Brilio.net - Radikalisme menjadi ancaman serius bagi negara Indonesia. Faham radikalisme tak hanya dimiliki oleh orang-orang yang tak mengenyam pendidikan tinggi, tapi mereka yang berada di dalam kampus pun tak menutup kemungkinan terjangkit radikalisme.
Sampai-sampai banyak perguruan tinggi yang kemudian mendeklarasikan diri menolak radikalisme, dan mengakui bahwa radikalisme menjadi ancaman serius. Hal itu dibuktikan dengan deklarasi rektor-rektor kampus se-Indonesia yang digelar di Bali Selasa (26/9) lalu.
Saat deklarasi, Presiden Joko Widodo memberikan peringatan keras bagi rektor perguruan tinggi untuk menjaga kampusnya dari ideologi radikalisme. Dilansir dari Merdeka, Kamis, (28/9) sebanyak 3.000 rektor dari seluruh Indonesia menghadiri acara deklrasi aksi kebangsaan melawan radikalisme.
Presiden Jokowi berpesan agar para rektor menjaga kampus agar tidak jadi lahan penyebaran ideologi anti Pancasila. Jokowi melihat bahwa kampus mudah disusupi oleh faham radikal. "Kita harus hentikan ideologi radikalisme, terorisme di seluruh perguruan tinggi yang ada di seluruh tanah air kita," tuturnya sebagaimana dikutip dari laman Merdeka.
Peneliti LIPI Endang Turmudi mengungkapkan faham radikalisme sudah menyebar. Salah satunya adalah Ikhwanul Muslimin memiliki pandangan keyakinan dan sikap fundamentalisme puritan kaku. Kelompok ini meyakini bahwa dirinya paling benar dan menganggap kelompok lain salah. Tujuannya adalah membangun negara Islam, bahkan untuk mewujudkannya dibolehkan menggunakan cara-cara kekerasan.
"Mereka yang tidak mendirikan negara Islam dianggap kafir, halal untuk diperangi karena thogut, " kata Endang. "Sebagian besar orang membaca bukunya Gus Dur atau Nur Cholis itu diharamkan, akibat monolitik inilah yang menurut saya punya potensial radikalisasi ideologi. Ini ciri khas dari monolitik yang berbahaya sekali, " katanya sebagaimana dikutip dari laman LIPI.
Sementtara itu, dilansir dari Antaranews, banyak kelompok radikal yang mengincar generasi muda terutama mahasiswa. Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anas Saidi berpendapat bahwa ideologi radikalisme telah merambah dunia mahasiswa melalui proses islamisasi. Menurut dia, mahasiswa yang belajar ilmu eksakta lebih berisiko terdoktrin oleh faham radikal daripada mereka yang belajar ilmu sosial, politik, humanitas, dan filsafat. Dia mengatakan bahwa mahasiswa menjadi target empuk karena mereka secara psikologis sering belajar sesuatu yang baru dan menarik.
Keberadaan mahasiswa yang menganut faham radikal memang bukan hal baru. Sudah sejak lama, mahasiswa menjadi bagian penyebaran faham radikal. Saifuddin, peneliti dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menulis dalam sebuah jurnal tentang radikalisme di kalangan mahasiswa. Jurnal yang dimuat di Analisis, Volume XI, Nomor 1 tahun 2011 membahas tentang banyaknya mahasiswa dari jurusan eksakta yang mengikuti paham radikal. Saifuddin mengambil contoh dari mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah, yakni Pepi Fernando yang terlibat aksi terorisme.
"Berdasarkan laporan penelitian yang dilakukan oleh Litbang Departemen Agama tahun 1996 pada empat perguruan tinggi sekuler yakni UI, UGM, Unair dan Unhas terjadi peningkatan aktivitas keagamaan di sejumlah kampus-kampus tersebut, bahkan
disebutkan bahwa kampus-kampus tersebut menjadi tempat yang paling potensial berkembangnya aktivitas keislaman (religius) yang cenderung eksklusif dan radikal," kata Saifuddin dalam jurnal tersebut.
Lain dengan Saifuddin, seorang peneliti dari International Institute for Asian Studies mengatakan bahwa tidak semua organisasi agama di kampus berpotensi menimbulkan radikalisme. Ken Miichi, peneliti dari Japan Society for Promotion of Science meneliti tentang pergerakan Islam kontemporer di kampus. Dalam sebuah laporannya, Ken membahas tentang pergerakan agama di kampus terkenal di Indonesia.
Dia melihat bahwa pada awal 1970an, ada pergerakan yang dinamai 'dakwah kampus' di masjid Salman, Institut Teknologi Bandung. Gerakan ini awalnya biasa-biasa saja dan mulai masuk ke ranah politik saat mengikuti pemilu pada tahun 1978. Gerakan dari 'dakwah kampus' ini mirip dengan program pelatihan dari Ikhwan Muslimin. Mereka menerjemahkan banyak buku berbahasa Arab untuk publik Indonesia.
Selain itu, mereka juga mempromosikan demokrasi, masyarakat sipil, HAM, dan kesetaraan gender. "Pada dakwah kampus, pria dan wanita dipisah tapi diperlakukan sama. Perempuan saat masuk harus meemakai jalur yang berbeda dari pria. Tapi secara umum, wanita didukung untuk berpartisipasi di aktivitas politik," tulisnya dalam risetnya.
Tapi bagaimanapun faham radikalisme memang menjadi ancaman serius bangsa ini. Sehingga pergerakannya perlu diwaspadai oleh semua pihak. Radikalisme akan membaca dampak buruk bagi demokrasi dan kedamaian negara ini.