenangan yang dimiliki oleh polisi selaku penyidik, dan penuntutan dari kejaksaan," kata Henry kepada Merdeka, jumat (8/9). Komentar Henry ini memang kemudian dianggap bukan mewakili suara partai.

Menurut Henry, usulan ini bermula dari temuan pansus angket KPK soal sejumlah pelanggaran kinerja. Contohnya, KPK tidak melaporkan barang sitaan ke Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan Negara (Rupbasan) dan pengadilan. Ada juga laporan tentang tekanan terhadap saksi kasus korupsi seperti Niko Panji Tirtayasa yang merupakan saksi kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.

Sebelumnya, ada pula wacana untuk mengurangi kewenangan KPK. Agun Gunandjar Sudarsa, ketua pansus Angket KPK bahkan memunculkan peluang rekomendasi penghilangan penindakan KPK. Kewenangan tersebut akan digantikan oleh kepolisian dan Kejaksaan Agung. Bila benar terjadi, KPK tidak akan memiliki hak untuk menyelidik, menyidik, dan menuntuk kasus-kasus korupsi.

Lalu bagaimana KPK ke depan? Presiden Joko Widodo beberapa kali menegaskan tidak akan mencampuri urusan KPK dan hak angket DPR. "Pansus KPK wilayahnya DPR, wilayah legislatif. Itu haknya DPR. Pansus haknya DPR. Angket haknya DPR," kata Presiden sebagaimana dikutip dari Antara.

Bahkan pada Minggu (10/9) lalu, Presiden Jokowi kembali menegaskan bahwa ia tak akan melemahkan KPK. "Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak akan membiarkan KPK diperlemah. Oleh sebab itu kita harus sama-sama menjaga KPK," katanya.