Brilio.net - Kasus perundungan di lembaga pendidikan berbasis agama, termasuk pesantren, semakin mendapat sorotan. Tahun ini saja, tercatat sejumlah kasus kekerasan dan perundungan seperti santri dipaksa menikah, santri di siram air cabai hingga kasus kekerasan yang menyebabkan kematian seorang santri di Kediri. Melihat fenomena yang semakin hari semakin ter-blow up oleh media, tentu memunculkan tanda tanya besar terkait sistem pengawasan di lingkup pendidikan berbasis agama ini.
Data tahun 2023 dari Komnas Perlindungan Anak melaporkan bahwa dari total pengaduan kasus kekerasan terhadap anak, sekitar 10% terjadi di lingkungan pendidikan, termasuk pesantren. Kasus seperti ini sudah seharusnya menjadi alarm bagi pihak pondok dan sejumlah pemangku kepentingan. Karena kasusnya kian banyak, harus ada langkah preventif yang diambil demi memastikan keamanan santri selama belajar. Terlebih, pesantren dipandang sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan pembinaan moral, spiritual, dan karakter.
Pendidikan berbasis agama tentu memiliki nilai penting, tetapi jika pengawasan dan penegakan aturan terhadap kekerasan tidak diperketat, maka tujuan mulia pesantren akan sulit tercapai. Ketua PBNU Dr. (HC) Yahya Cholil Staquf pun tak menyangkal bahwa kasus kekerasan dan bullying di lingkup pondok pesantren terjadi karena kurangnya kontrol atau pengawasan terhadap tiap-tiap lembaga.
“Pesantren-pesantren ini membutuhkan governance (tata kelola), jadi harus ada cara untuk mengatur kehidupan pesantren-pesantren. Tidak boleh dibiarkan sendiri-sendiri tanpa diatur,” ungkap pria yang akrab di sapa Gus Yahya tersebut saat ditemui brilio.net di sela Simposium Pesantren 2024 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Selasa (8/10).
foto: brilio.net/istimewa
Menurutnya, berbagai macam kasus kekerasan yang saat ini tengah jadi perbincangan muncul karena tata kelola pesantren yang tidak baik. Hal ini membuat jalannya pesantren minim kontrol dan mudah terjadi perundungan terhadap para santri.
“Berbagai kasus yang terjadi karena memang nggak ada governance, nggak ada kontrol, nggak ada alat untuk membuat standar dan lain sebagainya, sehingga ada banyak masalah-masalah lain yang bisa mudah muncul di lingkungan pesantren,” tambahnya.
Senada dengan pernyataan Gus Yahya, putri mendiang Gus Dur, Alissa Wahid juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, ada secam tata kelola yang tidak terkontrol di lingkungan pesantren sehingga membuat kasus-kasus kekerasan atau bullying semacam itu tidak transparan. Ia menyoroti, selama ini ada istilah independensi pesantren yang menjadi ceruk langgengnya kekerasan dan bullyig di lingkungan pondok pesantren.
“Dampak langsung dari independensi sebetulnya ketika tidak ada pihak lain yang bisa dijadikan tempat akuntabilitas. Yang biasanya dilakukan oleh pesantren melakukan upaya penyelesaian secara tertutup, tidak melulu untuk kebaikan santri tapi lebih berorientasi menjaga nama pesantrennya dan ini karena independensi pesantren (tersebut),” ungkapnya saat menjadi pemateri dalam Simposium Pesantren 2024 via video conference.
foto: brilio.net/istimewa
Tidak adanya pengawasan khusus tentu membuat kasus kekerasan seperti ini mengkhawatirkan bagi santri, calon santri maupun wali santri. Perundungan di pesantren menjadi isu serius yang perlu ditangani segera. Hal ini untuk menciptakan iklim pendidikan yang aman dan nyaman. Apalagi hingga saat ini pesantren masih menjadi pilihan bagi sebagian orang tua untuk mendidik anaknya. Bahkan, meski dihantui citra negatif saat ini, peminat pondok pesantren konsisten mengalami kenaikan.
”Menurut data terbaru, jumlah santri dan peminat pesantren terus bertambah dari tahun ke tahun. Fenomena ini menunjukkan bahwa pesantren masih dianggap relevan dan penting bagi masyarakat, terutama dalam memberikan pendidikan agama dan moral kepada generasi muda," ungkap Plt Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren), Waryono Abdul Ghofur seperti dikutip brilio.net dari kemenag.go.id.
Sebagai orang tua yang ingin menyekolahkan anak di pondok pesantren, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Selain sistem pendidikan di pesantren yang harus mengalami perubahan, orang tua juga bisa memastikan keamanan pesantren dengan memperhatikan akses komunikasi dari dan ke pesantren.
Ubaidillah Fatawi, Kepala Sekolah SMA dan Pesantren Bumi Cendekia berbagi tips bagi orang tua santri dalam memilih pesantren terbaik bagi anaknya.
“Untuk memilih pesantren yang kiranya aman untuk anak pertama pastikan dulu di pesantren itu tidak memutus hubungan antara orang tua dan anak. Karena sebenarnya yang paling berperan dalam perkembangan anak tidak cuma guru atau kyai-nya tapi juga orang tua jadi ada kepengasuhan bersama di situ,” ungkap Ubaidillah kepada brilio.net, Selasa (8/10).
foto: brilio.net/istimewa
Pentingnya kepengasuhan bersama ini juga bisa meminimalisir terjadinya kasus bullying dan kekerasan di lingkungan pondok pesantren. “Kalau kepengasuhan bersama ini kemudian diputus maka sangat rentan terjadinya kasus bullying dan tidak terlaporkan karena anak tidak punya kontak darurat ketika terjadi hal yang tidak diinginkan,” tambahnya.
Sementara itu, sebagai seorang kepala sekolah, ia meyakini bahwa penanganan, pengawasan dan pencegahan kasus bullying dan kekerasan itu harus mengutamakan korban dibanding reputasi pesantren. Menjaga keamanan stakeholder ini harus di tempatkan di atas segalanya.
“Saya pikir nama baik pesantren mungkin nomor keempat dalam proses pengambilan keputusan. Harusnya yang pertama menjadi fokus adalah santri itu, kedua adalah orang tuanya, ketiga adalah guru-gurunya yang terkahir adalah nama baik pesantren. Saya pikir karena kita clear menentukan prioritasnya kita semua sepakat bahwa yang paling baik adalah keputusan yang paling baik bagi santri atau anak itu sendiri,” pungkasnya.
foto: brilio.net/istimewa
Pendidikan berbasis agama, termasuk pesantren, tetap memiliki peran penting dalam mencetak generasi yang berkarakter. Namun, kasus perundungan yang semakin marak menjadi catatan serius yang tidak bisa diabaikan. Pengelola pesantren harus mampu melakukan pembenahan sistem dan memberikan perlindungan lebih bagi para santri agar tujuan pendidikan agama tidak ternodai oleh praktik kekerasan.
Pihak pesantren juga perlu menggandeng pihak eksternal seperti psikolog atau lembaga perlindungan anak untuk membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan kondusif bagi para santri. Dengan demikian, nilai-nilai agama yang diajarkan dapat benar-benar diinternalisasi dan tercermin dalam perilaku sehari-hari, bukan justru diwarnai kekerasan yang kontradiktif.
Recommended By Editor
- Bakal cair Oktober 2024, Kenali PIP Kemendikbud, fungsi, kriteria, dan jadwal lengkapnya
- Pahami pentingnya personal branding di dunia kerja, bantu hadapi persaingan yang semakin ketat
- Bukan fokus pada hafalan, ini cara belajar terbaik yang harus diterapkan dalam kurikulum pendidikan
- Survei sebut rerata gaji lulusan universitas tak sampai Rp5 juta, bukti pendidikan tak diperhitungkan?
- Curhat mentor perusahaan heran lihat anak SMK administrasi perkantoran tak bisa berhitung, bikin miris
- Kenapa membaca buku cetak lebih berkesan dibanding e-book? Ternyata begini alasannya