Brilio.net - Cowok yang berpenampilan cewek, akhir-akhir ini makin marak terlihat di ruang publik. Banyak acara televisi yang menampilkan sosok-sosok cowok yang bergaya feminin. Bahkan, di dunia realitas tak sedikit cowok yang bergaya cewek.
Kasus Millendaru yang baru saja menjadi kontroversi lantaran video panasnya menambah daftar panjang cowok yang bergaya feminin. Keponakan Ashanty mempunyai nama lengkap Muhammad Millendaru Prakarsa Samudero. Ia rajin mengunggah foto feminimnya di akun sosial medianya dengan gaya feminin.
foto: instagram/ @naka_thekandous
Tak hanya Millendaru, banyak cowok youtuber Indonesia yang lebih enjoy tampil feminin di media sosial. Sebut saja pemilik instagram @joviadhiguna. Jovi Adhiguna lebih suka tampil feminim menggunakan pakaian wanita. Dia tidak malu atau menutupi sisi feminim dirinya. Tak jarang, makeup seperti lipstik, bedak, dan eye liner juga ia gunakan. Pria ini juga populer, follower instagramnya sendiri sudah mencapai 145.000 orang lebih.
foto: instagram /@joviadhiguna
Artis luar negeri banyak yang tampil lebih berani daripada Milendaru atau Jovi. Pemilik akun @bretmanrock berani tampil feminim walaupun cowok. Bretman yang baru berusia 18 tahun ini terkenal kocak. Pria yang tinggal di Hawai ini tercatat memiliki lebih dari 8,6 juta follower di instagram. Selain tampil cantik, Bretman juga mengunggah tutorial cara makeup. Selain pintar makeup, Bretman juga sering tour keliling Amerika.
foto 3: instagram /@bretmanrock
Cowok yang tampil feminim ternyata lebih terbuka di media sosial. Bahkan tak jarang mereka memiliki banyak penggemar. Akun seperti Milandaru, bretmanrock, dan joviadhiguna merupakan sebagian kecil dari cowok yang berani tampil feminin di media sosial. Kenapa fenomena ini makin marak di dunia media sosial? Apakah gara-gara media sosial, cowok lebih berani tampil feminin?
Ya, media sosial memang menjadi tempat yang terbuka bagi siapa saja. Dengan media sosial, anak muda bisa mengekspresikan dirinya secara total. Pengaruh media sosial ini tidak hanya pada komunikasi saja. Tapi ternyata juga ke psikologi anak muda.
Di masa lalu, cowok yang feminin akan memilih menutupi dirinya di tengah masyarakat. Hal itu dikarenakan ada tabu yang masih dipegang erat oleh masyarakat. Sehingga, ada rasa malu bagi cowok yang berpenampilan fenimin untuk tampil di depan publik.
Namun, perkembangan teknologi terutama media sosial mengubah tatanan tersebut. Apalagi, kemajuan teknologi dan informasi khususnya media sosial mendorong kelompok-kelompok LGBT atau kelompok yang hanya bepenampilan berbeda (cowok menjadi cewek, atau sebaliknya) untuk makin terbuka.
Puji Rahayu dkk dalam sebuah jurnal Studi Pemuda Vol 3/No 2, September 2014 menjelaskan hubungan identitas dan orientasi seksual yang dimiliki seseorang di lingkungan sosial. Media sosial menjadi salah satu arena interaksi yang progresif bagi kaum LGBT. Tidak hanya Facebook, Twitter, ataupun situs blog (wordpress, blogspot, dan sebagainya), mereka juga memiliki media sosial khusus seperti aplikasi pada telepon pintar (smartphone). Grindr misalnya, aplikasi ini lahir pada tahun 2009 dengan konsep anggota berbasis wilayah tinggal (Grindr, 2009). Pengguna aplikasi ini dapat mencari teman sesama gay pada lokasi tempat tinggal yang sama. Begitu pula dengan aplikasi lainnya, seperti Jack’d, Hornet, ataupun GROWLr, cara penggunaan dan tujuannya hampir sama dengan Grindr. Meskipun aplikasi dapat juga diunduh secara bebas, dari hasil observasi mereka, menunjukkan fakta bahwa pengguna aplikasi ini lebih banyak adalah mereka yang memiliki preferensi sesama jenis.
Ini menunjukkan bahwa proses ekspresi identitas makin terbuka di media sosial. Seorang gay akan lebih memilih media sosial untuk mengekspresikan dirinya dan mencari kelompok barunya. Hal ini biasanya akan dimulai sejak orang berusia remaja.
Erickson (1968) dalam penelitiannya "Identity: Youth and Crisis" mengatakan bahwa masa remaja adalah masa eksplorasi diri termasuk identitas gender. Penelitian ini melihat bahwa pencitraan diri bisa terlihat dari profil media sosial. Instagram dengan koleksi foto bisa menjadi tempat untuk membuat citra tertentu. Orang feminim juga terkesan lebih sering membagikan foto diri di sosial media. Grup minoritas seperti transgender bisa membentuk citra diri dari sosial media.
Cooper dan Dzara (2010) membuat penelitian tentang "The Facebook revolution: LGBT identity and activism" melihat bahwa media sosial menjadi tempat anak muda untuk mempelajari gender mereka. Cowok dengan feminitasnya bisa tampil percaya diri di sosial media. Dengannya, mereka bisa memilih citra diri seperti apa yang ingin mereka tampilkan terlepas dari tekanan sosial dari masyarakat.
Bagaimanapun era keterbukaan saat ini membuat siapa saja untuk makin berani tampil apa adanya tanpa mengindahkan norma dan kultur masyarakat setempat. Dunia internet membuat orang tak lagi menganggap penting budaya lokal yang masih banyak dipegang oleh masyarakat. Akibatnya, seringkali ada benturan kultur di media sosial yang mengakibatkan kegaduhan di dunia maya.
Pemerintah Indonesia juga melakukan berbagai upaya untuk mengurangi penyebaran LGBT dengan cara mendesak pengelola media sosial dan platform pesan pendek untuk menghilangkan emosikon atau emoji yang menampilkan pasangan gay atau lesbian. Sebelumnya penyedia jasa pesan pendek Jepang, Line, telah lebih dulu menghapus beberapa emosikonnya buat pasar Indonesia.
"Line sudah menghapus LGBT stikernya dan kita meminta semua platform untuk melakukan hal serupa," kata juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ismail Cawidu merujuk pada kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender sebagaimana dikutip dari laman Kemkominfo.
Di sisi lain, masyarakat perlu bijak untuk menyikapi perubahan kultur ini. Yakni dengan cara jangan mudah mengumbar foto-foto ke media sosial. Masyarakat harus makin dewasa.
Recommended By Editor
- Ini jumlah kerupuk yang dibutuhkan kalau mau dibarter dengan Sukhoi
- Kenapa orang-orang terkaya dunia malah memilih hidup sederhana?
- Lagi tren orangtua mencium bibir anak, patutkah?
- Kenapa isu SARA mudah jadi alat politik dan bisnis di Indonesia?
- Hoax dan ujaran kebencian jadi bisnis, ini 5 dampak paling mengerikan