Brilio.net - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% bakal berlaku sesuai amanat Undang-Undang (UU) mulai 1 Januari 2025. Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia bakal naik jadi 12%. Alasannya? Tarif PPN di Indonesia masih di bawah rata-rata tarif global, yang katanya sekitar 15%. Selain itu, Menkeu juga bilang kalau kenaikan ini nggak bakal berlaku secara brutal. Alias, nantinya bakal ada penyesuaian, misalnya saja ada beberapa golongan yang pajaknya bisa di bawah 12%.
"Yang PPN 12 persen dengan pada saat yang sama ada tarif pajak yang boleh mendapatkan 5 (persen), 7 (persen), apalagi bisa dibebaskan atau dinol-kan," kaya Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Bersama Komisi XI DPR RI, seperti dikutip brilio.net, Kamis (21/11).
Sekilas, alasannya masuk akal. Tapi, pertanyaannya: apa ini kebijakan yang pas buat kondisi Indonesia sekarang?
"Tapi dengan tadi penjelasan yang baik sehingga tadi kita tetap bisa, bukannya membabi buta tapi APBN memang harus terus dijaga kesehatannya. Namun pada saat yang lain APBN itu harus berfungsi dan harus merespons seperti yang kita lihat dalam episode-seperti global financial crisis, seperti terjadinya pandemi itu kita gunakan APBN," kata Sri Mulyani lagi.
foto: Instagram/@smindrawati
Kebijakan ini disebut-sebut pengin mengadopsi konsep kesejahteraan ala Nordik alias Nordic-style Welfare State. Sampai-sampai istilah Nordik ini viral di media sosial. Ya, Nordik adalah negara-negara di bagian utara Eropa yang dikenal dengan pajaknya yang setinggi langit.
Negara-negara Nordik seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia memang dikenal dengan tarif PPN yang tinggi. Denmark dan Swedia, misalnya, menetapkan tarif PPN sebesar 25%—jauh lebih tinggi dibanding Indonesia. Tapi, bedanya, mereka menawarkan kesejahteraan yang setara dengan pajak yang dibayar warganya.
Di Denmark, masyarakat nggak perlu pusing soal pendidikan atau kesehatan, karena semuanya ditanggung negara. Swedia punya subsidi besar untuk tunjangan anak, cuti melahirkan yang panjang, hingga pensiun yang nyaman. Intinya, pajak tinggi di negara-negara ini balik modal dalam bentuk layanan publik yang benar-benar dirasakan manfaatnya.
Nah, kalau diterapkan di Indonesia? Dengan PPN 12% nanti, apakah jaminan kesehatan, pendidikan, dan layanan publik lainnya bakal setara dengan negara-negara Nordik? Atau, malah cuma jadi tambahan penghasilan negara tanpa dampak nyata buat rakyat?
foto: Instagram/@smindrawati
Kalau mau bicara angka, memang tarif PPN Indonesia sekarang (11%) termasuk rendah. Tapi dari pada jauh-jauh melihat skala global atau bahkan jauh-jauh sampai ke Eropa, coba deh lihat tetangga dekat kayak Singapura. Negara ini cuma punya tarif GST (Goods and Services Tax, mirip PPN) sebesar 8%, bahkan baru naik dari 7% awal tahun 2023. Triknya? Pemerintah Singapura punya sistem subsidi buat masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah, jadi dampaknya nggak terlalu kerasa.
Malaysia malah sempat hapus GST pada 2018, karena dianggap terlalu membebani rakyat. Sekarang mereka pakai SST (Sales and Services Tax) yang lebih selektif. Tarifnya juga cuma 5-10%, tergantung barang atau jasa. Jadi, nggak semua kena pajak.
Nah, balik lagi ke Indonesia. Dengan kondisi ekonomi yang masih jauh dari mapan, apalagi inflasi yang naik turun nggak karuan, apa benar naiknya PPN ini solusi?
foto: X/@BudiBukanIntel
Kenaikan PPN mungkin nggak langsung kerasa buat barang-barang mahal. Tapi buat kelas menengah yang udah struggling sama harga kebutuhan pokok, ini jelas jadi beban tambahan. Belanja harian kayak beras, minyak, atau sabun bakal makin mahal. Padahal, kelas menengah ini tulang punggung ekonomi. Kalau mereka makin susah, daya beli turun, ekonomi malah bisa jalan di tempat.
Yang jadi pertanyaan, uang dari kenaikan PPN ini buat apa? Buat bayar utang negara? Atau buat subsidi lagi, kayak yang dilakukan Singapura? Kalau cuma buat nutupin defisit, ya wajar aja banyak yang protes.
Kenaikan tarif PPN ini nggak cuma soal angka, tapi juga pola rumusan kebijakan pemerintah. Kebijakan ini kayak refleksi bahwa pemerintah lebih senang comot-comot kebijakan dari negara-negara maju kayak Eropa. Padahal, kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya jauh berbeda.
Mirip sama yang terjadi di dunia pendidikan. Ingat kan waktu pemerintah ngenalin Kurikulum Merdeka? Program ini terinspirasi dari sistem pendidikan Finlandia. Di atas kertas, kelihatannya keren. Tapi masalahnya, pendidikan di Finlandia berjalan mulus karena mereka punya fasilitas memadai, gaji guru tinggi, dan kurikulum yang benar-benar dirancang buat masyarakat mereka. Sementara di Indonesia, banyak sekolah di pelosok yang bahkan masih kekurangan guru dan fasilitas dasar.
foto: X/@pugutrigi30
Kebijakan yang diadopsi dari luar negeri itu sebenarnya nggak salah. Tapi, kalau implementasinya setengah-setengah tanpa mempertimbangkan kondisi lokal, hasilnya bakal jadi polemik, seperti sekarang. Bukannya bikin masyarakat lebih sejahtera, malah nambah tekanan ekonomi.
Kalau pemerintah benar-benar mau nyontek Eropa, ya jangan cuma tarif pajaknya. Pelajari juga gimana mereka pakai pajak itu buat kesejahteraan rakyat, kasih subsidi, atau bangun infrastruktur yang bener-bener dirasakan manfaatnya.
Jadi, sebelum PPN 12% ini benar-benar diterapkan, kayaknya pemerintah perlu mikir ulang. Apa yang rakyat butuhkan sekarang itu kebijakan yang realistis, bukan sekadar angka yang terlihat bagus di laporan internasional.
Recommended By Editor
- Siap diospek Prabowo di Magelang, begini momen menteri Kabinet Merah Putih naik pesawat hercules
- Viral kasus beli sepatu seharga Rp 10 juta dikenai bea masuk Rp 30 juta, begini penjelasan Sri Mulyani
- Veronica Tan pamer foto Srikandi Kabinet Merah Putih di Magelang, pose Sri Mulyani bikin salah fokus
- Aksi kocak Sri Mulyani saat sesi foto bersama para menteri, Jokowi sampai tertawa
- Jokowi dan Sri Mulyani ada di daftar muslim berpengaruh di dunia
- 11 Momen pernikahan putra bungsu Sri Mulyani, Jokowi sebagai saksi