Brilio.net - Di tengah hiruk-pikuk kesibukan harian, antrean di Puskesmas menjadi pemandangan yang sering ditemukan. Bahkan, di beberapa daerah, masyarakat harus rela mengambil nomor antre mulai dari jam 06.00 pagi. Padahal, jam buka pendaftaran baru jam 08.00 dimulai. Realita ini tentu saja tidak bisa dianggap remeh, karena di balik setiap antrean, ada cerita tentang ketidakseimbangan dalam fasilitas kesehatan yang semakin memprihatinkan.

Terlebih lagi, Indonesia tercatat memiliki jumlah dokter terendah ketiga di Asia Tenggara, sebuah fakta yang seakan menciptakan jurang antara kebutuhan medis dan ketersediaan tenaga medis yang semakin lebar.

Jumlah dokter Indonesia terendah ke-3 se-Asia Tenggara  2024 brilio.net

foto: istimewa

Jika melihat angka statistik, Indonesia berada di posisi ketiga terendah dalam hal rasio dokter terhadap jumlah penduduk di kawasan Asia Tenggara. Di negeri jiran seperti Singapura dan Malaysia, rasio dokter per 1.000 penduduk jauh lebih baik. Singapura, dengan sumber daya yang lebih terbatas, memiliki lebih banyak dokter dibandingkan Indonesia.

Ironisnya, meskipun Indonesia memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih besar, akses terhadap tenaga medis tetap menjadi masalah besar yang belum menemukan solusi tepat. Rasio dokter di Indonesia hanya sekitar 0,6 per 1.000 pendudukangka yang bahkan tidak mencakup kebutuhan dasar layanan medis di banyak daerah. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan rasio dokter minimal 1 per 1.000 penduduk untuk memastikan sistem kesehatan yang lebih merata.

Dikutip Brilio.net dari Antara, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI Dante Saksono Harbuwono benerapa waktu lalu menyebutkan Indonesia masih kekurangan 120 ribu dokter umum sesuai rasio ideal yang diharapkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Menurut Dante, saat ini jumlah dokter umum yang ada di Indonesia sekitar 150 ribu orang, masih kekurangan 120 ribu orang lagi.

Rasio yang diharapkan dicapai oleh WHO adalah satu dokter untuk 1.000 penduduk. Sementara, saat ini pendidikan dokter umum yang diproduksi oleh Fakultas Kedokteran di Indonesia, satu tahun rata-rata hanya menghasilkan 12.000 orang. Artinya, kebutuhan 120 ribu dokter baru bisa tercapai dalam waktu 10 tahun yang akan datang.

Dari pernyataan ini jelas, untuk mencapai Indonesia Emas 2045, maka kebutuhan dokter tersebut perlu segera dipenuhi guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

Pernyataan serupa ditegaskan kembali oleh dr. Joko Murdiyanto, Dekan Fakultas Kedokteran UNISA Yogyakarta, mengungkapkan masalah kekurangan dokter di Indonesia tidak semata-mata soal jumlah, melainkan lebih pada distribusi yang tidak merata. Meskipun dari segi perhitungan Kementerian Kesehatan, jumlah dokter dianggap kurang, persoalan utama sebenarnya terletak pada penyebarannya.

"Iya, jadi kurang itu relatif. Tapi itung-itungan Kemenkes itu dianggap kurang. Tapi lebih kepada sebetulnya penyebaran," ujarnya kepada Brilio.net.

Jumlah dokter Indonesia terendah ke-3 se-Asia Tenggara  2024 brilio.net

foto: istimewa

Dibukanya lebih banyak Fakultas Kedokteran diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi lulusan baru untuk menyebar lebih luas ke berbagai wilayah di Indonesia. Namun, pemerataan ini bukanlah perkara mudah, melainkan isu yang kompleks, melibatkan faktor-faktor seperti insentif, fasilitas, dan daya tarik daerah terpencil bagi para dokter.

"Nanti Kalau lebih dibukanya beberapa Fakultas Kedokteran (FK) kesempatan untuk alumni FK itu akan lebih bisa merata ke seluruh Indonesia. Kenapa? Karena pemerataan dokter di Indonesia itu perkara yang sangat kompleks," timpalnya pada Brilio.net.

Kekurangan jumlah dokter ini menyebabkan banyak Puskesmas dan rumah sakit di seluruh Indonesia kewalahan, terutama di daerah-daerah dengan populasi padat. Antrean panjang, waktu tunggu yang tak pasti, dan jadwal dokter yang terbatas sering kali menjadi "penantian tak berkesudahan" bagi pasien yang membutuhkan layanan kesehatan. Bagi mereka yang datang ke Puskesmas dengan harapan sederhanauntuk mendapatkan diagnosis atau perawatan dasarantrean panjang bukan lagi sekadar masalah administratif, tetapi cerminan dari ketimpangan yang mendalam dalam sistem kesehatan.

Penyebab kekurangan dokter di Indonesia tidak bisa dipandang sebagai masalah satu sisi. Terdapat beberapa faktor yang saling terkait yang menyebabkan terjadinya ketimpangan ini. Pertama, distribusi dokter yang sangat tidak merata. Banyak dokter cenderung memilih untuk bekerja di kota-kota besar yang lebih nyaman dan memiliki fasilitas lengkap. Sementara itu, daerah-daerah terpencil dan pedesaan seringkali kekurangan tenaga medis. Hal ini menciptakan kesenjangan antara pusat dan daerah yang semakin sulit diatasi.

Lantas, sampai kapan antrean di Puskesmas ini akan terus menjadi rutinitas yang tak terhindarkan, sementaradokternya masih kekurangan?